Aku- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Aku


 “Kecewa”. 

 Rasa kecewa yang dirasakan setiap orang itu berbeda. Sama hal nya dengan apa yang kamu rasakan dan apa yang aku rasakan. Baik itu kepada diri sendiri maupun orang lain. Terkait dengan rasa kecewa terhadapat orang lain, terkadang kita bingung bagaimana mengungkapkan kata-kata kecewa untuk seseorang. Entah karena memang sudah terlalu malas untuk membahasnya karena sudah berulang kali terjadi. Atau, mungkin kita belum menemukan ungkapan yang pas untuk menggambarkan rasa kecewa itu.

 “Katamu ini adalah sebuah kesalahan. Tapi sebenarnya yang paling kejam adalah, sepertinya kesalahan ini milikku, karena mempercayaimu.” (David Leviathan) 

 Secara tak sengaja aku menemukan kalimat ini. Kalimat yang sangat menggambarkan diriku saat ini. Dulu sangat mudah bagiku untuk dapat percaya pada orang lain. Namun, sekarang entah kenapa rasa itu seakan memudar dan menghilang. 

 Namaku Abellia Putri, orang-orang sering memanggilku Lia. Aku tak memiliki banyak teman dan juga tidak populer. Namun, sahabat ku merupakan salah satu anak famous disekolahku. Namanya Angelica Mona, dan dia juga merupakan anak dari pasangan kaya raya dikota itu. Sedangkan aku, hanya dari keluarga sederhana dan terlihat sangat bahagia. Ya, kebahagiaan itu hanya untuk keluargaku, tapi bukan untukku. Dikeluarga ini bisa dibilang, aku hanya mendapatkan sedikit kebahagiaanku sendiri. 

 Dulu sekali, aku mendapatkan banyak kasih sayang. Namun semuanya hilang semenjak 'dia' pergi. Pergi untuk selamanya. Dan aku adalah pihak yang disalahkan. Ibu menyalah kan ku atas semua yang terjadi, dan dia menyebutkan bahwa akulah penyebab utama mengapa dia pergi. Sedangkan ayahku, dia hanya bisa diam. Diam seperti orang bisu yang tak memiliki mulut untuk bicara. Ia hanyalah ayah yang tak bisa dikatakan ayah karena tidak tbisa mengerjakan pekerjaannya sebagai seorang ayah. Sama sekali tidak ingin melakukan apa-apa, bahkan untuk membelaku pun tidak. Padahal ia tahu kebenaran dihari itu. 

 Pagi seperti pagi biasanya, aku berangkat tanpa dipedulikan oleh anggota keluargaku. Meski aku mengatakan ""selamat pagi,"" atau bahkan saat aku mengatakan ""aku berangkat"" mereka sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Seolah aku hanyalah angin lalu yang bertebangan di sekitar mereka. Terlalu lama aku diperlakukan seperti ini, sampai-sampai aku sama sekali tidak memiliki emosi pada diriku.

 Sekali lagi, aku berangkat ke sekolah tanpa ada yang memedulikan ku. Tapi tak apa, karena aku sudah terbiasa dengan hal ini. Setidaknya biaya sekolahku masih dibayar dan aku tidak pusing lagi mencari biaya sekolah. Tapi, bukan berarti aku dikasih uang jajan. Uang jajan ku peroleh dari kerja sambilan yang ku lakukan. Dan untungnya, aku sudah berumur 17 tahun dan boleh-boleh saja bagiku untuk kerja sambilan. Kenapa? Karena aku sudah memiliki KTP. Sangat senang? Tentu saja, karena sudah impian ku bisa mendapatkan KTP. Dengan adanya KTP, aku bisa melakukan beberapa kegiatan yang ingin ku lakukan. 

 Sampai disekolah, aku seperti murid lainnya. Berusaha menjadi murid biasa saja tanpa harus berurusan dengan murid-murid populer disekolah. Namun, sialnya aku memiliki sahabat yang sangat populer. Karena terlalu populernya, Mona bahkan sampai dikenal oleh para senior yang sudah tamat. kami memang sahabatan dari kecil, bahkan sama-sama tahu dengan kehidupan kami berdua. Sahabatku, Mona bahkan tahu dengan kondisiku dikeluarga itu.

 Dan saat yang sangat tidak aku sukai. Ialah saat jam pulang sekolah. Pasti akan ada saja oknum-oknum yang berusaha untuk melancarkan kekesalan mereka kepadaku. Entah apa yang mereka kesalkan aku bahkan tidak tahu. Tentu saja Mona sama sekali tidak tahu akan kejadian ini. Aku tidak mau memberitahukan nya. 

 ""Kami peringatkan sekali lagi ya, jangan pernah lagi dekat-dekat dengan Devano. Karena Devano hanya milik aku, dan kamu gak pantes buat dapetin dia!"" Dengan tampang yang beringas, cewek itu pergi dengan teman-temannya. 

