https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
KASIH SAYANG TUHAN
BY : AHMAD OKVANI TRI BUDI LAKSONO
Matahari tampak malu malu melihat dunia, dihadang gerombolan awan seakan mengisyaratkan bahwa hari ini tidak akan baik baik saja. Memang benar hari ini tidak baik baik saja, Sabtu 16 Januari 2021 saya mendapatkan berita kurang menyenangkan. Setelah selesai sarapan saya siap siap bergegas berangkat bekerja. Tapi , kepala outsourching menelpon saya, Pak Shobirin Namanya
"" Maaf mas, kamu istirahat dirumah dulu, karena kamu reaktif covid 19"". Rasanya waktu berhenti tepat saa
"SEPARUHKU
KARYA: SILVA NATHALIA
Matahari menyapa pagiku dengan sinar hangat, burung bersorak riang hinggap di ranting-ranting pohon bunga kemuning.
Embun pagi menyusupi kulit-kulit tumbuhan. Suasana dingin menyerbu tubuhku yang diliputi rindu. Kepingan hangat pernah menjadi kenangan dalam ingatan yang lekat dan dekat. Ku biarkan seluruhnya hidup, bernafas sebelum pergi dan mati meninggalkan. Beberapa dari diriku sudah hilang. Entah ke mana dan di mana saat ini.
Di halaman belakang rumahku, semua yang tumbuh menyapaku dengan cinta. Dedaunan yang hijau ditumbuhi bunga yang mewangi selalu melingkupi hatiku. Batinku terkadang bisa sesejuk suasana pekaranganku, terkadang juga bisa segersang padang ilalang.
Tidak ada yang benar baik-baik saja setelah ditinggalkan oleh orang yang paling berarti dikehidupan kita. Ya, termasuk aku dan juga kamu yang saat ini sedang merasa galau dan kehilangan arah sebab tak bisa berdusta akan luka yang merebak dengan tak tenang.
Begitu susah payah menata kembali kepingan yang berantakan. Begitu susah payah bangkit dan bisa menerima. Itu sulit, begitu sulit dan aku harus menggila dengan ilusi yang tak menyuruti segenap anganku akan pertemuan.
Semuanya seperti mimpi buruk yang ingin segera aku akhiri dengan bangun dari tidurku. Tak akan sudi aku memejamkan mata jika ku tahu kalau semua hal buruk itu menghantui pikiranku. Mimpi buruk itu menjadi kenyataan yang tak bisa dielakan. Semua cahaya menjadi redup, mati. Mendadak semua hal yang pernah ku lalui lalu-lalang begitu saja. Tawa dan luka menjadi satu yang utuh. Berandai memang enak, namun perih menjadi nyanyian paling lirih pada suatu pertunjukan gelap-terang yang merayap di dinding-dinding hatiku yang kosong.
Jatuh, aku jatuh. Terjatuh seperti daun,
terjatuh sampai ke bawah. Tak terhitung berapa banyak air mata yang jatuh keluar begitu saja sejak engkau pergi meninggalkanku untuk selamanya. Semesta dan isinya menangisiku, ikut merayakan patah hati terdalam dan akan lama. Roda kehidupan yang akan terus berputar menanti-nanti kebahagiaan yang kapan bisa aku genggam dan nikmati lagi.
Tepat dua tahun sejak kepergianmu dan aku masih selalu menangisi hal sederhana yang biasa kita lakukan bersama, berdua saja. Rumah ini sekarang begitu asing, kamar yang biasa ramai oleh tawaku kini mendadak lenyap ikut dengan kepergianmu. Kau telah pergi atau telah pulang? Pergi dan pulang yang satu hakikat. Ku perhatikan foto-foto polaroid yang menggantung menghiasi kamar biru ini. Lampu natal yang berkedap-kedip dengan tabah menjadi saksi bahwa kau selalu menuruti apa yang aku inginkan meskipun sering aku membalas semua kebaikanmu dengan sikap acuhku karena sudah mulai sibuk dengan duniaku. Apa pantas aku meminta maaf? Setelah semuanya sudah aku sia-siakan. Waktu berlalu begitu cepat dan sekarang aku tumbuh menjadi gadis yang banyak keliru. Sering kali aku tak menghargai diriku sendiri, membandingkan diriku yang tak bisa ini dan itu, lalu kesal dan kemudian menangis. Itu lah aku yang sekarang, aku benci, aku benci. Kau pasti di sana murung kan melihat keadaanku selepas kau tinggalkan? Aku sudah bukan si periang yang hangat, aku sudah menjadi diam yang dingin. Aku telah kehilangan diriku, sungguh. Pelangi-pelangi yang kita pernah rangkai bersama kini sudah lenyap entah hinggap di sarang burung yang mana. Teladanmu, hanya teladanmu yang aku kenang hingga saat ini. Ku punguti semua dosaku yang berserakan dibantu kasih sayang seorang mama. Dosa yang aku sendiri tak tahu ingin ku simpan saja di sebuah kaleng atau ku buang saja ke lautan nan jauh di sana. Ah, pelik. Kalut sendiri aku.
Runtuh, aku runtuh!
