Anak Bajingan - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Anak Bajingan

Gubahan : Rifqi Muhammad Bimasakti

Jingga menyala di cakrawala, swastamita  itu mengiringi perjalanan kepulanganku selepas menimba ilmu di bangku SMP. Kayuhan pedal sepedaku terayun halus diiringi dersik angin senja menyentuh ragaku. Entah kapan terakhir kali aku mensyukuri sensasi ini, sehari-hari biasanya dihabiskan mengendus perundungan bagai duri dalam daging dijelmakan julukan istimewa. Joko Si Anak Bajingan. Ya, begitulah orang-orang disekitarku menjuluki.

Perkara kesialan dan cemoohan senantiasa terlampiaskan pada diriku oleh masyarakat sekitar. Bapak seorang pria paruh baya yang bekerja menjadi seorang ‘bajingan’. Kusir gerobak sapi yang tidak tentu waktu keberangkatannya. Biasanya dia bekerja menghantarkan barang atau pun menarik penumpang tebengan, penghasilannya pun tak seberapa. Tubuh nya kian merapuh dihiasi luka sekujur tubuh, entah kapan dia mendapatkan luka-luka tersebut, bapak tidak punya waktu untuk mengisahkan itu. Apalagi kalau menyangkut perihal ibuku. Terlena dalam lamunan, tanpa sadar aku telah sampai di rumah. 

Tak seperti biasanya, bapak pulang lebih awal atau mungkin tidak bekerja hari ini, pikirku. “Assalamu’alaikum Pak, Joko udah balik.” ucapku sembari melangkah masuk. Suasana hening tanpa sahutan salam, bapak terbaring lemah di atas kapuk berdebu itu. Terdapat sebakul nasi disertai lauk tempe, daun singkong, dan tahu sambal tersisa di meja makan. Nafsu makan ini tak tertahan untuk menyantapnya.

 Langit mulai membiru, pertanda azan magrib akan berkumandang. Segera kupersiapkan diri sembari berabdas sebelum pergi ke masjid. Bapak bukanlah sosok yang agamais, namun terkadang Dia salat di rumah. Bukanlah suatu hal yang mengherankan lagi ia jarang berkunjung ke masjid. Seingatku, dia pun juga tidak terlalu akrab dengan guru mengajiku

Lantunan ayat Al-Qur’an menyelimuti masjid diiringi sekumpulan anak kecil berlarian  di halaman luar. Disinilah guru mengajiku, Kiai Ahmad adalah satu-satunya sesepuh dan ulama yang berpengaruh di desa ini. Beliau adalah orang yang kuhormati dan kuanggap bagai kakek sendiri.

Sepulang dari pengajian, kukayuh sepedaku di sepanjang lintasan malam nan gelap tersebut. Lantunan surah pendek berbisik melalui mulutku sebagai kawan perjalanan pulang hingga akhir.

Beberapa hari berlalu, hingga hari itu adalah kesempatan terakhirku duduk di bangku SMP.

 “Ih, badanmu bau sekali Jok, habis dari kandang sapi kau ya? Hahaha.” cemooh Rudi. 

“Hahaha, mau belajar atau jadi gembala? Yah, ga heran si Joko kan Anak Bajingan.” celetuk lainnya diiringi tertawa lepas.

Secara sadar, aku melayangkan tinjuku kepada salah satu dari mereka hingga kepalan tanganku bersimbah darah. Dia adalah anak dari seorang guru di sekolah tersebut. Tak lama setelah itu, aku terusir.

Mengetahui itu, bapak tidak bereaksi banyak. Entah dia memang tidak peduli atau dia juga sudah menyadari hal tersebut akan terjadi sedari dahulu. Bapak tidak pernah bersikap mencolok. Setidaknya, selama ini sekolah semata-mata hanyalah wisata perundungan bagiku. Harga diri dan martabat kami terinjak-injak dijelma dengan julukan istimewa dan cemoohan yang ditunjukkan padaku dan Bapak. 

