HOPE- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "HOPE

BY: REVINA EKA PUTRI

Disaat teman-temanku sibuk menghabiskan waktu liburannya untuk berjalan-jalan, aku  memilih untuk dirumah saja. Menulis sebuah cerita. Inginnya begitu, namun tidak bisa. Keluargaku bukan tipe keluarga yang kaya raya. Kami hanya keluarga biasa yang senang menghabiskan waktu bersama dirumah saja. Namun, kami tidak pernah bosan. Kami saling berbagi cerita tentang apapun. Sungguh aku bersyukur dilahirkan dikeluarga ini. 

Ibuku pernah bilang “Nggak perlu mendengarkan kata orang dan jadilah dirimu sendiri” 

Sampai sekarang aku begitu. Sifatku mungkin terbilang kekanak-kanakan. Tapi, aku juga punya sisi dewasaku juga. Perkenalkan namaku Rara. Aku bukan tipe anak manja sekali, hanya saja aku suka bercerita tentang apapun kepada ibu. Kata ibu, ibu lebih suka aku bercerita segalanya kepadanya, dari pada kepada sahabatku. Sebab, sahabat belum tentu bisa dipercaya. Dan sampai akhirnya, bercerita tentang apapun menjadi kebiasaanku kepada ibu. Ibu kadang menanggapinya serius, kadang juga bercanda. Bersama ibu, aku lebih bebas menjadi diriku sendiri.

Berbeda dengan ayah. Kata ibu, aku dan ayahku mempunyai sifat yang sangat mirip. Mulai dari sikap egoisku, dan pantang menyerahku. Ya, sampai saat ini aku akui aku memang mirip seperti ayah. Namun, aku tidak mau semuanya disamakan. Kalau aku bisa lebih baik dari ayah kenapa tidak?

Aku sekarang kelas 2 SMA. Yang satu tahun lagi akan lulus sekolah. Aku bersekolah disekolah swasta. Bukan sekolah yang terbilang popular. Namun, bisa untuk belajar bukan? Kata ibu, nggak perlu sekolah yang mewah. Karena disekolah yang mewahpun kalau kita tidak bisa menyerap pelajarannya juga untuk apa? 

Selama ini, aku selalu rangking pertama disekolahku. Aku masuk jurusan IPA. Sejujurnya aku tidak mau, sebab yang aku mau adalah jurusan bahasa. Yang aku tau, jurusan bahasa tentang bahasa Indonesia saja. Itupun karena aku suka menulis. Tapi, karena tidak ada jurusan bahasa disekolahku, terpaksa aku masuk IPA, dan untungnya jurusan IPA tidak sesulit yang aku bayangkan.

Aku juga terpilih sebagai anggota OSIS  disekolahku. Sebenarnya aku sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa terpilih. Namun tidak apa, itung-itung menambah teman juga. 

Aku baru saja pulang dari sekolahku, aku selalu pulang pergi dengan sahabatku Ine. Ine merupakan orang yang menyenangkan. Kalau sama dia, pasti selalu dibuat tertawa. Percayalah, dia orang yang sangat asik diajak bercanda.

“Terimakasih Ine” Kataku yang turun dari motornya.

“Yaudah, aku pamit  ya. Oh iya, besok kita main ya. Pokoknya kamu harus ikut!” Aku mengangguk, lalu dia pergi saat itu juga. Pintu rumahku terbuka, pasti ibu sedang berada didalam.

“Assalamualaikum,”

“Waalaikumussalam,” Ibuku menjawab. Aku langsung menyalaminya. Dan juga ada adikku disana. Sepertinya keduanya sedang mengerjakan tugas adikku, Zaki.

“Loh cepat sekali pulangnya” Kata ibu, aku mengangguk.

“Tadi aku nggak rapat OSIS, jadi pulangnya jam 12 deh” Kataku. Dia masih sibuk memarahi adikku yang sedari tadi tak mau dibilangi.

“Udah ah, capek aku ngerjain tugas melulu” Kata adikku. Aku yang melihatnya hanya menggeleng kepala. Padahal, ingin sekali aku adu nasib dengannya. Dasar,  begitu saja mengeluh.

“Ini masih banyak tugasnya.” Kata ibuku yang mulai kehabisan tenaga.

“Biarin aja.” Zaki pergi meninggalkan ibu dan tugas sekolahnya.

