Sepucuk Surat Untuk Lubna - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Sepucuk Surat Untuk Lubna

Penulis : Rifdah Dhiyatul Hak


“ Jika aku tahu semua ini akan terjadi. Maka aku tidak akan pernah menunda waktu untuk menemuimu”


Salah satu jarum jam mengarah pada  angka delapan dan yang lainnya berdiri tegak menghadap angka duabelas. Pertempuran yang sebenarnya kini dimulai, persaingan yang sangat ketat dengan ketegangan yang senantiasa mengiringinya. Detak jantung berpacu dengan waktu yang saat ini terasa begitu cepat. Otakku begitu penuh dengan rumus yang hanya setengah dan menyisakan perputaran materi yang begitu membingungkan. Satu demi satu pertanyaan aku jawab dan tak sedikit pula yang sengaja kukosongkan agar keraguanku tak mempengaruhi skor yang akan kudapatkan. Ada beberapa pasang mata yang setiap detiknya memperhatikan kami meskipun dalam media digital alias online, sehingga tak banyak yang bisa kulakukan saat ini. Ideku tak habis sampai di situ, aku menuliskan soal yang tidak mampu ku selesaikan dan menyerahkannya pada guruku.

Waktu berlalu begitu cepat dan saat ini adalah lima menit terakhir yang bisa kugunakan untuk memeriksa semua jawabanku. ” Bu, ini waktunya sudah mau habis. Raisa submit sekarang ya bu”. Begitulah sebuah kalimat tertulis di atas secarik kertas yang kusodorkan pada guru yang berada di depanku dengan terhalang layar monitor.

“ Sudah selesai?” Tanya Bu Farah dengan berbisik khawatir suaranya terekam.

“ Sudah bu, Raisa mau submit sekarang ya bu. Takut nggak ter-record” jawabku dengan suara yang sedikit pelan namun masih bisa terdengar dan sepertinya tertangkap oleh pengawas. Tetapi untuk kali ini aku tak memiliki rasa takut didiskualifikasi. Sebab, yang kubicarakan tak berkaitan dengan soal sama sekali.

Lega rasanya saat tombol submit telah ditekan. Saatnya untuk mengistirahatkan kepala yang tadi sempat mendidih.  Aku keluar dengan wajah yang masih menyiratkan ketegangan sisa tadi namun senyuman dan tawa kecil tetap mengiringi langkahku. Aku berjalan menghampiri Lubna dan Fahira yang tengah menunggu giliran mereka. Tak lama Airin datang bergabung dengan kami. Aku dan Airin kebetulan mendapatkan sesi pertama, Lubna dan Fahira mendapatkan sesi kedua.

 “ Tenang ya. Soal yang muncul nggak sesulit pas simulasi kok.” Ucapku menyakinkan Lubna dan Fahira yang akan masuk ke ruang ujian.

Aku duduk menemani Laila dan Nasya yang mendapatkan sesi ketiga sekaligus sesi terakhir. Ketegangan yang kualami ketika ujian berlangsung kuceritakan dengan penuh penghayatan pada mereka. Sembari tertawa aku mengatakan bahwa soal yang kukerjakan hanya 10 soal saja dari 25 soal. Taktik yang kugunakan saat ini masih sama seperti yang kulakukan saat masih dibangku SMP. Tidak mengejar jawaban tetapi hanya memilih jawaban yang bisa aku kerjakan tanpa keraguan. Sekedar informasi di perlombaan yang  tengah aku ikuti jawaban yang salah mendapatkan skor -1 jadi jika ragu akan sebuah jawaban aku akan memilih untuk mengosongkannya.

Adzan dzuhur berkumandang tepat setelah Lubna dan Fahira keluar dari ruang ujian. Tampak semburat kecemasan pada wajah mereka. Aku langsung menghampiri mereka dan bertanya bagaimana ujian mereka.

“ Una, Ira gimana ujiannya? Soal yang muncul nggak serumit pas simulasi kan?” rentetan pertanyaan ku layangkan pada mereka.

“Iya sih memang nggak terlalu banyak bahasa kayak kemarin tapi ya tetep aja yang aku kerjain dengan yakin cuman dikit huhu” jawab Ira dengan wajah yang sedikit lesu.

“Iya bener” timpal Una.

“udah nggak papa, yang penting kita udah berusaha kan? Soal hasil nanti Allah yang urus” Ucapku menenangkan mereka berdua.

Aku, Una, Ira dan Airin pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat dzuhur dan mencuci muka. Sedangkan Laila dan Nasya, mereka sholat di ruang bimbingan karena setelah sholat mereka harus langsung masuk ke ruang ujian. Ira dan Airin yang saat itu kebetulan tengah mendapatkan tamu bulanan memilih menunggu di teras setelah selesai mencuci muka. Kini tersisa aku dan Una di atas sajadah.

