CINTA PRAGMA - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


CINTA PRAGMA

Oleh Dina Trixie (Nama Pena)


Sambil terus membaca baris-baris kalimat pada buku berjudul Laut Bercerita karya Leila S.Chudori, Seruni terus menelusuri setiap peristiwa demi peristiwa di dalam cerita itu. Suatu kisah yang menginspirasi benaknya mengenai bumi Indonesia. Sejenak, Seruni mengangkat wajahnya dari buku yang dibacanya dan  menatap ke depan. Sekelebat tatap matanya menangkap sosok renta perempuan gelandangan yang sering tergeletak tertidur digubuk reot di ujung jalan, berjalan tertatih perlahan kelihatannya menuju ke gubuk itu lagi. Seruni mendesah halus sembari berpikir mengapa dirinya begitu terbeban untuk menyelamatkan dunia meskipun dengan kapasitas dirinya, bisa saja di mulai dari dunia kecil disekitarnya.

Seruni! suara ibu memanggil dari dalam rumah. Seruni tersentak dan segera menurunkan kedua kakinya dari atas meja di teras rumah. Makan dulu Nak, lauknya masih hangat lebih enak langsung dimakan.  Ujar ibu, berdiri diambang pintu depan. Masak apa hari ini Bu? Aku emang udah lapar, seneng rasanya bisa punya rumah, lengkap dengan masakan untuk tiga kali sehari makan cerita Seruni ketika menyahut ajakan sang Ibu. Lihat saja sendiri di meja makan. Balas ibu rendah hati. Setelah merapihkan taplak meja, dan memindahkan pot bunga kecil dengan daun pakis ukuran mini ke lantai sejajar dengan pot-pot bunga yang lainnya. Setiap sore Ibu menyirami semua tanaman ini, agar tetap segar dan berbunga. Ibu melangkah masuk menyusul seruni ke meja makan.


Ibu suka perhatikan enggak, Si Mbah Roso yang sering tidur di gubuk reot di ujung jalan itu? Sambil mengunyah nasi Tumis Dada Ayam Bawang Bombay masakan Ibu, Seruni bertanya perlahan pada Ibu. Mereka duduk di meja makan bersama sedangkan ibu, hanya menemani Seruni makan di meja makan siang itu. Enggak pernah mengamati sampai mendetil, ‘kan dia jalani kehidupannya sendiri, nanti kalau dibantu, dikasih makanan, dikasih uang, dia akan jadi tersinggung atau jadi peminta-minta. Sesekali Ibu pernah kasih nasi kotak. Biar agak sopan diterimanya. Jelas Ibu, mengamati Seruni yang menyuapkan sendok makan ke mulutnya dengan teratur. Ibu mengajarkan agar tidak makan dengan terlalu cepat dan terburu-buru. Menurut cerita orang, Mbah Roso itu termasuk orang paling lama di lingkungan sekitar sini . Balas Seruni. Iya, begitu kata orang lama disekitar sini! Ibu pernah dengar Mpok Ijah di warung sayur menceritakan sedikit tentang kisah Mbah Roso itu. Ibu juga membalas. Lalu mereka berdua sedikit tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Seruni hanya menyiratkan sedikit rasa ingin tahunya mengenai sosok renta itu. Terkadang beberapa kali Seruni bersyukur dalam hatinya, karena Ibu sering mengajarkan untuk melibatkan Tuhan didalam setiap pemikiran, tindakan, dan perkataan yang diucapkannya. Mungkin, kalau rejeki nya cukup, kita kasih Mbah Roso itu nasi kotak, tiga kali seminggu, jadi lebih efisien supaya tidak tersinggung. Ungkap Ibu seolah mengerti pikiran yang menggelayut di wajah anaknya. Seruni tersenyum, setelah meneguk segelas air sambil mengacungkan jempolnya. Ibu aku hebat!.


