Menjadi Sebuah Titik - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Menjadi Sebuah Titik

Karya : Jenab Paruk Ating


Mahkota cinta 

Tak pernah didapat 

Hanya karena tahta

Bukan karena diperalat 

          Tapi…

          Lara yang kuat

          Membisikkan ego

          Hanya karena segelintir kata

Melaju itu sulit.

Jika titik saja tak pernah terlihat.

Bukan berarti berkelit.

Tapi banyaknya koma yang tak masuk akal sehat.

          Diam mungkin lebih baik

          Mencoba merenungkan tanda petik 

          Jika titik itu dekat, akankah menjadi bajik?

          Jika tidak? Apakah soal pelik akan terjawab dengan sebuah titik?


Gudang ini adalah saksi bisu yang selalu menemani hariku.  Ku duduk di beranda jendela. Menikmati udara pagi sambil membaca sebuah buku. Namaku adalah Asma Arfa Arisha. Ayah telah memberikan nama indah kepadaku. Ia dahulu berjanji kepadaku, akan tetap bersama Ibu dan diriku selamanya. Kini, hanyalah tinggal kenangan.

“APA YANG KAMU LAKUKAN?” Bentak seorang Wanita dari lain arah. Ku menoleh, betapa terkejutnya aku, bahwa majikanku sedang berdiri di ambang pintu.

“S… Saya… Saya hanya sedang meminjam buku pelajaran nona yang sudah lama tidak terpakai di Gudang ini nyonya. Saya sedang mempelajari materi kuliah nona, sa… saya ingin kuliah nyonya,” Aku terbata-bata, ku ketakutan. Wanita itu menghampiriku dengan langkah tergesa.

“Apa! Jangan pernah bermimpi! Mana bisa kamu kuliah, orang tuamu aja sakit-sakitan,” celanya. Ia merampas buku Grammar yang sedang kupelajari itu. Dan Wanita itu membuang bukunya pada tong sampah yang terletak dekat dengannya.

“Ti…dak, tolong jangan dibuang nyonya. Saya membutuhkannya,” ku berusaha menarik kembali buku yang telah diambil oleh majikanku. Ya, diriku hanyalah seorang anak gadis biasa, bukan berasal dari orang kaya, dan aku membutuhkan uang demi kesehatan Ibuku. Ayah? Ayahku menceraikan Ibuku 5 tahun yang lalu, dan hidup bahagia bersama keluarganya. 

“Kamu, kamu berani melawan saya?! Baik, jika kamu tetap melawan saya, kamu akan saya pecat!” murkanya.

“Tidak, tidak nyonya, tolong jangan pecat saya, saya tidak akan mengulanginya kembali. Tolong beri saya kesempatan nyonya,” dengan segera ku berlutut dan memgang kakinya, memohon permohonan maaf darinya. 

“Tidak! Pergi karmu dari rumah saya sekarang! Kesalahanmu bukan hanya sekarang saja, tapi sebelumnya kamu sudah berusaha merebut kekasih anak saya!” ia mendorongku. 

Apa maksudnya? Selama ini, yang mendekatiku adalah lelaki itu, bukan aku. Aku sama sekali tidak ada niatan merebutnya.

“Pergi sekarang juga! Jangan pernah muncul di hadapan saya kembali!” ia menyeretku dengan menarik hijabku. 

“Baik! Saya akan pergi, tapi asal nyonya tau, saya akan melaporkan semua perbuatan anda yang telah anda lakukan terhadap saya,” ku berlari mengambil barang-barangku yang ada di kamar khusus asisten rumah tangga, dan pergi meninggalkan rumah yang telah menyiksaku selama bertahun-tahun. Ku menuju kantor polisi, dan menepati apa yang kukatakan tadi, bahwa aku akan melaporkan tindakannya pada pihak berwenang. Dan ku memberi bukti-bukti yang telah ku simpan selama ini.

Kemana aku harus pergi mencari pekerjaan? Ku hanyalah lulusan SMA, tidak banyak orang yang mau menerima lulusan SD, SMP atau SMA. Dunia ini begitu kejam. Ibu maaf, ku tidak bisa menjadi seorang anak yang bisa diandalkan. Tak terasa air mataku tak berhenti mengalir. Mengapa? Kami yang miskin semakin miskin sedangkan orang kaya akan semakin kaya. Astagfirullahaladzim, ya Allah, ampuni hamba, maafkan hamba. Apa yang kupikirkan. Ku hapus air mataku dan ku segera pulang, 

Selama perjalanan ku hanya bisa memohon kepada Allah, agar aku segera mendapat pekerjaan. Sedikit melamun, tak sengaja ku menabrak orang. Aku pun terjungkal ke belakang. Ku meringis, merasakan sakit di kedua tanganku karena menahan badanku agar tidak semakin terjatuh. Dan rupanya kulit pergelangan tangan sedikit tergores kerikil kecil. 

“Maaf dek, saya tidak sengaja,” ucap orang itu sambil mengulurkan tangannya.

