https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
PULANG
Karya: Tisatun Asri
Pagi masih sama dengan semburat kekuningan terlukis di hamparan kanvas alam semesta. Dengan embun yang menggantung di pucuk-pucuk rumput dan dedaunan. Dengan keteduhan yang menyambut setiap makhluk hidup untuk memulai kesehariannya. Dengan aku yang masih tidak baik-baik saja semenjak kepergianmu yang begitu tiba-tiba.
Aku pernah mendengar bahwa, dunia tidak peduli meski duniamu sedang hancur. Benar, karena tragis aku masih harus bekerja, memaksakan untuk tertawa, untuk mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Hati ini enggan untuk berpura-pura tetapi mereka akan berkata ‘untuk apa bersedih lama-lama, tidak berguna membuat sakit hati semakin lama saja’. Terkadang aku berpikir, meraka benar tapi bukankah kadar perasaan setiap orang berbeda?
Hari ini aku berangkat seperti biasanya. Tepat pukul tujuh aku sudah berada di pinggir jalan menanti tukang ojek yang siap mengantar kemana saja tujuanku. Pukul tujuh lebih lima belas aku baru mendapatkan tumpangan. Matahari sudah terik, agaknya hari ini akan panas. Wah senang sekali, jemuran yang digantung tiga hari lamanya akhirnya bisa kering juga.
Jarak antara rumahku dengan tempatku bekerja lumayan jauh. Tempatku bekerja yaitu sebuah sekolah swasta yang lumayan besar di daerahku. Aku baru bekerja disana sekitar tiga bulan sebagai guru pelajaran bahasa Indonesia. Menjadi guru lumayan menyenangkan karena sedikit banyak mengalihkan perhatianku. Aku bilang hatiku terluka, iya benar tapi aku tertawa ketika ada siswa yang melucu. Aku bilang aku kesepian, iya benar tapi berada di dalam kelas dengan siswa-siswi yang tersenyum, bingung, mengantuk, tertawa, dan mengangguk-angguk paham sudah banyak mengisi ruang-ruang kosong yang ada di dalam hatiku.
Menjadi guru bagiku itu obat terlepas dari beban berat yang harus ditanggung untuk menjadikan anak-anak menjadi orang-orang hebat. Terkadang melihat mereka aku merasa melihat diriku yang dahulu. Tawa, tangis, bahagia, duka, dan lelah mereka seolah berbicara padaku ‘kamu hebat sudah bertahan sampai titik sekarang’. Iya, sekarang aku sadar bahwa semuanya akan kembali normal. Masalah yang dulu aku pikir bisa membuatku mati kini sudah lama bisa aku lewati. Sekarang aku tahu, jalani saja, maka kamu akan menemukan itu sebagai pelajaran di kemudian hari.
Hari ini aku cukup sibuk, mengajar dua kelas dan selesai jam pelajaran masih harus mendampingi kegiatan ekstrakulikuler siswa. Pulang pukul lima sore, tentunya jalanan sudah mulai sepi dari kendaraan umum. Iya, daripada pulang lebih terlambat aku memilih meminta tetanggaku untuk menjemputku. Cuaca sore ini terlihat begitu kontras dengan pagi tadi, matahari yang sudah tidak sabar menenggelamkan diri pun terselimuti awan hitam. Angin berhembus cukup kencang dan dingin. Langit yang biru berubah menjadi kelabu.
Aku termangu menunggu, berpikir untuk segera sampai rumah untuk segera menikmati secangkir teh hangat. Namun perhatianku teralihkan pada sepasang suami istri penjaja kue samir di sebrang jalan. Mereka sudah cukup senja dengan keriput sudah banyak menggantikan kulit kencang mereka. Mereka terlihat begitu hangat, saling menjaga dan memperhatikan satu sama lain. Melihat mereka membuatku terlempar pada ingatan satu tahun lalu. Disini, di tempat yang sama.
“Dek, mari menua bersama.”
“Hahaha, kamu kenapa mas tiba-tiba begitu. Jangan bercanda.”
“Aku serius,” jawab lelaki itu dengan senyuman khasnya.
Saat itu aku berpikir, itu senyumnya yang paling indah selama aku mengenalnya. Matanya teduh, senyumnya yang membentuk lesung di pipinya, dan rambutnya yang sedikit basah karena terkena gerimis dengan suasana syahdu sore itu.