Disekitar lokasi perumahan rakyat ini, rumah kediaman keluarga Seruni termasuk salah satu bangunan yang menarik, sebuah rumah mungil yang asri dengan tanaman pakis dan anggreknya yang terawat rapih di halaman rumah mereka. Ibu senang berkebun dan menyukai tanaman dan bunga-bungaan. Meskipun Seruni juga bisa berkebun, tetapi kesibukan dan kegiatannya yang padat membuat dirinya tidak memiliki waktu yang cukup membantu ibunya menyiangi kebun. Semenjak dirinya kecil, pembagian tugas yang jelas ditengah keluarga kecilnya. Hidup berdua dengan Sang Ibunda, dan bertanggung jawab di dalam rumah mungil mereka. Sebagaimana, selama Sang Ibunda masih hidup sehat walafiat dan kuat untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, merawat rumah, tugas dan tanggung jawab Seruni hanya diperlukan menyelesaikan yang menjadi hak hidupnya yaitu dimulai dari pendidikan bersekolah, kemudian kuliah, lalu  bekerja. Cuma pada waktu senggang Seruni dapat turut membantu Ibu di rumah. Tanggung jawab utama yang harus dipahami Seruni hanyalah mengatur diri dan hidupnya sendiri agar dapat menjadi manusia yang mempunyai harkat dan martabat untuk kualitas hidup yang baik di masa depan. Tentu saja disesuaikan dengan hak dan kewajiban di dalam kehidupannya kelak. Kesibukan Seruni selain menyelesaikan kuliah sambil bekerja pada sebuah perusahaan asing multi international di Jakarta. Saat ini, Seruni juga aktif, sebagai seorang 'Aktifis' untuk beberapa kegiatan rohani dan juga kegiatan sosial. Seruni bergabung pada beberapa Media Sosial untuk digunakan sebagai platform menyalurkan aspirasi dan inspirasi dirinya, juga menambah wawasan pengetahuan yang pada waktunya semoga akan dapat digunakan dan dibagikan untuk membangunkan dan menguatkan sesamanya.


Sebuah lagu rohani melantun dari MP3 aplikasi  yang diunduh pada perangkat telepon pintarnya. Seruni bekerja sambil kuliah, masih sanggup untuk menyisihkan sedikit penghasilannya guna membeli beberapa perangkat teknologi yang diperlukan. Bagaikan bejana, siap dibentuk, demikian hidupku, ditanganMu.. lirik lagu ini memberikan semangat iman yang militant dalam diri Seruni. Terngiang percakapannya dengan Ambarita tadi siang di warung bakso  dekat gereja. Kenapa kamu enggak nanya sekali lagi ke Pak Tarigan, alasannya, kamu enggak diterima di Bagian Pembukuan Gereja? ujar Seruni kepada Ambarita yang sedang mengalami masa sulit. Dia membutuhkan pekerjaan yang dapat memberikan pemasukan, guna kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ambarita punya pengalaman kerja yang lumayan bonafide pada salah satu perusahaan asing di Jakarta. Meskipun sudah lewat empat tahun namun pengalaman itu masih relevan, untuk kembali bekerja sebagai pembukuan administrasi, pada sebuah manajemen gerejawi. Untungnya, Ambarita masih sendirian, belum menikah, belum mempunyai anak-anak yang harus dinafkahi. Aku udah enggak sanggup Ni, ngungkit-ungkit situasi yang sebenarnya bisa dipertimbangkan atas dasar campur tangan Tuhan karena prioritas kasih. Lucunya, tersirat pesan yaitu, Aku seorang yang tidak disukai! akhirnya aku tetap berdiri di ujung tanduk, berada di ambang batas! Resiko pribadi meninggalkan kenyamanan atas dasar misi rohani. Keluh Ambarita panjang lebar. Seruni kagum untuk semangat Ambarita yang tulus dan murni di dalam keterlibatannya di kehidupan gerejawi. Diberkatilah, setiap orang yang mengandalkan Tuhan! Itu betul Rita! Sungguh aneh ya! Kok bisa intuisi rohaninya enggak ‘nyambung? Ini kan cuma menolong teman seiman, suatu  tindakan sosial, yang enggak sulit dilakukan? Berdua, mereka kembali menyantap Bakso Wonogiri racikan Mbak Novi pemilik warung  yang mereka kunjungi itu. Seruni kerap kali mentraktir Ambarita menemaninya ber-wisata kuliner. Sukacita untuk berbagi rejeki atas berkat kemurahan Tuhan dari sisa kelebihan penghasilan yang diterimanya setiap bulan. Seruni tertidur lelap. Tubuhnya memang sudah letih setelah dirinya menghabiskan waktu di luar rumah sepanjang hari ini.