“Aku mau main dulu” Kata Zaki. Kali ini, ibuku yang menggelengkan kepala. Dasar, malas sekali. Oh iya, adikku kelas 4 SD. Meskipun begitu, kalau soal tugas masih dibantu oleh ibu. Tidak bisa mandiri. Sebab, dia selalu dibela oleh ayahku. Tapi kadang juga sering dimarahi.

Lalu, ibuku sibuk dengan ponselnya. Aku mengambil sepiring nasi untuk makan, lalu bersiap untuk bercerita dengan ibu juga. Tapi tanpa aku dan ibu duga. Ayah sudah pulang dari tempat kerjanya. Karena saat ini sedang pandemi. Jujur saja, pandemi ini membuatku dan keluargaku menjadi enggan untuk kemana-mana. 

“Loh, kok cepat sekali pulangnya.” Kata ibu, ayahku tidak menjawab.

Dia segera membersihkan diri. Selama ia dikamar mandi, aku telah selesai menghabiskan makananku dan bersiap untuk belajar. Bersyukurnya aku sudah difasilitasi dengan lengkap oleh kedua orang tuaku. Aku berusaha untuk menggunakannya dengan baik.

Saat aku sedang mengerjakan tugas dan ayahku telah selesai shalat, aku langsung tersadar bahwa aku belum shalat zuhur. Dengan cepat bergegas kekamar mandi dan segera shalat.

Setelah selesai shalat, aku tak sengaja mendengar ayah dan ibu sedang berbicara.

“Lalu ayah maunya gimana? Kalau kata ibu, lebih baik berhenti saja, dari pada ayah hanya disuruh-suruh saja disana. Lebih baik menjadi ojek online saja. Gapapa.” Begitu kata ibu. 

Saat itu juga, rasanya aku bingung. Aku bingung bagaimana aku harus bereaksi. Jujur saja aku terkejut. Apakah ayah akan berhenti kerja? Apakah ada yang salah dengan kerjaan ayah? Aku bingung harus bagaimana. Saat itu juga aku langsung berpikir ‘Apakah aku bekerja saja?’

Tapi aku sadar aku masih sekolah, belum lulus. 

“Ya, palingan ayah ngojek saja” Kata ayahku. 

Kau tau apa yang aku pikirkan saat itu juga? Aku merasa hanya akan menjadi beban saja. Masalahnya, sekolahku bukanlah sekolah negeri. Aku bersekolah di sekolah swasta. Setiap bulannya bayaran. Dan belum lagi untuk kegiatan yang lainnya. Apa yang harus aku lakukan sekarang? 

Ah iya. Aku segera mengambil ponselku dan mencari nama ‘Mas Kiki’

Aku meneleponnya, tak lama tersambung olehnya.

“Assalamualaikum”

“Waalaikumussalam” Jawab seseorang dari seberang.

“Gini, waktu itu kan mas kerja malem. Yang bantuin tusukin sate itu.” Kataku langsung membahasnya. Aku tidak mau basa basi.

“Oh, angkringan. Kenapa memangnya?” Tanya dia. Aku bingung menjelaskannya seperti apa.

“Aku lagi cari loker” Kataku.

“Buat siapa? Kamu” Lagi-lagi dia bertanya. Aku mengiyakan saja. Lalu dia menjelaskan padaku secara detail tentang pekerjaan itu. Masalah utama bagiku adalah pekerjaan itu berakhir jam dua pagi.

“Nanti aku tanya ibu dulu deh mas, makasih ya mas. Assalamualaikum” Ucapku.

“Yaudah, waalaikumussalam” Ia mematikan panggilannya.

Aku bingung. Bimbang. Bayarannya 700 ribu perbulan, dan juga dapat uang jajan perminggu serta mendapat makan. Aku menginginkannya. Satu hal yang berat untukku. Pulang jam 2 pagi. Aku yakin 100% ibu tidak akan mengizinkannya.

Tak lama, mereka selesai berbicara. Aku menarik lengan ibu untuk kekamarku. Aku bercerita padanya tentang info yang diberikan mas Kiki tadi. Aku juga bilang bahwa aku ingin bekerja.

“Ngga usah.” Itu kalimat pertama yang ibu berikan setelah aku selesai bercerita.

“Kamu itu perempuan, nggak baik pulang malam. Urusan uang, biar ibu sama ayah yang cari. Yang penting kamu sibuk belajar saja. Prestasinya di tingkatkan lagi.” Kata ibu. Aku masih diam. Tak bersuara.

