NOVEL BERDARAH - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


NOVEL BERDARAH

Karya: Jund Suryanegara


Aku sedang duduk santai di teras rumah setelah menyelesaikan tugas bersih-bersih rumah yang diberikan orang tuaku sebelum pergi ke rumah paman Wiko. Bibi Nur datang sambil membawa secangkir kopi panas dan meletakkannya di sampingku. “Ini mas, kopinya,” kata bibi Nur. Aku terheran-heran. Sejak kapan aku suka kopi dan kapan aku memesannya? belum sempat protes, seorang tukang pos berhenti di depan pagar rumahku. Memencet bel dan memaksaku bangun dan menghampirinya. Saat aku sampai disana, tukang pos itu meghilang tanpa jejak. Aku kembali terheran-heran. Aku mengamati sekelilingku, tapi aku tak menemukan apapun.

Dengan kesal, kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah. Dan kudapati sepiring nasi goreng di atas meja di teras. “Tampaknya bibi Nur sedang hank.” Kataku lalu masuk ke dalam, menuju lantai dua tempat kamarku berada. Kubuka pintu kamar namun ada sesuatu yang aneh, pintunya terkunci! lagi-lagi aku terheran-heran. Jelas-jelas tadi pagi pintu kubiarkan terbuka. Lalu aku pergi ke dapur untuk mengambil kunci serep. Aku mencium bau darah segar dan sedikit amis saat masuk ke dapur. Aku mengira bibi Nur barusan memotong ikan atau daging dan lupa membersihkan sisa-sisanya. Ya… aku tak memikirkan soal itu lagi. Kuambil kunci serep kamar yang tergantung di dinding di samping kulkas.

Saat aku berjalan menaiki tangga, kudengar jeritan seseorang dari arah kamarku. Sontak aku berlarian kesana. Cepat-cepat kumasukkan kunci ke lubang pintu, namun pintu kamar tidak kunjung terbuka. “Astaga! aku salah mengambil kunci!”

Kini terdengar seseorang mengedor-ngedor pintu itu dengan keras. “Mas… mas… bangun, mas! sudah jam setengah tujuh. Nanti mas terlambat!” waaa… aku terperanjat bangun lalu berlarian membuka pintu kamar. “Bik, hari ini aku libur!”

***

Aku begitu jelas, melihat sang surya tenggelam dari jendela di lantai tiga rumahku. Aku lihat sekelompok burung berterbangan kesana kemari. Kini langit sudah sangat gelap, tetapi mataku masih jelas menangkap sebuah bayangan yang tengah memencet bel rumahku. Ku lihat bibi Nur membuka pintu pagar lalu berbincang-bincang dengan orang itu. Lalu ia menerima sebuah bingkisan mirip novel. Kemudian ia masuk ke dalam rumah.

Aku memutuskan turun ke bawah di samping perutku yang sudah keroncongan, aku juga ingin menanyakan siapa gerangan yang bibi Nur hampiri di depan tadi. “Mas Dhera belum tidur? tanya bibi Nur yang mengejutkanku. Aku lihat wajahnya begitu pucat, rambutnya terurai dan sedikit basah. “Ini sudah jam setengah dua belas malam, mas.” Sambungnya. Apa? apa aku tidak salah dengar? barusan aku menyaksikan matahari terbenam, bagaimana bisa bibi Nur mengatakan ini sudah tengah malam? kuacuhkan omongannya lalu aku menuju dapur. Rasa lapar ini semakin menjadi-jadi. Kubuka tudung saji, kudapati hidangan yang sepertinya baru dimasak. Lekas kuambil piring, meletakkan satu setengah sendok nasi diatasnya. Kuambil beberapa lauk yang ada, lalu dengan serta merta ku menyantapnya. Tibalah suapan terakhir dan… teng… tong… teng… tong… jam dinding berbunyi. Mataku terbelalak saat kulihat jam itu menunjukkan pukul dua belas tengah malam.