“Janji ya dek, kita menua bersama-sama.”
“Iya mas, janji.”
Hari itu kami berjanji seolah waktu dapat kami genggam, dapat kami lalui bersama-sama, hingga akhirnya peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang merenggut semua kebahagiaan yang didambakan, mengkhianati janji yang diucapkan, dan menerbangkan balon-balon harapan yang tergantungkan. Dia pergi, tanpa mengatakan kata-kata perpisahan. Lenyap tidak berjejak seolah tidak pernah hadir dalam duniaku. Meninggalkanku setelah memintaku berjanji untuk menua bersamanya.
Waktu itu hujan turun dengan deras, kami sudah membuat janji untuk bertemu di kafe tempat biasa kami bertemu. Kebetulan kafe itu tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja jadi aku memintanya untuk langsung bertemu saja disana. Janji kami bertemu pukul empat sore, waktu itu aku agak sedikit terlambat sampai disana karena dia juga mengatakan agak terlambat karena masih ada urusan di tempat lain. Tepat pukul empat lebih sepuluh aku sudah sampai disana, duduk di tempat biasa kami duduk. Dia belum datang, hingga sampai pukul lima dia tidak kunjung terlihat. Kabar pun tidak ada, ponselnya pun tidak dapat dihubungi. Karena khawatir aku pun menghubungi adiknya.
“Halo Karin, ini Mba Sari. Kamu lagi sama Mas Adi?”
“Halo Mba Sari,” suaranya sedikit serak seperti sedang menahan tangis. “Mba Sari, Mas Adi mba, Mas Adi...”
“Mas Adi kenapa Rin?”
“Mas Adi, di rumah sakit mba, Mas Adi meninggal, serangan jantung.”
Kaget, seolah langit runtuh waktu itu. Waktu berhenti, suara-suara bising tidak terdengar lagi. Makhluk dengan senyuman meneduhkan itu sudah tidak ada lagi. Tidak dapat lagi aku merasakan sentuhan hangat tangannya, tidak dapat lagi aku merasakan dekapannya. Seketika menjadi dingin. Bulir bening tidak terasa sudah deras turun dari mataku. Aku linglung, semua seperti berputar. Hingga, kesadaranku mulai memudar. Hitam sepi kelam, aku lihat dia melambaikan tangan, tersenyum lalu menghilang.
Tin! Tin!! Tin!!!
Suara klakson membangunkanku dari lamunan. Tidak terasa hujan sudah turun deras namun kenapa jalanan di depanku ramai orang-orang. Aku bertanya kepada orang disebelahku.
“Ada apa itu Mas?”
Namun, orang itu bergeming. Dia fokus melihat keramaian di hadapannya. Aku pun beranjak mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Sesak, sulit sekali untuk melihat apa yang terjadi. Akan tetapi perhatianku teralihkan pada satu sosok yang begitu aku kenal. Sosok yang begitu aku rindukan belakangan. Dia melambai, tersenyum padaku dengan senyuman yang sama teduhnya, dengan senyuman yang membentuk lesung di pipinya.
“Apa aku salah lihat?” pikirku.
Tetapi tidak, dia terus melambai kemudian memanggil namaku.
“Sari. Ini aku Mas Adi.”
“Mas Adi?”
“Iya, ini aku. Ayo sini kita pulang bersama.”
Aku pun berlari menghampirinya. Bahagia karena Mas Adi kembali. Dia kembali untuk menjemputku, dia kembali menghampiriku, dia kembali ke hidupku. Hangat, perasaan hangat itu kembali di dalam hatiku. Sudah tidak ada lagi kekosongan, tidak ada lagi kesepian.
“Mas, ini beneran kamu?”
“Iya, ini aku. Maaf ya membuat kamu menunggu lama.”
“Tidak apa-apa. Aku senang mas kembali.”
“Iya, aku juga senang bisa menepati janji. Ayo pulang,” ajaknya sembari mengulurkan tangan padaku. Aku pun meraihnya dengan senang. Genggaman ini, genggaman yang begitu hangat.
“Kita kemana?”
“Ke tempat dimana kita bisa menua bersama.”
"
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.