 Saat pulang, dengan keadaan sangat tidak karuan aku kembali kerumah yang bahkan tidak pernah ku anggap rumah. Dari pagar rumah bisa kulihat salah satu saudaraku sedang berdiri di depan pintu. Saudara yang sudah lama tidak ku lihat wajahnya. Orang yang sangat kurindukan. Tampangnya berubah saat melihat keadaanku yang sudah sangat kacau. Tampang yang seakan ia sangat cemas dengan keadaanku. 

 ""Astaga dek, kok kamu bisa jadi kayak gini? Siapa yang ngelakuin ini ke kamu?"" Tanya nya padaku seolah-olah ia sangat peduli denganku. 

 ""Jangan bertingkah seolah kau peduli padaku, cukup perlakukan aku seperti biasa,"" ucapku dengan dingin tanpa perasaan pada orang yang sangat kurindukan ini. Memang kejam, namun perlakuan mereka sangat kejam padaku. 

 ""Lia! Apa yang barusan kamu katakan. Begitukah caramu bicara pada orang yang lebih tua? Apa kau tidak pernah diajarkan bersikap lebih baik?"" 

 ""Kamu itu tidak sepantasnya bersikap seperti itu Lia, kemana Lia yang abang kenal? Kemana Lia yang lucu dan periang?""

 Ah, aku muak 

 ""Ayah sama ibu bilang kalau kamu sama sekali tidak mendengarkan mereka? Coba katakan, apa yang membuatmu berubah seperti ini?""

 Aku capek

 ""Lia! Kamu dengar kan?"" Dengan marah dia berusaha untuk meraih pergelangan tanganku. Dan dengan lancar aku mengelak tangannya yang berusaha untuk meraihku. 

 ""Diajarkan? Bersikap lebih baik? Omong kosong!"" Ucapku dingin tanpa perasaan. Abangku ini terlihat sangat terkejut melihat sikapku. 

  ""Lia...""

  ""Berubah? Memang nya karena apa aku berubah? Menghormati? Omong kosong! Abang bahkan gak tahu gimana kehidupan aku setelah Lio meninggal. Wanita itu bahkan menuduhku sebagai pembunuh, bahkan aku sama sekali tidak pernah membunuh. Dia bilang apa? Dia bahkan mengatakan tidak pernah menganggap ku sebagai anaknya. Dia bahkan memperlakukanku sebagai orang asing. Lalu, pria itu. Dia bahkan hanya diam setelah semua yang terjadi padahal dia tahu kebenaran dari semuanya!"" Tanpa bisa dibendung lagi, air mataku keluar. 

 Padahal aku sama sekali tidak ingin dilihat saat sedang menangis. Saudara laki-laki ku ini terlihat shock dengan apa yang ku katakan. Namun, belum sempat ia mengeluarkan kalimatnya. Suara lain terdengar dari arah belakangku. 

 ""Kau memang bukan anakku. Aku bahkan sama sekali tidak pernah menganggap mu anak. Kau hanyalah pembunuh kecil yang tega mengambil nyawa kembaranmu,"" dengan suara yang sedingin es. Wanita itu mengatakan dengan lancar dari mulutnya. 

 Aku menatap wajah wanita yang kusebut sebagai ibu ini, kemudian mengalihkan pandanganku kearah pria yang sedang menatapku kaget, ayahku. 

 ""Kenapa ayah tidak mengatakannya? Kenapa ayah tidak mengatakan yang sebenarnya di hari itu!! Ayah bahkan berusaha untuk menutupi nya? Alasan mengapa Lio mati hari itu! Orang-orang bahkan tahu mengapa Lio mati saat itu!"" Ucapku dengan suara serak karena menahan tangis. Beberapa tetangga keluar karena mendengar suara pertengkaran kami. 

 ""Lebih baik kau mati,""

Satu kalimat, satu kalimat yang menusukku. Seolah kalimat itu dapat mencabik-cabik jantungku saat ini. Ibuku mengharapkan diriku mati.

 ""Ranata!?"" Ayah membentak ibu, terlihat sangat kaget dengan perkataan yang dikeluarkan oleh ibuku dan juga bingung. 

 ""Ini salahku, seharusnya aku tidak melahirkanmu. Seharusnya kau yang mati saat itu, bukan Lio!"" Sekali lagi, orang yang sangat aku harapkan dapat menerimaku menginginkan aku mati.  Dan setelah mengatakan kalimat itu, ibu langsung berjalan masuk ke dalam tanpa peduli sudah banyak tetangga yang melihat adegan ini. Bahkan mereka sangat terkejut dengan kalimat yang dilanturkan oleh ibuku. 