Bulu kudukku merinding. Saat aku ingin kembali ke kamar, perutku mual-mual, seperti ingin muntah. Aku mencium bau busuk di dapur. Kulihat ulat belatung, serangga dan binatang menjijikkan lainnya di makanan yang santap tadi. Astaga! makanan itu basi. Kurasakan ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutku dan memaksa ingin keluar. Aku memuntahkan semua yang kumakan tadi, sungguh menjijikkan. Aku mulai merasa pusing. Saat aku ingin duduk, aku terpeleset dan jatuh ke lantai. Kurasakan lantai itu begitu dingin dan membuatku seperti membeku. Jantungku masih berdetak, namun sesuatu itu keluar lagi dari mulutku. Cairan putih berbusa keluar dari mulut mungilku. Aku keracunan. Dan kini detak jantungku melemah, lalu sekejap berhenti dan tak kunjung berdetak lagi. Aku merasakan tubuhku melayang meninggalkan sebuah tubuh yang tergeletak tak bernyawa di bawah meja dapur. Aku mati!

Aku tersadar di sebuah ruangan putih-putih oleh tetesan air yang ternyata kran yang belum aku tutup sempurna, selesai aku mandi tadi. Tubuhku begitu dingin karena aku tertidur di dalam bak mandi yang berisi air. Kuraih handuk yang tergantung di samping cermin, lalu aku keluar dari tempat itu. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur yang empuk dihadapanku. “Aku bermimpi lagi. Araggghh!”

“Semakin hari semakin menyeramkan!” gumamku kesal. “Bibi Nur… kau mendengarku? tolong bawakan aku secangkir coklat hangat dan beberapa lembar roti tawar…” belum genap pintaku, ia sudah nongol didepanku. Aku terperanjak. “Sarapan tiba…” katanya dengan semangat sambil tersenyum. “Aaah… iya bik, terima kasih.” “Oh iya mas, saya hampir lupa…” ia mengeluarkan sebuah bingkisan lalu memberikannya padaku. “Ini titipan dari teman mas Dhera.”

Segera saja kubuka bingkisan itu. Isinya sebuah buku mirip novel bersampul merah tanpa judul, nama penulis, nama penerbit, tahun terbit dan lain-lain. Saat kubuka halaman pertama, aku sudah disuguhkan dengan tulisan yang tidak dapat kubaca. Halaman demi halaman kubuka, sama saja. Namun aneh, beberapa halaman di akhir buku itu masih kosong. Saat ku perhatikan, ada bercak-bercak merah di halaman kosong itu. Mungkin berkas tinta, pikirku. Lalu kuletakkan buku itu di atas meja belajarku. Ku santap sarapanku yang nikmat ini tanpa memikirkan hal-hal aneh yang belakangan ini ku alami. Masa bodoh. Mimpi dan halusinasi yang semu, beda dengan coklat hangat dan roti tawar ini!

Aku membawa piring dan cangkir bekas sarapanku tadi ke dapur. Bau darah segar dan amis itu kembali kucium. Aku memanggil-manggil bibi Nur namun dia tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kudengar suara televisi menyala di ruang tamu. Mungkin bibi sedang menonton, sehingga dia tidak mendengar panggilanku. Selepas dari dapur, aku menuju ruang tamu. Kudapati ia duduk membelakangiku di sofa. Rambutnya dibiarkan terurai. Ia sangat asyik menyimak sebuah berita. Aku bersandar di tembok, tak mendekatinya. Kudengar penyiar itu menyampaikan sebuah berita duka dari seorang novelis tenar yang meninggal saat tengah menulis novelnya. Ia dibunuh secara misterius. Novel yang tengah ditulisnya itu raib bersama jejak sang pembunuh. Bibi Nur tiba-tiba mematikan televisi.

Kini aku terbaring di atas kasur saat semua hal aneh itu menggerayangi otakku. Sial! Harusnya liburanku ini mengesankan bukannya mencekam seperti ini. Mataku mencari-cari sesuatu di meja belajar. Sesuatu yang kusadari telah hilang dari tempatnya dan hanya meninggalkan sebercak darah segar disana. Kutarik nafasku perlahan lalu kucubit lenganku. Sakit! Artinya itu bukan mimpi. Aku terperanjak dari tempat tidurku, melompat ke sudut kamar dan mengigil disana. Peluh dingin mengucur dan membasahi tubuhku. Kulihat sosok yang sama seperti di depan rumah itu sedang duduk membelakangiku di meja belajar. Tangan kirinya memegang sebuah pena. Ia sedang menulis di atas sesuatu. Astaga! di atas halaman kosong buku yang kucari-cari tadi.