Seruni duduk bersebelahan dengan Ibu pada baris ketiga deretan bangku gereja, dari depan mimbar. Setiap orang yang menabur sambil bercucuran air mata akan menuai dengan sorak sorai sambil membawa pulang berkas-berkasnya.. Ucap Pendeta Manopo di atas mimbar mengutip salah suatu ayat Alkitab pada kotbahnya di hari Minggu pagi yang cerah ini. Setelah Ibadah Minggu Raya selesai, Seruni bersama Ibu kembali bertemu dengan Ambarita di halaman gereja. Mereka berbincang-bincang cukup lama. Ambarita banyak menceritakan perkembangan keadaannya kepada Seruni dan Ibu. Tak lama kemudian mereka saling berpelukan tanda kasih persaudaraan dan rasa damai sejahtera pada minggu sabat itu. Ambarita beranjak meninggalkan halaman gereja, hendak pergi melanjutkan perjalanannya di hari libur ini, untuk mengunjungi salah seorang kerabatnya yang tinggal di bilangan Ibukota Jakarta. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia di kampung halamannya, Ambarita tinggal seorang diri sebagai seorang perantau. Ambarita memutuskan untuk menetap dan hidup di Jakarta. Mengalami Kelahiran Baru di dalam Yesus Kristus dan merasakan pekerjaan Roh Kudus untuk mendewasakan rohaninya. Membawa Ambarita untuk berjalan bersama Tuhan di dalam setiap, situasi sulit yang dihadapinya. Akan tetapi! Ambarita begitu heran atas suatu perasaan terpuruk yang sebegitu menggelayut di benaknya. Entah pertanda apakah? Dan bentuk 'kesaksian' seperti apakah? Yang akan diperankan sebagaimana misi 'Orang Percaya' dalam hal mengatasi tekanan dan penderitaan. Ambarita merasa telah memakan makanan yang sangat teramat keras! Mata batinnya, sering mengamati oknum-oknum yang menyerang dirinya! Sebagai seorang yang memiliki karunia bersyafaat, suatu karunia khusus pendoa. Ambarita mengalami begitu kelelahan rohani mengatasi peperangan batin ini. Kerap kali dirinya berhadapan dengan peperangan rohani, Ambarita percaya bahwa para musuhnya bukanlah sesama manusia. Melainkan, semua penguasa-penguasa di udara, para roh-roh jahat yang menyebabkan terjadinya banyak konflik suatu perkara, yang menimbulkan begitu banyak kekacauan dan merusak hubungan diantara sesamanya manusia. Hanya! Dilarang membenci orangnya! Manusia nya harus tetap saling memperhatikan, saling membantu, saling mengasihi. 


Pagi itu Seruni asyik phubbing menelusuri halaman-halaman Facebook-nya. Mengamati dengan seksama, berita-berita dan informasi yang termuat. Dirinya senang memperhatikan konten berita dan informasi dari beberapa organisasi sosial non-pemerintah, lembaga amal dan hak asasi manusia, berbagai gerakan kemanusiaan dengan dana swasta, baik nasional maupun internasional. Termasuk promosi ibadah daring dalam bentuk kegiatan-kegiatan pragmatis. Menggulir Facebook Ambarita yang baru saja check-in lokasi, di sebuah kawasan pusat distrik perkantoran ibukota. Seruni membayangkan Ambarita sedang menjalani interview bekerja! Terbersit suatu sukacita dalam relung hatinya sambil berdoa lirih ‘semoga diterima dengan keberhasilan’. Berhenti sejenak, Seruni melangkah keluar meninggalkan laptopnya di kamar. Seruni melangkah menuju teras rumah, ingin sejenak menghirup udara pagi hari menjelang siang, yang masih segar di daerah tempat tinggalnya. Terdengar suara Ibu sedang di dapur, menggoreng sesuatu untuk makan siang. Di teras rumah, kembali Seruni mengamati sosok Mbah Roso, renta berjalan tertatih mendekati rumah mereka. Sesekali kepala nya terangkat sambil terus melangkah tertatih, Mbah Roso balas menatap Seruni yang sedang berdiri di teras rumah yang juga sedang mengamati dirinya. 


