MERETAS MIMPI DI USIA MUDA - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


MERETAS MIMPI DI USIA MUDA

   

      Udara begitu panas. Sang surya tak henti-hentinya mengeluarkan cahaya yang begitu membara. Bulir peluh yang membanjiri para pekerja tak membuat mereka putus semangat. Begitu juga dengan bocah berusia lima tahun dengan gendongan bakul. 

      Ara, nama yang akrab disapa oleh orang-orang di kampungnya. Tak heran di usianya yang begitu muda ia cukup dikenal, Ara penjaja timpan yaitu makanan khas Aceh yang sangat populer yang banyak digemari dikalangan masyarakat Aceh dengan rasa yang sangat lezat. Menjual Timpan merupakan pekerjaan utama untuk menghidupi kebutuhannya dan juga neneknya yang sudah tua renta. Orang tua Ara sudah meninggalkannya diusia 2 tahun, akibat kecelakaan maut yang merenggut banyak korban jiwa. 

      Peluh dan keringat berayun-ayun didahinya. Ubun-ubun terasa seperti tertusuk oleh panah api sang surya yang begitu bergelora. Ara beristirahat sejenak, kakinya yang mungil tak mampu lagi menopang tubuhnya untuk melanjutkan perjalanan. Dilihatnya Timpan yang masih tersisa diatas nampan besar membuat mulutnya tergiur untuk mencobanya. Perut yang sedari tadi memanggil tak bisa ditahannya lagi. Ia langsung mengambil satu Timpan dan memakannya dengan lahap. 

      Setelah habis melahap Timpan, ia mengeluarkan beberapa selembaran rupiah yang didapatnya dari hasil jerih payah. Tak lama kemudian, setetes air jatuh di kedua pelupuk matanya. 

       Di kejauhan seseorang memanggil namanya. Cepat-cepat Ara menghapus linangan air yang keluar dari kedua matanya. 

      “Kau kenapa Ra, sudah lelah toh?”ucapnya dengan logat jawa. 

      “Ya kak, aku sudah lelah. Aku ingin pulang,”jawab Ara. 

    Orang yang Ara sebut kakak itu adalah kak Yana. Sama seperti Ara, dia yatim piatu. Ia tinggal bersama paman dan bibinya. Ara dan nenek sangat dekat dengan keluarga kak Yana. Bahkan bisa di sebut saudara. Wanita muda itu sering menjajakan kue kering di sekitar jalanan. Oleh karena itu, Ara menawarkan diri untuk membantunya berjualan kue. Karena keadaan gadis kecil itu yang kesusahan dan memikul beban ditambah lagi dengan kemauan Ara yang begitu gigih, ia bersikeras untuk mengizinkannya, walaupun Kak yana tahu tenaga Ara tidak banyak membantu. 

      “Yaudah, kamu pulang aja. Kakak juga mau pulang, nih upahnya,”ucap kak Yana sambil menyodorkan beberapa uang tambahan. 

     “Terima kasih ya kak, selama ini kakak selalu membantuku.”

 Kak Yana mengangguk sambil tersenyum. 

     Ara bangkit dan pulang bersama nampan yang tersisa Timpan tadi.  

     Langit mulai kelam. Awan putih berarak pergi meninggalkan posisinya, di gantikan dengan kembarannya awan hitam yang siap menumpahkan butiran-butiran bening ke seisi bumi. Sesekali kilatan petir menjilat-jilat langit ketika jutaan air hujan sudah menetes mengiringi langkah kecil Ara.  

     Kini Ara sampai di gubuk kecil yang di tempatinya dengan basah kuyup, bukan hanya tubuhnya saja yang basah tapi hatinya juga basah oleh kesedihan.

    Nenek yang melihat Ara sudah pulang langsung menghampirinya dengan  perasaan yang bercampur aduk. 

      “Aduh kamu jadi basah gini kan,”ucap nenek dengan nada kekhawatiran. 

   Ara tidak menghiraukan ucapan nenek, ia mengeluarkan beberapa lembar rupiah yang sudah basah oleh hujan. “Nek, Cuma ini yang bisa Ara dapat  hari ini.” Tanpa sadar, air mata Ara sudah tumpah membanjiri pipinya. 