“Ca, kamu jadi imam ya. Aku lemes banget” Ucap Una.

“Aku juga sama lemes Na, Una aja ya?” sanggahku.

Akhirnya Una mengalah dan menjadi imam dalam sholat dzuhur kali ini. Selepas sholat, Una tiba-tiba tersujud. Aku mengikuti gerakannya dan berkata “Una capek ya? Maafin Ica ya Na” dengan bisikan yang aku yakin Una tidak mendengarnya. Setelah selesai kami melipat mukena dan kembali menyimpannya ke lemari di sudut masjid ini. Aku dan Una bergabung dengan Ira dan Airin yang tengah berbincang.

“Alhamdulillah ya akhirnya pertempuran kita selesai” aku membuka suara.

“Iya tapi takut hasilnya tidak memuaskan” timpal Airin dengan suara yang lemah.

“Masyaa Allah, tugas aku banyak yang belum selesai huhu” Ucap Ira dengan tangan yang menepuk kepala.

“Ayolah Ra, jangan bahas itu sekarang dong. Baru juga dingin ini kepala” gerutuku pada Ira karena mengingatkanku pada tugas yang tertumpuk gegara dalam seminggu ini kami bolak balik ke sekolah untuk bimbingan. Tetapi karena saat ini sedang masa Pandemi, jadi sekolah sangat sepi dan kami pun bisa fokus berlatih saat di sekolah.

Kami kembali ke sekolah dan tiba-tiba aku dipanggil oleh Pak Salim. Kukira ada apa ternyata beliau mau meminta tolong untuk membelikan nasi padang untuk makan siang sekaligus sebagai konsumsi untuk para perwakilan lomba. Aku mengganti seragamku dengan gamis yang kupakai saat berangkat sekolah. Seperti yang sudah kukatakan tadi, di masa pandemi ini sekolah belum bisa beroperasi normal. Jadi, untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan aku memilih untuk mengganti baju saja. Aku meminta Una untuk mengantarku membeli nasi padang yang tak jauh dari sekolah.

“Na, ini yang jual nasi padangnya yang mana ya. Kok banyak banget sih, tadi kata Pak Salim namanya Surya Minang tapi adanya cuman Puteri Minang” tanyaku pada Una yang saat itu sama bingungnya denganku.

“Yaudah deh kita puter balik aja beli ke rumah makan yang paling deket ya” timpal Una menyelesaikan kebingungan diantara kami.

“Kalo tau gini mah tadi langsung belok aja huhu” jawabku dengan wajah yang dibuat sedih padahal menahan tawa.

Kini hari sudah semakin sore, kami pun berpamitan pada guru-guru untuk pulang. Untung saja jadwal perlombaan kami di hari Sabtu. Jadi, pada hari minggu kami bisa beristirahat untuk mempersiapkan tubuh agar kembali vit pada hari Senin.

Beberapa hari berlalu, Una memberi tahu bahwa ia tidak bisa ikut belajar daring sementara karena tengah sakit. Aku mengiyakan dan mendoakannya agar cepat sembuh. Sepekan setelah lomba berlangsung, aku diberi tahu akan ada akreditasi di sekolah. Aku, Una, Ira, dan Airin terpilih kembali menjadi tim sukses hanya saja kali ini tidak hanya kami saja. Ada Naura dan Elia yang tergabung dalam tim sukses serta beberapa orang dari kelas IPS. Untunglah Saat itu Una sudah kembali pulih dan bisa bergabung dengan kami. Begitu lelah rasanya hampir dua hari sekali kami ke sekolah. Belum lagi tugas daring yang masih menumpuk. Tetapi betapapun beratnya harus kami selesaikan. Karena orang bilang, masa SMA adalah masa yang paling dikenang.

Pada hari minggu Aku , Una, Ira, Airin, Naura, Azam dan Haidar bekerja kelompok di rumah Ira untuk mengerjakan tugas tambahan dari wali kelas kami. Rasanya begitu menyenangkan berkumpul bersama, begitu hangat dan penuh dengan keceriaan. Haidar yang terus saja menjahiliku berakhir dengan adu mulut yang semakin sengit. Tetapi tetap saja pecah karena jiwa petakilan Haidar selalu meronta-ronta hahaha ...

Setelah melakukan berbagai macam persiapan, tibalah saatnya akreditasi dilakukan. Aku dan Airin terpilih untuk berhadapan langsung dengan asesor penguji. Sedangkan Una dan Ira terpilih untuk mengikuti pembelajaran seperti biasanya namun bedanya saat ini sambil diperhatikan asesor penguji. Akreditasi berjalan dengan lancar, setelah selesai kami pun pulang karena mana mungkin kami menginap di sekolah hihi ..