“Kaukah novelis yang meninggal misterius itu?” tanyaku dalam ketakutan yang menyeruak. Namun dia tidak menjawab, ia tetap menggerakkan pena itu. Bau darah segar dan amis itu semakin menjadi. Aku semakin ketakutan dan sesak. Kucoba untuk bangkit membuka pintu dan keluar dari kamar ini lalu pergi sejauh-jauhnya. Namun itu hanya khayalanku semata. Ia berdiri lalu berbalik badan ke arahku kemudian menatapku dengan tatapan penuh benci. Aku tak mengerti dengan semua ini terlebih tatapan penuh kebencian itu. Aku sama sekali tak mengenalnya. Di tengah kekalutan itu, ia mendekatiku lalu mencekik leherku. Aku memberontak namun percuma saja, aku tak mampu melawan. Nafasku sudah putus-putus. “Aku akan sangat senang bila kau mati ditanganku. Hahahaha…” ucapnya dengan keras. Dengan sisa tenagaku, kukepalkan tangan lalu kuayunkan dan tepat mengenai pelipisnya. Dia roboh sembari mengerang kesakitan. Dengan sisa tenagaku ini aku mencoba bangkit, meraih gagang pintu yang ternyata tidak terkunci. Aku berjalan terseok-seok menuruni tangga. Kulihat bibi Nur sedang berdiri ke arahku. Bukan! bukan! itu bukan bibi Nur, melainkan sesosok hantu wanita berpakaian serba putih. Kini aku bagai telur di ujung tanduk. “Ya Tuhan, tolonglah hambaMu ini!” pintaku. “Aku tak ingin mati muda” tambahku. Namun memang nasibku sedang sial. Sosok yang mencekikku tadi kini sudah dibelakangku dan hantu wanita itu sedang menaiki tangga. Kupejamkan mataku, aku pasrah.

Tenagaku sudah habis dan aku tergeletak begitu saja di lantai. Aku merasakan tubuhku diseret menuju sebuah tempat yang panas, pengap, sesak dan penuh bau darah yang amis. Sungguh menjijikkan. Kudengar jelas kedua makhluk lain itu sedang bercakap-cakap. Yang mencekikku tadi ternyata adalah seseorang yang kukalahkan dalam sebuah kompetisi menulis saat itu. Ia telah membunuh sembilan orang finalis termasuk dirinya sendiri dan sekarang adalah giliranku. Aku sadar, inilah maksud halaman kosong di akhir buku tersebut. Ternyata, ia bermaksud menuliskan kisah pembunuhan tragis terhadapku beserta sembilan finalis lainnya termasuk dirinya.

Aku memaksa mataku untuk terbuka. Aku ingin melihat dunia untuk yang terakhir kalinya. Lalu sebuah benda menembus jantungku dan menghentikannya berdetak seketika. Kurasakan diriku melayang ke suatu tempat yang sejuk, pemandangannya indah. Disana aku bertemu dengan delapan finalis lainnya. Mereka menyapaku dengan hangat seolah kami telah bersama. Inilah surga? batinku.

***

“Dhera…” teriak seorang wanita dari halaman rumahku yang berhasil membuyarkan lamunanku. “Dhera, anakku…” teriak seorang lelaki di belakangnya, kemudian mereka berdua berlari ke arahku. Aku berdiri bermaksud untuk menyambut mereka. Tapi mereka tak berhenti di depanku, melainkan masuk ke dalam rumah. Kulihat mereka bersimpuh di depan tubuh seorang gadis sebayaku yang tengah beristirahat berbalut kain. “Papa, Mama, aku disini…!” teriakku. Namun mereka tak menoleh ke arahku, malah semakin menangisi jasad itu. Aku terheran-heran. Siapa gerangan jasad itu? Mengapa papa dan mama begitu terlihat kehilangan?

Aku kembali ke tempat dudukku, menikmati coklat hangat dan beberapa lembar roti tawar buatan bibi Nur ditimpali dengan sebuah surat kabar. Pagi yang indah. Kubuka koran yang masih terlipat itu lalu kubaca halaman pertama. “Novel berdarah karangan seorang novelis tenar yang belum lama ini meninggal secara misterius, dikabarkan kembali memakan korban. Dhera, siswa SMA yang juga seorang penulis, ditemukan meregang nyawa di gudang rumahnya. Sebuah buku mirip novel berdarah ditemukan di samping jasad korban.” Seusai membaca separagraf berita itu, “Dhera…” seorang wanita cantik bersayap memanggilku. Mengulurkan tangannya kepadaku. Kugenggam tangan yang membawaku terbang ke langit biru itu. “Selamat tinggal, Ma, Pa, aku akan sangat merindukan kalian.” Ucapku sambil melambaikan tangan. TAMAT."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.