     Nenek tersenyum simpul. “Sudah kamu jangan nangis lagi, simpan saja uang itu. Nenek lebih khawatir sama kamu, lebih baik kamu mandi biar nggak sakit.”

     Ara pun menuruti perintah nenek

                                                                      *  *  *

 

       Hujan mulai reda ketika mentari bergulir ke pangkuan bumi pertiwi. Jutaan burung pipit pulang ke rumahnya ketika lembayung senja menggurat langit. Rona cakrawala baru saja melintasi langit biru dengan anggunnya. Seorang gadis kecil sedang duduk di teras, menikmati angin sore yang bersiul membuat rambutnya bergoyang pelan. 

     “Ara, kamu sedang apa di sini?”ucap Nenek seraya duduk di sebelah Ara.

     “Tidak ada Nek, aku hanya mencari udara segar saja,”jawab Ara. 

   Hening menyelimuti sejenak, tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pada saat itu juga kesedihan meyayat hati Ara lagi. Matanya mulai menoleh ke arah Nenek. Tubuhnya yang kurus dan keriput membuat Nenek semakin lemah untuk melakukan aktivitas. Ditambah lagi dengan sakit asmanya yang sudah mendominasi napas beratnya. 

   “Nek, apakah hidup kita akan seperti ini selalu?” Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut sang gadis membuat nenek sedikit terkejut. 

    Nenek mengelus rambutku lembut dan berkata. “Kau lihat burung kecil di atas dahan pohon damar itu?”

    Mata Ara langsung menuju ke arah pohon damar yang dimaksud nenek. Tampak burung kecil sedang belajar terbang dengan berlompatan diantara dahan. Kening Ara menyerngit. “Apa maksudnya Nek?”

    Nenek tersenyum. “Hidup itu tidak selalu mudah untuk dijalani Ara, penuh cobaan dan rintangan yang harus kita hadapi dengan hati yang ikhlas. Kita tidak perlu untuk berputus asa karena hidup akan selalu memiliki titik terang ke arah proses yang lebih baik dan terbaik.”

   “Jadilah seperti burung kecil itu yang tidak pernah menyerah untuk bisa terbang tinggi walaupun tubuhnya sering menghantam dahan dan berkali-kali jatuh.” Nenek berhenti sejenak, mengatur napas yang sudah naik turun. Ara mulai menunggu kelanjutan cerita nenek dengan antusias. 

    Nenek pun melanjutkannya. “Sampai akhirnya ia bisa terbang sendiri dengan gagah mengarungi luasnya langit. Makanya kamu tidak perlu sedih akan kehidupan kita yang seperti ini walaupun itu berat untuk dijalani, tersenyumlah Ara! Karena hidup akan selalu damai jika kita menjalaninya dengan ikhlas.”

   Nenek menatap Ara lekat. “Nenek mau tanya apa cita-cita kamu nanti”?

   Gadis kecil itu mulai berpikir sambil menatap ke langit biru. 

   “Aku ingin menjadi seperti burung Nek, yang bisa terbang mengelilingi dunia,”jawabnya mantap. 

    “Nenek akan doakan agar cita-citamu itu tercapai. Yang terpenting jangan pernah menyerah untuk hidup ini, tetaplah berusaha dan berdoa karena kesuksesan yang kita capai menggunakan talenta-talenta yang telah tuhan berikan kepada kita.”ucap Nenek sambil mengacak-acak rambut Ara. 

    Ara mengangguk lalu memeluk Nenek erat. “Terima kasih Nek atas segalanya.” 

Kini Ara mengerti bahwa hidup akan ada masanya untuk kita merasakan kebahagiaan. Kesulitan, penderitaan dan ujian dalam hidup adalah rahmat positif, semua itu merajut kita untuk menjadi lebih kuat dan tegar dalam menghadapi kehidupan yang selanjutnya. 


Jatuh bangun dan tabahnya kita dalam mengarungi kehidupan adalah ibarat sebatang pokok. Walaupun daunnya berguguran, ia masih tetap gagah berdiri menungggu masa dedaunannya segar menghijau semula. 




                                                                         

         


                                                         

     

    

    


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.