“I… Iya, tidak apa-apa kak. Seharusnya saya yang minta maaf,” ku menerima uluran tangannya. Ku tidak tau siapa orang yang menabrakku, ku mendongak, mencoba melihat siapa yang telah kutabrak tadi akibat lamunanku. 

Deg… Deg…

Lelaki ini, ya Allah, apa yang harus ku lakukan? Ia adalah seseorang yang pernah ku kagumi, sekian lama tak berjumpa, jujur ku sempat lupa dengannya dan fokus dengan kesehatan Ibu. Dan kini, ia dihadapanku, berdiri dengan senyuman ramahnya, memakai setelan kemeja berwarna merah dengan lengan kemeja yang digulung hingga saku. Ku sadar, ku langsung menunduk, karena tidak baik menatap lawan jenis berlama-lama. 

“Kamu, dek Aara ya?” panggilan itu, lama tidak pernah kudengar, hanya dia yang sering memanggilku seperti itu. Aku tidak tahu alasan mengapa dia memanggilku seperti itu.

“Iya kak Ardin,” ujarku mengiyakan ucapannya. Namanya Arfan Achazia Aydin. Karena Namanya yang cukup sulit, ku singkat Namanya yang berawalan Ar dan berakhiran din seperti Namanya.

Dengan tiba-tiba, ia membungkuk. Mensejajarkan mukanya denganku, ku tahu, tinggi badannya adalah 180 cm, karena ku sempat mencari tahu tentangnya dari orang sekitar. Wajar jika ia membungkuk dan mensejajarkan dirinya denganku, yang tingginya hanya 155 cm. Dulu ku pernah malu karena tinggi badanku tidak setinggi orang lain, namun sekarang rasanya ku bersyukur. Ya Allah, maafkan aku yang tidak bisa menahan diri untuk menatapnya.

“Bagaimana kabarnya dek Aara?” tanyanya dengan posisi yang sama. 

“Alhamdulillah baik kak, kakak sendiri bagaimana kabarnya? Bagaimana kuliah kakak?” tanyaku bertubi-tubi. Ku yakin pipiku memerah sekarang.

“Alhamdulillah lancar dek, sekarang sudah bekerja di perusahaan Abi,” Dengan senyuman ramahnya ia tidak pernah memalingkan muka. Sedangkan aku menunduk sesekali.

“Adek rumahnya di mana? Kakak ingin berkunjung ke rumah dek Aara,” lanjutnya. 

“Dua rumah dari sini kak,” ujarku.

“Oh begitu, besok kakak ingin berkunjung bersama dengan orang tua kakak. Insya Allah niat kakak baik, untuk mengkhitbah dek Aara agar menjadi pendamping kakak, menurut dek Aara bagaimana? Apakah di bolehkan?” tanyanya.

“Eh… Emm,  i… iya kak, silahkan,” ku menunduk. Ku malu, Ya Allah tolong aku, mengapa jantung ini berdetak dengan sangat cepat.


Besok harinya

Kak Ardin menepati perkataannya, dan Ibu juga menerima niat baik darinya. Semua di perbincangkan oleh kedua belah pihak hingga niat baik itu akan diselenggarakan hari Kamis. Yang berarti esok hari.  Betapa terkejutnya aku, mereka sudah menyiapkannya jauh-jauh hari. Tak bisa kupingkiri niat baik itu meluluhkan hatiku. 

Hari H pun tiba, kini ku sudah sah menjadi pendamping hidupnya. Siapa sangka ternyata Allah memberi yang lebih baik dari hilangnya pekerjaan itu. Kini, kami sedang duduk berdua di gazebo, menikmati indahnya malam hari.  

“Kak… boleh aku tahu alasan kakak?”

“Boleh, tapi tatap mata kakak dahulu,”ujarnya. Dengan sedikit keberanian, ku menatapnya. Mengapa senyuman itu tidak pernah luntur? Ya Allah, terima kasih telah memberikan seorang Imam yang sempurna. 

“Karena sesungguhnya kakak sudah ada rasa dari semenjak adek tak sengaja menabrak kakak ketika berpapasan saat masih SMP, dek Aara mungkin tidak sadar, tapi dari situlah kakak sudah memandang adek sebagai perempuan yang Allah titipkan kepada kakak. Alasan kakak memanggil Aara karena adek begitu manis dengan segala tingkah adek, kecerobohanmu, semuanya membuat kakak selalu tertarik,” tak pernah ku sangka ia menaruh rasa kepadaku terlebih dahulu. 10 tahun? Apakah selama itu? Tak terasa air mata jatuh, kukira rasa sukaku terhadapnya hanyalah sebelah pihak. Tapi ternyata, ia memendamnya lebih lama dariku. 

“Jangan menangis istriku, terima kasih telah berjuang begitu keras dengan segala cobaan yang Allah beri. Maaf kakak datang terlambat, maaf kakak tidak bisa membantu disaat adek membutuhkan sandaran. Kakak tahu semua yang telah majikan adek lakukan terhadap adek, mulai sekarang, tinggallah di rumah ini, bawa Ibu kemari, agar beliau tidak sendirian. Dan satu hal lagi, mulai sekarang Mas yang akan menafkahimu, kamu tidak perlu bekerja, cukup di rumah menyambut Mas setiap harinya.dan lakukanlah pekerjaan rumah sebagaimana mestinya serta rawat Ibu agar cepat sembuh. Mas tidak menerima penolakan,” ia menarikku dalam pelukannya. Pelukannya begitu hangat. Ku bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan.