Kali ini aku memutuskan untuk membantu bapak dengan bekerja sebagai jasa antar sembako menggunakan sepedaku. Majikanku, Ko Ahong seorang pria etnis Cina yang bergaya nyentrik. Beliau adalah sosok pengusaha yang cukup terpandang di pelosok desa ini. Sejujurnya, sering kali aku dicurangi dan dimanfaatkan oleh Ko Ahong. Upah yang seharusnya setimpal dengan kerja kerasku hanya dibuahi sepicis uang. Namun, tidak ada pilihan lain untuk meraup nafkah disana.

Sore itu rintikan hujan membasahi diriku, mengucur deras membalut keringat asin di sekujur tubuh. Tercium pula aroma petrikor sepanjang perjalanan. Kayuhan pedal sepeda ku tak lelahnya berayun kasar menaiki lintasan pacu di tengah hujan demi menghantarkan sekarung beras pada pelanggan. Beberapa saat berlalu, aku sampai pada tujuan. 

Kondisiku sangat suram untuk dilihat. Basah kuyup di sekujur tubuh, aroma tengik hujan terbalur rata, dengan beberapa goresan pada telapak kaki akibat mengayuh dengan kasar. 

“Assalamu’alaikum Bu, saya datang menghantarkan pesanan beras ibu siang tadi.” ucapku sembari mengetuk pintu. Pintu itu tak lama terbuka, firasat buruk mulai merayapi diri. Ya, karung beras itu terbaring telanjang tanpa dibaluti penutup apapun sejak tadi.

 “Astaga, edan   kamu ini. Saya menunggu beras ini sedari siang tetapi hasilnya seperti ini?“ bentak ibu itu dengan raut muka penuh amarah.

 “Kamu pikir kami akan memakan tumpukan batu ini? Besok akan saya laporkan kamu pada Ko Ahong, enyah kamu dari sini dasar Anak Bajingan!” Mendorongku tersungkur di atas tanah lembap itu.. 

Pintu itu terbanting kasar penuh amarah disertai omelan yang masih bergema dibalik pintu itu. Aku merangkak bangkit. Tertunduk penuh rasa bersalah melihat gumpalan beras beraroma busuk itu. Tuhan pasti murka padaku karena telah memubazirkan rezeki orang. Kubawa kembali sekarung beras itu pada perjalanan pulangku. Hujan yang semestinya merupakan rahmat dan berkah Tuhan seketika menjadi bencana bagiku. Tangisku tercucur deras ditengah hujan.  Kepulanganku pun tidak disambut baik oleh bapak yang penuh dengan rasa cemas. Sejak saat itu aku tidak pernah menampakkan wajahku pada Ko Ahong. Menghilang.

Dorr...dorr..dorrr. 

“Parto keluar kamu Partoo!” teriak seseorang sembari menggedor pintu kayu rumah kami. 

“Ada perkara apa ini Ko? Pagi-pagi sudah menganggu kami!” sahut Bapak dengan kesal setelah membukakan pintu. Aku hanya berwajah pucat pasi ketika tau itu adalah Ko Ahong.

“Ini lho, bocahmu kemarin membuat saya rugi, reputasi dan penjualan saya hancur karena dia tak becus bekerja! teriak Ko Ahong disertai tatapan melotot.

Bapak  menunjukkan raut muka penuh amarah dan keluhnya padaku.

“Kamu ini Jok..Jok, udah ngerti kita ini orang susah, masihh saja kamu menambah beban di pundak Bapak, apa kamu selalu setega ini Jok?” keluh bapak. Dia sangat syok ketika dengar perihal tersebut.

“Pokoknya kalian harus ganti rugi! Salah satu dari sapimu akan saya bawa besok pagi To, awas kalau kau lari lagi dari masalah ini, kubongkar ‘aibmu’ esok! Bapak sama anak sama saja dasar Bajingan.” ancam Ko Ahong dengan geram disertai derap sepatunya yang tegas meninggalkan kami. Para tetangga yang turut mendengar berbisik-bisik penasaran.

Bapak hanya menutup mulut dan terduduk lesu. Sekitar beberapa jam setelah Ko Ahong pergi, bapak seketika pergi ke kandang mengeluarkan gerobak sapinya. Dipecutnya dengan keras sepasang sapi itu untuk menarik gerobak pacu tersebut meninggalkanku sendirian, dipenuhi duka dan penyesalan. 

