Blonde, Blue and Smile - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


KASIH SAYANG TUHAN

BY : AHMAD OKVANI TRI BUDI LAKSONO 


Matahari tampak malu malu melihat dunia, dihadang gerombolan awan seakan mengisyaratkan bahwa hari ini tidak akan baik baik saja. Memang benar hari ini tidak baik baik saja, Sabtu 16 Januari 2021 saya mendapatkan berita kurang menyenangkan. Setelah selesai sarapan saya siap siap bergegas berangkat bekerja. Tapi , kepala outsourching menelpon saya, Pak Shobirin Namanya

"" Maaf mas, kamu istirahat dirumah dulu, karena kamu reaktif covid 19"". Rasanya waktu berhenti tepat saa

 "“Blonde, Blue and Smile

karya Rachell Debora Gloria Elsa


Pagi yang cerah menyoroti bumi. Angin berlalu dengan kencang. Banyak warga yang berkeliaran dengan cuaca seperti ini sendiri maupun bersama orang terdekat. Tertawa ria menikmati perginya musim penghujan. Tapi lain dengan satu gadis ini. Ia berlari cepat melintasi rumput, melintasi sorotan matahari. Wajahnya yang berparas cantik dihias dengan keringat yang tak berhenti bercucuran. Mulut kecilnya terengah engah. Rambut coklat yang pendek berkibaran mengikuti angin. Satu tangannya memegang sebuah kanvas kecil beserta pensil dan penghapus. Gadis yang berlari itu adalah Elda Connor atau El, putri dari Mariana Connor yang merupakan ilmuan terkenal di kotanya. Ayah dari El telah lama meninggal sejak El kecil. Bahkan El tidak pernah tau wajah ayahnya. Ini membuat ibunya menjadi tulang punggung keluarga sehingga ibunya sangat sibuk meracik sesuatu entah apa itu sehingga ia tak ada waktu mengurus putrinya dan mempekerjakan dua orang sebagai penjaga yang sedang ia hindari sekarang. 

El nampak kehilangan tujuan, dan dua orang tadi semakin mendekat.  Ia tak tau harus kemana. Maka ia berhenti sejenak dan melacak sekitarnya. Beruntung sekali, di timurnya terdapat pohon beringin yang sangat besar, cocok untuk bersembunyi. Segera ia melaju kearah pohon dan bersembunyi dibalik batangnya. Badannya ia senderkan ke belakangnya, lalu ia menghirup nafas banyak-banyak tapi tetap menjaga suaranya agar tidak terdengar dua orang tadi. 

“gawat kita kehilangan dia, bagaimana ini?!” seru salah satu orang itu.

“hahh... kita cari lagi. Bos bisa marah kalau kita pulang dengan tangan kosong” jawab satunya sambil terus berlari meninggalkan temannya.

“h-hoi tunggu” dan mereka pun menjauh, membuat El yang bersembunyi tadi bernafas lega. Ia mendudukkan dirinya, meluruskan kedua kakinya yang kram akibat terlalu lama berlari. Tangannya yang satu sibuk mengelap keringat di pelipis. Kemudian ia mencoba menstabilkan nafasnya yang masih tidak beraturan. Setelah mulai tenang ia menekukkan kakinya dan memegang kanvas yang ia bawa sedari tadi. Mulutnya mengerucut dan alisnya menyatu.

“hmp, aku hanya ingin melukis! Kenapa ibu selalu menghalangiku” gerutunya sembari melempar kanvas dan melipat kedua tangannya. Ibunya tidak memperbolehkan El melukis dengan alasan yang tak masuk akal dan berganti-ganti. Itu yang membuat El tidak akan berhenti menggambar sampai ia mendapat alasan sebenarnya.

“hei, tidak boleh membuang sampah sembarangan loh” suara lembut tiba-tiba terdengar di gendang telinganya yang tentu saja membuat El terkejut dan takut setengah mati. Lalu ia cepat cepat mengambil kanvasnya dan bersujud di bawah pohon beringin itu.

“m-maafkan aku hantu penunggu pohon ini, bukan maksudku membuang sampah sembarangan. Mohon jangan hantui aku-“ sebuah cekikikan memotong doa El yang membuat gadis bersurai coklat itu kebingungan. Ia mencari dari mana asal suara itu. Menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri berulang kali. Sampai akhirnya seorang gadis mendarat di depannya membuat El kaget dan terjatuh.