“Nggak perlu khawatir untuk nggak sekolah. Pasti sekolah. Tapi ibu nggak bisa janji soal uang kuliah.” Kata ibu. Ya, keinginanku untuk kuliah jurusan bahasa. Aku berusaha untuk tidak berharap lagi.  Padahal aku tau, kondisi keuangan kita sedang tidak baik-baik saja.

“Kalau mau, kamu kuliah sambil kerja. Atau nggak, kamu kerja dulu.” Kata ibu. Kali ini aku mengangguk. Aku juga sadar diri. Tidak kuliah dan langsung cari kerja juga aku akan berusaha.

Ibuku meninggalkanku sendirian.

Ya, aku tidak akan berharap uang untuk kuliah. Aku akan berusaha untuk mendapatkannya sendiri. Tak lama, seseorang meneleponku. Ine, aku segera mengangkatnya.

“Halooo, besok jadii yaa. Pokoknya kamu harus ikut sih.” Kata Ine dari seberang sana. Aku bingung harus bersikap bagaimana. 

“Maaf kayanya besok nggak bisa deh.” 

“LOH KENAPA, IH KITA KAN UDAH JANJIANN” Kata Ine. Jujur saja aku bingung harus menceritakannya seperti apa. 

“Nanti malam kamu datang ke rumahku. Aku akan ceritakan semuanya.” 

“Oke deh, yaudah sampai ketemu nanti malam.” Aku menutup teleponnya. 

Sungguh berat. Ya, aku akan berusaha untuk menerobos batasanku. Aku pasti bisa!

Malam harinya, Ine kerumahku. Membawa makanan. Dengannya selalu begitu, akan selalu ada makanan kalau bersamanya.

“Assalamualaikum” Ine membuka gerbang.

“Waalaikumussalam, sini masuk” Kataku. Dia menggeleng.

“Disini saja.” Diteras rumahku. Kami memang biasa bermain disitu.

“Jadii, gimana? Ada cerita apa hari ini?” Tanya Ine. Aku memulainya. Satu persatu semuanya keluar juga. Ine mendengarkannya sambil makan. 

“Aku juga bingung, harus gimana. Aku beban banget ya, Ne?” Tanyaku. Ine menggeleng.

“Setiap orang juga pasti pernah merasa ada diposisi kamu. Gapapa. Mungkin saat ini Tuhan lagi nguji kamu. Jangan sedih, kan ada aku disini. Tenang aja, aku ngga akan ninggalin kamu kok.” Kata Ine. Sungguh beruntungnya aku punya teman seperti dia.

“Kalau kamu mau menangis, silahkan saja menangis. Gapapa, menangis itu wajar. Tapi jangan terlalu dibawa sedih. Anggap saja ini cobaan sebentar. Beri jeda.” Kata Ine lagi. Aku tidak mau menangis. Aku akan berusaha.

“Ayok makan.” Aku langsung melahap makananku. Kami berbincang sampai larut malam. Lalu, setelah selesai bercerita tentang banyak hal. Dia memutuskan untuk pulang. 

“Terimakasih Ine, sekali lagi terimakasih.” Kataku. Dia tersenyum. Laluberpamitan untuk pulang. Tak lupa ia pamit kepada ibuku. Setelah Ine pulang, aku segera bersih-bersih saat itu juga. Setelah selesai membersihkan diri, tiba-tiba ibuku masuk ke kamarku. Aku yang sedang menulis cerita langsung teralihkan begitu saja.

“Lagi ngapain?” Tanya ibuku. 

“Menulis cerita” Ibuku mengerti.

“Kalau memang sudah ada niatan untuk mengambil jurusan bahasa, dipertahankan ya.” Begitu kata ibu. Aku mengangguk.

“Maaf kalau kamu ibu belum bisa menjadi ibu yang baik” Aku langsung memeluknya. Aku tau ini juga berat untuk ibu. Ini merupakan tahun yang berat untuk kami. Namun, aku akan berusaha sebaik mungkin, ibu. Aku akan berusaha supaya aku bisa kuliah. Aku bisa mengangkat derajat kalian. Maaf kalau aku selalu menyusahkan.  Dan untuk Zaki. Aku harap kamu bisa lebih mengerti tentang keadaan kita. Aku harap semuanya baik-baik saja.  Semoga, semua harapan-harapanku akan selalu terdengar oleh semesta.

Cerita ini, aku tulis dengan sepenuh hati. Cerita ini untuk kalian, ibu dan ayah.


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.