Hari ini begitu cerah, hari dimana semua keluarga berkumpul, ada Ayah beserta keluarga barunya. Hatiku masih sakit, Ayah memilih perempuan lain disbanding bersama Ibu. Mengapa Ayah melakukan itu?

“Jangan menangis, Mas ada disini, berjanjilah jangan pernah menangis jika Mas tidak ada disampingmu,” ujarnya menenangkan. Ku memegang tangannya dengan begitu erat. Tak ingin melepaskan.

“Mas tidak akan berjanji kepadamu istriku, Mas hanya bisa berjanji kepada Allah, Mas akan selalu menjagamu dan keluarga kita nantinya. Apa kamu tidak ingat? 10 tahun Mas tidak pernah berpaling dari kamu, dari mulai suka menjadi cinta. Mas mencintaimu karena Allah, Istriku Asma Arfa Arisha,” kecupan hangatnya di dahi membuat hatiku menghangat. 

“Ku juga mencintaimu karena Allah suamiku Arfan Achazia Aydin,” memeluknya dengan begitu erat.


2 Tahun kemudian

Dibawah guyuran langit abu-abu, lara sangat terasa. Ku tak tahu apa artinya. Seiring berjalannya waktu dan tetesan airnya. Membuatku tersadar. Ia telah tiada, meninggalkanku di dunia ini. Di hadapan batu nisan ditemani sunyi, tetesan air mata tak bisa kubendung. Hujan, biarkan tetesanmu menyamarkan tetesan air mataku. Tetap temani aku dan jangan pergi. 

“Ayo pulang,” seseorang menepuk pundakku.

“Tidak, ku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini! Lebih baik aku mati!” jeritku padanya. Ibu telah pergi. Dan Ayah tidak hadir saat pemakaman Ibu. 

“Istighfar dek, Jika kamu mati, apa kamu mau meninggalkanku dan anak kita? Ingatlah, masih ada aku dan anak kita Aariz Arfan Achazia Aydin di sampingmu,” ujarnya dengan tatapan sedih. Dia adalah lelaki yang selama ini kukagumi dan kusayangi, dia yang selalu menemani hari-hariku. Ku sangat mencintainya.

“Tapi…” ucapanku terpotong olehnya.

“Aku yakin Ibu sudah Bahagia, iya kan bu?” tanyanya kepada batu nisan yang bertuliskan nama Ayah. Dan suara petirlah yang terdengar.

“Baiklah,” ujarku pasrah. 


1 Jam Kemudian…

“Dek, bangun. Aaraku sayang, istriku yang manis, bangun. Kita sudah sampai, mau ku gendong sampai dalam rumah dek?” Mas Ardin membangunkanku. 

“Eehm… iya mas,” Aku mencoba bangun, tapi anggota tubuhku tidak sejalan denganku.

“Lebih baik mas gendong ya dek, karena kondisimu sedang lemah,” Sebelum ku menjawab Mas Ardin menggendongku  dari luar mobil.

Mas Ardin menggendongku hingga dalam rumah, di ruang tamu ada Mama, Papa, dan Aariz. 

“Bunda! Bunda… hiks… hiks… Bunda jangan sedih ya, Bunda jangan nangis, bilang Aariz, Ayah apain Bunda? Biar Aariz cubitin Ayah!” tangan mungilnya memelukku erat selepas ku turun dari gendongan Mas Ardin. 

“Bunda jangan sedih, Aaliz yakin, nenek akan masuk sulga kalena nenek orang baik dan penyayang. Bunda tenang yah, ada Aariz, Yanda serta kakek dan nenek disini yang menemani Bunda. Aaliz sayang Bunda,” dengan cadelnya ia berkata bijak. Diumur dia yang baru menginjak usia 2 tahun. Kepintarannya menurun dari Yandanya. Ku lepas pelukannya dan ku cubit pipinya. 

“Coba tadi bilang apa? Mau cubit Yanda? Jangan dong, Yanda hanya milik Bunda, tidak boleh ada yang sakitin raja dan pangeran Bund ini selain Bund ini,” tanganku tak pernah melepas cubitan dari pipinya.

“Ih Bunda, lepasin dong, nanti pipiku melah. Iya-iya, Yanda tidak ku apa-apain, tapi lihat aja, nanti kalau Yanda nyakitin Bunda, Aaliz tidak akan tinggal diam,” kami tertawa dengan tingkahnya yang berani dan lucu serta kecerdasannya.

“Anakku cadel banget sih makin gemas deh,” bukan aku yang mencubitnya, tapi suamiku. Semua memang butuh proses, tapi inilah rencana-Nya, semua ada pada kehendak-Nya. Semoga keluarga kami akan selalu bahagia selamanya. Amiin.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.