Kuburanmu yang syahdu menyimpan banyak sekali duka. Setelah sakit yang sempat menjadikanmu payah. Seketika aku tidak kuat menopang tubuhku sendiri. Sudah beberapa purnama yang terlewat begitu saja. Sehelai saja aku tak mampu memaafkan segala dosaku terhadapmu. Sudah gila jika aku berandai waktu bisa kembali. Aku tak percaya dengan kesempatan. Tak ada kesempatan setelah penyesalan yang tak terobati. Perpisahan yang begitu lugu menjadi gambaran tanpa kata setelah hujan menjatuhi tangisnya. Tubuhku ruai. Semua pijakan kesabaran telah usai dengan rela. Itu yang harus aku terima sebagai doa agar kau tenang di sana. Aku sangat menyayangimu, kau tahu kan? Meskipun semua yang ada pada diriku kini banyak berubah, satu hal yang tak akan pernah berubah, satu hal itu akan terus tumbuh tak akan pernah layu apalagi mati. Ya, satu hal itu adalah rasa cintaku padamu.
Sedari kecil kau selalu menumbuhkan rasa cinta yang begitu tulus kepadaku. Betapa sempurnanya hidupku. Betapa bahagianya aku ketiha tahu kau selalu memeliharaku dengan sebuah kasih sayang yang tak melulu dengan ucapan namun selalu dengan perbuatan nyata. Itu adalah rasa syukur yang tak pernah berhenti aku senandungkan dengan merdu kepadamu.
Sehabis shalat Isya, aku keluar untuk duduk di teras. Ingin menjumpai mata kekasihku yang masih menjadi angan dan sepertinya akan selalu menjadi angan. Aku duduk sendiri saja, ditemani secangkir kopi dan singkong rebus kesukaanmu.
Mataku terus saja memandangi langit yang penuh dengan taburan bintang seperti selembar roti dengan meses. Bulan di langit seakan bergumam padaku, seketika memandangiku.
Aku ingin menangis. Entahlah menangisi hal apa. Mataku tidak kuat menahan panas. Seketika air hangat menjalar keluar begitu saja tanpa perlu diminta keluar. Dinginnya angin menusuk puisi-puisiku yang sedang aku tulis di halaman depan bukuku. Aku masih menangis tanpa suara tanpa isak. Kemudian, tanganku mulai menuliskan puisi yang entah ditujukan untuk siapa. Untuk langit, untuk bintang, untuk malam atau untuk engkau. Air mataku masih terjatuh, sepertinya aku merindukan suaramu yang biasanya memenuhi pendengaranku.
Puisi yang sedari tadi aku tulis, sudah sampai di halaman belakang. Puisi ini untukmu, cinta.
""Sampailah sudah kita di tepian
Setelah penat menyebrangi cerita-cerita tanpa sedikit pun mengeluarkan bunyi suara.
Sampailah sudah kita di tepian
Menenun kerinduan tanpa pertemuan. Setelah ini hanya doa yang menjadi angan panjang, sebab kita tak pernah tahu bagaimana semesta mempermainkan cerita di sela-sela kekhawatiran kata-kata.
Sampailah sudah kita di akhir cerita dengan bisu yang satu
Tamat. Sudah tak ada lagi kelanjutan yang menjadi angan baru untuk temu.
Sampailah sudah kita di akhir cerita yang manis pahit, dengan suka duka bermakna sederhana.
Kita berencana untuk membangun tembok pembatas antara nyata dan maya.
Aku memelukmu tanpa mengucapkan sesuatu.
Aku menciummu dengan wajah yang tak aku pahami lagi mengandung apa sebenarnya.
Kau telah pulang pada hakikat yang sejati.
Sampai kita menemukan kalimat terakhir yang memang harus diakhiri dengan titik tak lagi ada koma tak lagi ada spasi dan semua yang pernah kita rangkai.
Tak ada lagi tanda seru dan tak ada lagi tanda tanya yang menjadikan bingung dalam satu waktu.
Lenyap, kita lenyap pada titik itu.
Kemudian, meleleh.
Meleleh dan meleleh seperti lilin seperti anila.
Kini aku dibiarkan sendiri pada cerita yang belum sempat terselesaikan.
Yang aku bisa hanya menatap kosong ke- arah langit tanpa senyum dengan menggenggam aromamu yang dulu.
Menjatuhkan rintik dengan doa yang tak putus-putusnya selalu untukmu.
Doa yang bunyinya menyerap dengan suara hujan, mengalir dengan nada asmaraloka.
Kau adalah sang penuh cinta yang terlahir dari sebuah rahim kasih sayang penuh cahaya. Yang utuh untuk kemudian penuh dimiliki oleh aku yang hanya kecil terbentuk dari reruntukan angan kelabu yang halai-balai.
Aku nestapa dalam gemuruh yang menembus jendela kaca dengan tatap penuh impresi hingga retislaya ini lenyap bersama senyap kabut halim.
Terima kasih.
Terima kasih telah memberikan keras-lembut yang terbentuk dari lengkapnya sebuah tatap.
Kau adalah pemilik nayanika yang cemerlang.
Yang selalu ingin aku jelajah sebab puisiku terlahir dari sana.
Kau seperti indurasmi yang terang, agah dengan jenjam.
Kau akan selalu hidup dalam puisiku
Rindu dan cinta akan selalu bernyawa sama seperti waktu dulu, akan selalu penuh sama seperti gelas kosong yang diisi air, sudah penuh diisi lagi. Semakin penuh semakin meluap, lengkap membawa hangat.
Aku hanya memeluk kehilangan. Lalu, kubiarkan lepas terbang tinggi sendiri
Tak ada salam perpisahan.
Kau hanya pulang, dan aku akan kembali.
Kau telah pulang telah kembali untuk bertemu dengan Ilahi.
Untuk keselamatanmu, aku rapalkan semoga yang tak pernah ada ujungnya dan amin yang akan selalu bersuara dibalik celah-celah dinding biru yang hening ini.""
I Love You, selalu."
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.