 Ayah berusaha mengejar ibu, dan abangku berusaha untuk menenangkan ku. Dan mengajakku untuk masuk kedalam rumah, membawakan ku kedalam kamar. Tak lama, ayahku masuk ke dalam kamar. Mensejajarkan badannya denganku dan menggenggam pergelangan tanganku dengan erat. 

 ""Kenapa ayah tidak mengatakan yang sebenarnya?"" Tanyaku dengan tatapan kosong. 

 ""Lia, kamu tahu juga kan keadaan ibumu saat itu. Setelah kejadian itu, ibumu bahkan mengalami stress berat sampai-sampai ia melupakan ingatannya."" Jelas ayah berusaha untuk meyakinkanku. 

 ""Makanya kenapa ayah sama sekali tidak mengatakan kebenaran dari semua ini. Kebenaran bahwa paman Rio yang berusaha membunuhku dengan melemparku ke truk dan Lio yang tahu akan hal itu berusaha untuk menolongku."" Ucapku mulai terisak. 

 ""Ini salahku, kesalahan ku sampai gagal menjadi seorang ayah dan suami,"" ucap ayah dan mulai terisak. 

 ""Ayah tahu? Aku sangat mempercayai ayah, sampai-sampai aku rela diperlakukan seperti ini. Ayah sudah berjanji untuk mengatakannya. Aku bahkan sangat percaya pada ibu yang akan berubah,"" ucapku mulai terisak. 

 ""Lia, ayah hanya tida_""

 ""Ini salahku. Ini salahku karena sudah percaya pada ayah, dan juga ibu. Seharusnya ayah tidak menahanku untuk pergi saat itu,""

 ""Lia, ayah tidak akan pernah membiarkan putri ayah pergi dari rumah! Ayah sudah mengatakan itu berkali-kali bukan?"" Bentak ayah setelah mendengar perkataan ku. 

 Aku hanya diam membisu, sama sekali tidak ada niat untuk membalas perkataan ayahku. 

 ""Ayah sudah memberitahu ibumu, dan ibumu sudah tahu dengan semuanya."" 

 Aku menatap ayah, sangat lama. Dan selama itu tidak ada pembicaraan lain diantara kami. Hanya air mataku yang terus mengalir tanpa henti. Sedangkan abangku yang sedari tadi menonton kami, hanya bisa diam membisu. Tak sanggup untuk berbicara karena terlalu shock dengan apa yang ia dengarkan. 

 ""kenapa tidak bilang? Kenapa ayah tidak bilang kalau sudah memberitahu ibu? Bahkan setelah mengetahui hal itu,dia  sama sekali tidak mau peduli. Dan tetap menginginkan aku mati?"" Air mataku mengalir lebih deras lagi, tak sanggup membendungnya lagi. 

 ""Ayah hanya tak ingin kau tahu kebenarannya,"" ucap ayah sambil menunduk, menahan isakannya. 

 ""Keluar""

  Ayah dan abangku hanya bisa menuruti, dan segera keluar dari kamarku. Setelah mereka semua keluar, ku kunci kamar dan menangis tanpa suara. Rasa kekecewaan ku pada keluarga ini semakin membesar. Sudah tak tahu untuk apa alasan aku agar tetap bertahan didunia ini. 

 Ku ambil benda yang selalu kubawa dikantong ku. Kemudian menatap benda itu lama. Perlahan pandanganku memburam kemudian menggelap. Sudah lama sekali aku tertidur pulas seperti ini. Rasanya sangat nyaman dan damai. 

Rafael POV

 Aku sama sekali tak menyangka bahwa hal ini akan terjadi padaku. Aku merasa gagal sebagai keluarga dan sebagai saudaranya. Lia, adikku yang lucu dan periang sudah tidak ada lagi. Kupikir setelah semuanya, dia akan kembali. Dan ternyata perkiraan ku salah. Ia lebih memilih untuk pergi selamanya, pergi dari sisiku untuk selamanya. Lebih memilih untuk cepat-cepat berada disisi Tuhan dan menyusul kembarannya, Lio.  Kulihat Mona sahabatnya menangis, merasakan kehilangan yang sangat dalam. Bahkan aku yang keluarganya tidak sampai menangis seperti itu. Apa sebegitu kehilangannya dia akan adikku? Apakah kasih sayangnya lebih besar dibandingkan kasih sayang kami sebagai keluarganya? Sekali lagi aku merasa gagal akan diriku. Kini didepan mataku, terbaring adikku yang sudah tertutup oleh tanah. Kini aku menyadari, bahwa aku tidak akan pernah melihat senyum manis darinya lagi. 

 Selamat tinggal, Gadis kecil manisku yang periang. Selamat tinggal Abellia Putri, adikku tersayang. Maafkan aku yang tidak bisa mengembalikan senyum manis mu. Sehingga membuatmu lebih memilih untuk menyusul saudara kembaranmu. 


Tamat


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.