Gadis di depannya berparas cantik, dengan rambut emas bergelombang yang panjang mencapai pinggangnya. Bola matanya biru senada dengan warna langit saat itu. Bibirnya yang mungil membentuk senyum kecil. Ia memakai dress putih dengan hiasan bunga biru dibagian bawahnya. 

“hihi, tenanglah aku bukan hantu. Aku sedari tadi berada di atas sana.” Lanjutnya dengan tawa kecil dengan telunjuk yang menunjuk ke atas. El mulai tenang saat mengetahui kedua kaki gadis di depannya menyentuh rumput. Lalu ia berdiri masih memeluk kanvas yang ia bawa.

“ngomong ngomong aku Eden, aku tinggal di dekat sini. Bagaimana dengan mu?” tanyanya ramah seraya menjulurkan tangannya kehadapan El

“E-el, Elda Connor.” Jawabnya sembari menjabat tangan lawan bicaranya. Eden tersenyum manis kearahnya lalu melepas jabatan tangan mereka.

“Kau dikejar mereka? Apa mereka pencuri?” El menggeleng pelan yang membuat gadis di depannya kebingungan.

“Mereka suruhan ibuku. Mereka berusaha membawaku pulang ke rumah” jawabnya dengan mulut yang kembali mengerucut.

“Lalu kenapa tidak pulang saja”

“Kalau aku pulang, ibu akan menyuruhku belajar. Aku sudah muak dengan segala macam angka, variabel, bla bla bla. Ugh mengingatnya saja sudah membuat kepalaku kembali pusing” Jawab El, sambil memijat pangkal hidungnya. 

“Ah ya, aku juga tidak suka matematika. Melihat angka saja sudah pusing. Mungkin aku phobia angka” Eden memeluk dirinya sambil meringis mengingat semua angka itu. El mengangguk menyetujui Eden lalu tertawa sedikit.

“Hah, mari lupakan angka yang menyebalkan itu dan bersantai sejenak sebelum mereka menemukan mu.” Ajak Eden sambil memanjat ke atas pohon tua itu. Si surai coklat memperhatikannya dengan wajah kagum. Seorang seperti Eden yang anggun ternyata cukup bernyali untuk memanjat pohon yang sudah tidak terjamin keamanannya itu. 

Setelah gadis bersurai emas itu berhasil memanjat keatas, ia segera memberi aba aba untuk gadis di bawahnya. El sendiri masih takut, lalu menggelengkan kepalanya dengan kencang. 

“hei ayolah, tak apa, disini aman dan nyaman. Kau pasti bisa”ajak Eden sedikit menyemangati temannya itu. Akhirnya El mengumpulkan keberaniannya. Ia menaruh kanvasnya di akar timbul pohoon beringin dan mulai memanjat dengan pelan. Beberapa kali ia terpeleset dan hampir terjatuh. Sampai akhirnya ia sampai dengan bantuan tangan lembut gadis pirang itu. Eden tertawa melihat El yang terengah engah.

“Ini pertama kalinya bagimu? Padahal penampilamu sedikit tomboy” ujar Eden tak berhenti tertawa. El yang mendengar itu hanya mendengus sambil memalingkan muka. 

“hm ya ya terserah. Ngomong-ngomong disini sejuk juga” 

Kedua mata El merasa takjub dengan pemandangan yang ia lihat. Daun-daun hijau terkena matahari pagi dengan angin yang terus bertiup menciptakan suara rimbun daun yang menenangkan. Sudut bibir El tertarik. Ia menutup kedua matanya menikmati angin yang berlalu. 

“El pulanglah ke rumahmu, ibumu pasti khawatir”

“Eh apa?”  Eden langsung turun dan meninggalkan El.

“Ah ya, aku selalu ada diatas pohon setiap angin bertiup. Sampai jumpa lagi”

“T-tunggu” El berteriak seiiring dengan Eden yang semakin menjauh. Bersamaan pula dengan datangnya kedua penjaga tadi. Dan ia tau ia pasti akan terkena masalah besar dari ibunya. Dan benar saja, ia disambut dengan semburan ceramah dari ibunya. 

Tetapi belakangan hari ini, ada sesuatu yang berubah dari El. El langsung menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya dan pergi keluar rumah sampai sore tiba. Ini adalah hal yang aneh bagi Mariana. Tak biasanya ia melihat putrinya pergi tanpa menyelesaikan pekerjaan rumahnya, El melupakan alat gambarnya. Tapi ia membiarkan itu terjadi, dan menganggap anaknya mulai meninggalkan seni lukis dan meniru jejaknya. Kadang ia merasa bersalah juga karna sudah memaksakan putrinya untuk sesuai dengan ekspetasinya. Tapi sepertinya ia tak perlu khawatir lagi, toh anaknya sudah berubah. Mungkin ia akan memasak makanan spesial untuk anaknya malam ini.