Selang satu hari, Una kembali terbaring karena padatnya kegiatan tak bisa ditaklukkan tubuhnya. Kami pun mendapatkan tugas kembali untuk mengikuti seleksi proposal berkelompok. Rencananya, di hari Minggu kami akan bekerja kelompok kembali di rumah Una. Tetapi Una mendadak demam lagi di pagi hari. Alhasil kami alokasikan ke rumah Ira lagi. Aku berangkat bersama Airin dan mampir sebentar ke rumah Una karena Ibu Airin menitipkan gamis pesanan Bu Ayu yang baru selesai ibu Airin jahit.

“Assalamualaikum, Bu Ayu ini gamisnya selesai dijahit” ucap Airin

“Wa’alaikumussalam Rin, oh iya makasih ya. Arin sama Ica ya? Sini masuk dulu, ketemu sama Una”  jawab Bu Ayu

Tanpa berpikir panjang Aku dan Airin mengiyakan tawaran Bu Ayu dengan antusias. Kami masuk dan menjenguk Una yang terlihat terbaring lemah di kasurnya. Bu Ayu memberi ruang pada kami untuk mengobrol dengan Una dan pergi ke dapur. Seperti biasa aku langsung membombardir Una dengan wejangan-wejangan khas ibu-ibu.

“Na, makanya makan yang banyak. Paksain aja kalau nggak enak karena kalo sakit emang jadi hambar makanannya. Una jangan mikirin apa-apa, eh jangan kosong juga. Tugas yang numpuk biarin aja nanti juga kelar sendiri” ucapku.

“ Iya Na, betul tuh kata Ica. Una tuh suka nunda makan padahal kegiatan lagi padat-padatnya” tambah Airin.

Obrolan kami berlanjut dengan gelak tawa karena aku terbiasa miss information. Alhasil setiap berbincang sering tak sinkron. Tak lama Bu Ayu datang membawa dua gelas teh manis dan cemilan padahal aku dan Airin kesini dengan tangan kosong. Malu sebenarnya, lantas mau bagaimana lagi? Rencana yang tak terduga.Setelah merasa terlalu lama kami segera pamit karena ingat Ira yang sedang menunggu.Karena rumah Ira dan Una tidak terlalu jauh, aku dan Airin memilih untuk berjalan kaki.

Lima hari berlalu, Una tiba-tiba mengirim pesan di grup Whatsapp. Kebetulan saat itu semua orang sedang online. Una mengatakan kalau ia kini harus diinfus, namun saat ini Una masih berada di rumah. Kami semua khawatir pada Una yang setiap hari kesehatannya terus menurun bahkan berat badannya turun secara drastis. Aku dan teman-teman berencana menjenguk Una, tetapi di pagi hari saat jadwal sekolah tatap muka Ira memberitahuku kalau Una masuk rumah sakit. Jantungku tiba-tiba berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku semakin khawatir pada Una karena sulit untuk bisa menjenguknya di rumah sakit ketika pandemi seperti ini.

Seusai kabar itu, Ira berencana untuk melakukan video call dengan Una. Ira mengajakku, Airin dan juga Naura. Pertemuan di dunia maya yang cukup singkat belum mampu mengobati rasa rindu pada Una. Namun setidaknya kami bisa melihat Una meskipun dengan keadaan yang lemah. Bahkan untuk berbicara saja Una kesusahan. Una bilang dokter hanya mengatakan bahwa ada masalah di paru-paru Una.

Selama satu minggu Una dirawat di Rumah Sakit dan pada hari ketujuh dokter sudah mengizinkan Una untuk pulang. Alangkah senangnya aku saat Una menyampaikan kabar gembira itu padaku. Segera ku rencanakan waktu untuk menjenguk Una, tetapi Ibuku malah memintaku untuk pergi ke pasar. Akhirnya rencanaku mundur beberapa hari karena hal itu.

Jadwal sekolah tatap muka untuk kelasku adalah hari ini, hari Jum’at. Tadinya aku dan Airin akan pergi menjenguk Una, tetapi Azam bilang Una masuk rumah sakit lagi. Lagi dan lagi jantungku tersambar untuk kesekian kalinya. Airin pun memberiku sebuah saran, “bagaimana kalau kita jenguk Una besok? Sekalian jenguk Ira juga”. Beberapa hari yang lalu Ira juga tengah sakit. Aku mengiyakan tawaran Airin dan pulang ke rumah.