“Pak..tunggu Pakk.., mau pergi kemana Pakk!” seruku dengan lantang.

Tanpa pikir panjang, aku segera menyusul bapak menggunakan sepedaku. Hembusan debu dan dersik angin menusuk mataku hingga perih. Aku menyadari jalan itu sejalur dengan toko kepunyaan Ko Ahong. Jantungku berdegup kacau bukan main. Gerobak pacu itu melaju cepat tak terkendali hingga bergetar hebat. Pecutan pada sepasang sapi tersebut dapat menyayat hati dan iba bagi siapa pun yang mendengarnya. Aku bisa melihat sepasang sapi itu kocar-kacir meronta kesakitan.

“Pakk…berhenti Pakk.” seru ku menghimbau bapak dengan lantang hingga tenggorokanku kering.

Gerobak itu makin meracau tak terkendali hingga jatuh terbalik akibat amukan sapi-sapi itu.  Tepat di depan mataku, bapak tersungkur bersimbah darah merah mengalir di atas jalan berbatu itu. Sapi-sapi itu menghantam gerobak pacu itu dengan tempurung kepala mereka secara brutal mengobrak-abrik habis gerobak itu. Dengan cepat aku berbalik arah mengayuh sepeda ku dengan kuat dan meneriaki pertolongan. Tak lama kemudian, aku bertemu Pak RT dan warga yang lain sedang melaksanakan rapat di tengah perjalanan.

“Tolongg Bapakku, Bapakku mau matiii!” seru ku panik. “Bapakku tersungkur jatuh dari gerobak sapi. Sapi-sapi itu mengamuk mengobrak-abrik gerobak itu dan mengantam Bapakku. Tolong Bapakku cepatt!”

Semua orang panik bukan main. Pak RT dan para warga langsung bergegas menuju lokasi insiden itu terjadi. Namun sesampainya disana, kami lebih tercengang lagi atas apa yang kami saksikan. Bapak telah menjadi mayat buruk rupa bersamaan dengan sepasang sapi itu tersungkur lemah dengan luka pecutan yang dalam. Gerobak pacu itu hancur berserakan hingga tak berbentuk. Seketika para warga menutup penglihatanku, dan membawaku pergi dari insiden itu.

Sabtu berlalu menjadi minggu. Mendung menghalangi cahaya mentari, embun membasahi daun dan rintik hujan membasahi tanah pemakaman itu. Aroma petrikor ini bagai pertanda buruk dan kesialan bagiku.  Lantunan doa menyelimuti tanah pemakaman itu, dihiasi dengan orang-orang berbalut pakaian serba hitam melambangkan duka. Seluruh warga beranjak pulang, menyisakan aku dan Kiai Ahmad. Aku hanya bisa meraung dan menangis sejadi-jadinya di hadapan kayu nisan yang terukir nama bapak.

 “Nang, yang sabar yah.” ucap kiai dengan lembut. “Bapakmu setidaknya pernah berjasa membantu warga desa ini dalam keperluan sehari-hari. Beliau menekuni pekerjaannya dengan baik.”

“Terus kenapa mereka selalu menghina dan merendahkan kami hanya karena pekerjaannya seorang bajingan? Tuhan sangat tidak adil terhadap kami!” seruku diiringi isak tangis.

“Bagusing Jiwo Angen-angening Pangeran . Artinya beliau adalah orang berhati mulia yang dikehendaki tuhan. Pekerjaan yang ditekuni semasa hidupnya adalah pekerjaan terpuji. Namun, tentunya setiap perkara yang beliau lakukan semasa di dunia ‘kan terbalaskan walau sebesar biji zarah. Kita hanya bisa berdoa yang terbaik, Nang.” jawab kiai sambil memelukku erat.

Sejak hari itu, Joko diasuh oleh Kiaii Ahmad. Namun, hingga saat ini para warga dan kiai tutup mulut menyembunyikan aib kelam Pak Parto dahulu yang telah selingkuh dari istrinya, menghamili gadis belia dari anak seorang kiai hingga melahirkan seorang putra bernama Joko. 


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.