Sementara itu, El mulai dekat dengan Eden. Mereka selalu bertemu dan bercanda ria di pohon beringin tua itu. El menceritakan semua keluh kesahnya pada Eden dan Eden selalu mendengarkan bahkan memberi sedikit nasehat pada El yang membuat ia kembali merefleksikan dirinya.

Hari-hari berlalu dan El masih setia untuk datang ke pohon beringin. Eden juga masih menyambutnya dengan senyuman hangat. Si surai coklat mengambil posisi tidur kembali menikmati rindangnya pohon beringin. Sementara mata Eden menerawang jauh ke depannya.

“Hei El, apa cita-cita mu?” tanya Eden, masih dalam keadaan yang sama.

“Seniman, tapi ibu ku menentangnya” jawab El mengundang tanya dari Eden. El yang mengerti sahabatnya kebingungan pun mengambil posisi duduk bersebelahan dengan Eden dan melanjutkannya.

“Ibu melarangku untuk melukis, tidak ada alasannya. Tapi sekali aku melukis, ia akan marah dan membuang semua kanvasku. ia menginginkan ku untuk menjadi ilmuan sepertinya. Tapi aku sendiri juga tidak suka hal hal yang berbau kimia.” Jelas El panjang. 

“Sudah coba bicara dua mata dengannya?” El menggeleng pelan.

“Ibuku orang yang sibuk, ia hampir tak pernah keluar dari laboratoriumnya. Belum lagi ia tipe  ibu yang galak. Jadi ya itu membuatku takut juga” Lanjutnya lagi.

Eden mengalihkan pandangannya ke orang disebelahnya sembari tersenyum.

“Itu mungkin hanya pikiran mu, kau pasti belum tau yang asli dari dirinya bukan? Mana tau ia mau mengerti tentang keadaan mu. Coba saja” El menggeleng lagi dengan pelan dan menunduk ke bawah. Tangan Eden mengelus pundak belakang orang di sebelahnya, masih dengan senyuman manis.

“dengar, ayahku juga orang yang galak bahkan ketat. Tapi segalak-galaknya ayahku, ia tetap mendengar pendapatku dan berakhir dengan diskusi dua mata antara ayahku dan aku. Kalau misalnya aku dilarang melakukan sesuatu, aku akan tetap menanyakannya sampai aku mendapat jawaban yang masuk akal. Lagipula tak mungkin orang tua tidak mendengar apa yang anaknya katakan. Belum lagi kau adalah satu-satunya orang yang ia punya.” El terkejut, diam-diam ia menyetujui apa yang dikatakan si pirang. Eden tersenyum melihat El mulai menyadarinya, lalu ia turun dan menghilang. Meninggalkan El yang masih merenung di atas sana. Tak lama ia pun ikut turun dan kembali ke rumahnya.

Sesampainya disana ia disambut dengan keheningan. Ia terus mencari ibunya hingga terhenti di ruang tamu, tengah duduk bersama neneknya. Kehadiran El membuat ibu dan neneknya menoleh bersamaan.

“Ah El, sini kemari dan duduk-“

“Ibu, kenapa ibu benci kalau aku menggambar?” Mariana terkejut, ia hanya menjawabnya dengan kesunyiannya.

“Tidak ada alasan khus-”

“Pasti ada, tolong beritahu aku alasan yang jelas sehingga aku mengerti dan berusaha berhenti” potongnya sambil terus mendekat.

“Hm, sudahlah Mariana. Jangan melarangnya untuk meaakukan sesuatu yang ia sukai” bela neneknya dengan tenang. 

“Ibu, kau tau kan. Melihat ia menggambar mengingatkan ku dengan ayahnya” 

“Alangkah baiknya kau melepaskannya Mariana. Jika kau terus teringat dengannya dia tak akan pernah pergi dengan tenang. Kasihan Elda jika kau menekannya dengan alasan seperti ini” 

Mariana terdiam, lalu menangis beberapa menit setelahnya. El merasa bersalah dan mendekat, mengelus pelan pundak ibunya.

“Ibu maafkan aku” 

Mariana yang masih menangis langsung memeluk anaknya dan berulang kali berkata ‘maaf’. Dan sore itu penuh dengan suara tangisan di rumah El.