Seruni menduga-duga apakah gerangan yang membuat Mbah Roso melangkah menuju kediaman mereka? Dengan senang hati Seruni akan menyambut kedatangan tamu istimewa ini. Kepalanya sibuk berpikir apapun yang diperlukan Mbah Roso, Seruni meyakini bahwa hal itu haruslah merupakan suatu hal yang bersifat abadi dan kekal. Sehingga dapat meringankan apapun penderitaan dan kesengsaraan Mbah Roso semasa hidup di dunia yang keras dan fana ini. Seruni melangkah menghampiri pintu kecil pagar rumahnya yang disambungkan oleh sebuah jalan setapak yang terbuat dari susunan batu buatan berbentuk lingkaran, berjejer manis diantara rerumputan gajah yang dipangkas rapih sampai di depan pintu pagar mungil rumah mereka. Mbah Roso berdiri disitu sambil menyeringai hangat memandang Seruni sambil berkata Nganu.. ‘Nak Seruni, Saya ini disuruh datang kesini saben hari Selasa, Kemis, sama hari Septu, nganu mau ngambil nasi bungkus dari Ibu Sumarni tiap jam sepuluh.. ucap Mbah Roso agak medok dengan logat jawa yang kental. Suaranya sedikit lemah, meski tidak menunjukan kesan yang mengasihani dirinya sendiri. Beliau memang sangat tegar dan tabah menghadapi kesengsaraannya. Masa usia senja dan suntuk umur, seharusnya hidupnya bisa ditopang oleh perhatian dari orang-orang di sekelilingnya. Iya Mbah Roso mari duduk dulu di teras nanti Saya tanyakan ke Ibu ya! Sambut Seruni dengan hangat sambil membuka pintu kecil pagar rumahnya dan mempersilahkan Mbah Roso masuk ke halaman rumah. Lain kali kalo ada perlu apa-apa yang mendesak, jangan sungkan-sungkan datang kesini ya Mbah? sambung Seruni. 


Kemudian Ibu muncul dari dalam rumah bergegas melangkah keluar sambil memegang sebuah kantong plastik putih berisi nasi kotak dan sebotol air mineral. Ah! Rupanya tadi Ibu juga sekalian mempersiapkan nasi kotak untuk Mbah Roso supaya dibawa pulang. Wah Mbah Roso, sudah sampai pas nasinya baru 

dikemas masih hangat! Duduk dulu ya Mbah, Saya ambilkan teh manis, minum dulu istirahat! Mbah Roso menyandarkan tubuh rentanya duduk di bangku teras dengan termangu, ibu meletakkan bungkusan di meja dan bergegas masuk kembali ke dapur mengambilkan teh manis yang sudah diseduh, juga ada tiga potong pisang goreng hangat di piring kecil. Seruni membantu memegangi piring kecil berisi pisang goreng supaya bisa lebih dekat di jangkau oleh Mbah Roso, untuk dimakan juga cangkir tehnya. Nenek renta ini terlihat begitu lelah dan lapar meski masih belum waktunya makan siang. Diam-diam Seruni bersyukur karena Ibu telah menepati janjinya untuk menyediakan nasi kotak khusus untuk Mbah Roso seperti yang mereka bicarakan beberapa waktu yang lalu.  SEKIAN - 


BIODATA : Penulis mengambil jurusan studi komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta pada tahun 1989 kemudian menyelesaikan studi Sarjana Ilmu Sosial dengan gelar Strata-1 (S.Sos) pada tahun 1997. Menyelesaikan kuliah selama 9 tahun, Penulis menghabiskan waktu untuk bekerja sambil kuliah sehingga banyak terpotong masa cuti kuliah, bahkan hampir mengalami Drop-Out karena tidak mendapatkan ijin dengan mudah meninggalkan tempat bekerja untuk mengikuti kuliah atau mengikuti ujian. Setelah meninggalkan dunia bekerja dan banyak mengikuti kegiatan dan aktifitas rohani, Penulis mengambil kesempatan untuk mencoba menulis Cerita-cerita Pendek untuk menyatakan aspirasi mengenai seni kehidupan dan bumi yang penuh dengan kisah dan dinamika. Penulis lahir di kota Surabaya pada tanggal 12 Juli 1969, dan saat ini menetap di Jakarta sambil terus mengikuti intrik kehidupan dan gejolak Ibukota. Penulis menggunakan Nama Pena “Dina Trixie” dari nama asli Diny Cynthiawati Helena dalam setiap karya agar dapat memberi debut bagi kesan pembaca. Demikianlah, Penulis mengucapkan terima kasih untuk semua pembaca atas minatnya dan semoga dapat menjadi inspirasi dan menambah kasanah wacana."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.