Sesampainya aku dirumah, selepas menunaikan sholat ashar tiba-tiba dadaku sakit sekali. Mataku memanas dan di detik berikutnya tangisanku pecah. Aku tak tahu apa yang membuatku menangis hebat hari ini. Hatiku tak tenang saat pesan whatsapp-ku tak kunjung Una baca, tetapi sebisa mungkin ku yakinkan diriku sendiri bahwa Una sedang sibuk.

Pagi ini aku segera bersiap untuk pergi ke rumah Airin bersama Naura. Sesampainya di rumah Airin kami membicarakan soal buah tangan apa yang akan kami bawa untuk menjenguk Una dan Ira. Setelah diputuskan melalui permusyawaratan yang cukup panjang, Airin dan Naura pergi untuk membelinya. Tak lama mereka datang kemudian berkumandanglah adzan ashar. Kami bertiga sholat berjama’ah terlebih dulu di salah satu masjid dekat rumah Airin.

Aku dan Naura berpamitan dan bergegas pergi ke rumah Ira. Sesampainya disana, Ira ternyata tengah berada di kamar mandi. Kami baru sadar,  Ira belum diberi tahu kalau kami akan berkunjung. Jadilah Ira dimarahi ibunya. Aku dan Naura menunggu Ira di luar rumahnya sambil bermain dengan adik Ira. Tiba-tiba salah satu tetangga Ira datang dengan tergesa-gesa sembari bertanya padaku.

“Ira sudah tahu belum kalau Luna meninggal?” tanya ibu itu.

“Kurang tau bu, Iranya masih di kamar mandi” jawabku.

“Luna siapa bu?” tanya ibunya Ira.

“Itu, Luna anaknya Bu Ayu” jawab tadi. Mendengar itu kaki tiba-tiba lemas tak kuat untuk berpijak. Ira keluar dan langsung menangis merangkul Naura yang melamun dengan mata yang berkaca-kaca. Aku masih tak percaya akan apa yang ku dengar itu. Ira mengajak kami untuk masuk dan menunggu kabar dari keluarga Una. Ira dan Naura mencoba mengkonfirmasi kabar itu, berharap itu hanya salah informasi saja. Namun, kabar itu memang benar adanya. Foto Una sudah dipasang dalam status whatsapp dengan diiringi kalimat Innalillahi wainna ilaihi raji’un. Aku sudah tak kuat lagi, tangisku pecah dan tanganku mulai mengeras. Pikiranku sangat kacau saat ini, tetapi Ira mengingatkanku untuk mengabari orang rumah.

Saat mobil jenazah datang, kami segera pergi ke rumah Una. Ini adalah kali terakhir kami bertemu dengan Una. Aku tak kuat lagi melihat tangisan Bu Ayu yang histeris dan terus mengulang kalimat yang sama. “Anakku sudah tiada, anakku sudah tiada...!!” Kalimat itu terus Bu Ayu ucapkan dengan air mata yang bercucuran.

Ira dan Naura mengajakku untuk sholat maghrib dahulu di mushola. Aku mengangguk dengan diam dan melangkah dengan perlahan. Aku menunggu Ira menyelesaikan wudhunya karena aku pun belum punya wudhu. Aku ingin menangis sekerasnya saat itu, tetapi nafasku tercekat. Perlahan semua mulai menjadi buram hingga akhirnya hanya kegelapan yang ku lihat dan beberapa suara yang samar.

###

Teruntuk Lubna,

Tak pernah ku bayangkan sebelumnya, kamu pergi saat aku akan menemuimu.

Bahkan aku tak menyangka kalau rencana tak terduga saat Airin memberikan gamis pada ibumu menjadi kali terakhir aku bertemu denganmu.

Jika saja sebelumnya aku tahu hal ini akan terjadi maka aku takan pernah menunda waktu untuk bisa bertemu denganmu.

Kini aku sadar, kematian yang tak memandang usia itu benar adanya.

Andai waktu bisa ku putar kembali, aku ingin bersama denganmu di saat-saat terakhirmu.

Aku tahu kebersamaan yang kita lalui begitu singkat.

Tetapi, setiap hamparan pandangan mata aku selalu melihat kenangan yang kita ukir bersama.

Padahal di setiap hari yang kulalui, aku selalu menunggu kamu kembali Na.

Namun pada kenyataannya hari itu tidak akan pernah tiba.

Permintaan maaf dan ucapan terima kasihku takkan terbalaskan lagi.

Berkali-kali ku yakinkan diri bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang akan kulupakan saat terbangun.

Dan di saat itu juga aku sadar kalau kamu benar-benar telah pergi menghadap ilahi.

Sakit sekali ketika rindu datang dan ingatan akan kamu terus berputar.

Aku mengerti Allah lebih sayang denganmu sehingga Ia memanggilmu.

               


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.