Malam harinya, El sibuk menyiapkann sebuah hadiah yang rencananya akan ia berikan kepada Eden sebagai ucapan terimakasih. Hadiah itu hanya sebuah lukisan dengan Eden sebagai objeknya. Lukisan itu tidak berwarna, hanya terdapat arsiran di tempat yang berbayang. Di dalam lukisan itu terlihat Eden sedang duduk di bagian batang pohon yang biasa ia duduki, tersenyum manis dengan mata yang tertutup. Memang tidak begitu spesial tapi ini yang hanya bisa ia berikan kepada bersiap tidur. Setelah selesai, ia merapihkan bekas gambarnya dan berdoa untuk tidur. Menata bantal serta menarik selimut dan tertidur nyenyak.

Di dalam mimpinya ia terbangun di taman yang biasa ia kunjungi, tapi ada yang berbeda dari ini. Taman yang biasanya penuh dengan orang orang sekarang sepi dan menyisakan satu pohon beringin, tempat dimana El dan Eden diami. Dari kejauhan, samar-samar kaki Eden terlihat sedang menggantung di atas pohon. Si surai coklat berlari mendekat memastikan jika itu Eden, dan benar saja, terlihatlah Eden yang sedang tersenyum menerawang lurus kedepannya. 

“Eden! Aku punya berita bagus untukmu”panggil El sembari memanjat pohon dan duduk mengambil posisi bersebelahan dengan si pirang.

“Ibu ku sudah mengijinkan ku untuk menggambar! Dan dia menyetujui keputusan ku untuk menjadi seniman!” El bercerita dengan senyum lebar di pipinya.

“Syukurlah kalau begitu...” Jawab Eden tanpa mengubah arah pandangnya, masih dengan senyum yang sama.

“Ya! Oh aku punya hadiah untukmu, tapi aku tidak membawanya sekarang... mungkin besok aku akan membawanya” 

“Tak usah repot repot El, simpan saja untukmu sebagai kenangan.” Balas Eden sambil meloncat turun dari batang pohon, membuat El kebingungan lalu ikut turun setelahnya. Sedangkan Eden mulai berjalan lurus kearah cahaya yang menyilaukan, membuat El harus menutupi sebagian matanya.

“Eden, kau mau kemana? apa kau akan kembali lagi?” tanya El pada Eden yang mulai menjauh. 

“Mungkin... tapi sebaiknya jangan tunggu aku” jawab si pirang tanpa berbalik. El merasa aneh dan mencoba mengejar sahabatnya. Tapi Eden semakin menjauh dan perlahan mulai menghilang di telan cahaya yang semakin terang. Lalu El terbangun karna silau matahari yang menganggu matanya. Nampaknya El tertidur cukup lama, karna matahari sudah hampir di atas. Menyadari itu, El langsung melesat mengambil kanvas lalu berlari menuju pohon beringin. Sayangnya ia hanya menemukan pohon beringin yang kosong tanpa seorang gadis pirang diatas batang pohonnya.


10 tahun kemudian.

Sebuah gedung yang lumayan besar sekarang di penuhi oleh banyak orang. Gedung ini nampaknya baru di resmikan karena masih ada sisa sisa popper yang berserakan di lantainya serta tali yang di potong. Di dalamnya terdapat banyak jenis lukisan, dari lukisan artistik sampai realis mengundang kegaguman dari banyak orang di sekitarnya. Yang lebih mengagumkan lagi, semua lukisan ini hanya di buat oleh satu pelukis yang sekarang sedang di kerumuni para reporter. 

“Ms. Elda Connor, apa yang menginspirasi anda dalam pembuatan semua lukisan ini”

“Apa yang anda pikirkan saat melukis ini semua”

“Rumor mengatakan kalau anda sempat mengalami kendala dalam memperjuangkan karir anda sebagai seniman?”

Si narasumber alias El hanya tersenyum sembari mencoba menjawab pertanyaan satu demi satu. Setelah selesai sesi bertanya, El mulai melarikan diri dari semua reporter itu dan berjalan jalan sedikit di gedung seni miliknya. Melihat karya dan mengenang kisah dibalik semua karyanya, sampai ia berhenti di satu lukisan ini. 

Lukisan yang tidak berwarna dengan seorang gadis berambut panjang yang sedanng tersenyum dengan mata yang tertutup seakan tersenyum padanya. El terdiam dan perlahan mulai balas tersenyum dan meninggalkan lukisan yang dinamainya “Blonde, Blue and Smile”

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.