The Rain Brought You To Me - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 The Rain Brought You To Me

Karya : Nadia Febiola


Mataku menatap lurus kearah genangan air yang terus bergelombang. Hujan baru saja turun dengan derasnya. Aku menghembuskan nafasku sedikit kasar. Rasanya sangat kesal jika hujan turun lalu merenggut berjam-jam waktu berhargaku, aku benar-benar tidak bisa melakukan apapun jika hujan sudah turun walaupun gerimis seperti ini, kecuali memainkan gitar yang sedari tadi di pangkuanku.


Jariku memetik beberapa string sembarangan hingga menimbulkan bunyi yang terdengar berantakan.


“Kak Fataaah”.

 


Suara nyaring seorang perempuan membuyarkan lamunanku. Aku membalikkan badan ke sumber suara. Ah anak itu. Ujung bibirku sedikit terangkat, mataku sudah beralih mengawasi langkah pemilik suara tadi yang sekarang tengah berlari kecil kearahku.


“Ngapain bengong? Laper? Atau baper? Hahaha makan yuk”. Matanya sedikit mengecil saat tertawa.


Aku masih diam, dan akan selalu diam ketika memperhatikannya. Aku menyukai semua yang dilakukannya, ketika dia berlari ke arahku, meneriakiku dangan suara yang nyaring, suara tawanya yang seperti tanpa beban, pembawaan cerianya yang sedikit banyak menjadi moodbosterku, semuanya. Dia berhenti tertawa. Gawat, dia tahu kalau aku memperhatikannya. Ah bodoh, badanku lambat menerima respon untuk segera berhenti menatapnya.


“Woy kak Fat. Ngeliatin segitunya banget. Gua cantik yah?”. Dia kembali tertawa sementara aku sedang gelagapan mengatur debaran jantungku yang berpacu kencang. Tuh kan ketahuan lagi.Tangannya dengan cepat menarikku dengan paksa tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Entahlah, dia seperti leluasa untuk melakukan apapun yang diinginkannya kepadaku, apapun, dan kapan pun. Namanya Nadia. Umurnya lima tahun lebih muda dariku. Dia pertama kali menemukanku ketika mataku menatap kesal kearah rintik-rintik hujan. Dia selalu seperti itu, meneriakkan nyaring namaku kemudian berlari kecil sambil melambai. Dia selalu datang dengan membawa buncah bahagia di hatiku, ya, kurasa seperti itu. 


Suatu hari saat kami pulang bersama, dengan menatap malu-malu kearahku Nadia mengatakannya. Sesuatu yang terdengar seperti petir di telingaku. Aku sedikit terkejut meski ada beberapa perasaan yang tidak kumengerti. 


“Gua suka ama lu Kak”. Langkahku berhenti tiba-tiba, jantungku, ah berdebar secepat ini? Kepada anak sekecil dia? Dia bahkan baru saja memasuki tahun petamanya di Sekolah Menengah Atas, sedangkan ini adalah semester ke empat kuliahku.

 

“Kenapa gue? Bukannya di sekolah lo banyak yang lebih cakep? Lagian lo bukan tipe gue”. Hanya itu, ya hanya itu tapi tanpa sadar aku mungkin melukainya. 


Tidak apa, ini demi harga diriku agar tidak terlihat gugup. Tapi bahkan setelah berkali-kali aku mengatakannya di lain kesempatan, dia tetap berlari ke arahku setelah meneriakkan namaku. Seperti tidak terjadi apa-apa. Untuk perempuan lain, mereka mungkin sudah menganggapnya penolakan. Tapi Nadia tetap datang kepadaku saat hujan, bahkan ketika cuaca sedang cerah.


Seporsi bakso sudah habis tidak bersisa oleh orang yang duduk berhadapan denganku. Ini salah satu yang aku tahu dari Nadia tanpa perlu bertanya, dia sangat suka dengan makanan. Tapi tubuhnya tidak seperti kebanyakan orang yang punya hobby serupa dengannya. Dia tetap cantik, tinggi, dan ideal. Aku kembali menarik nafas setelah mengingat ada yang harus aku bicarakan kepada Nadia. Hatiku terasa sedikit berat, tapi segera aku buang jauh-jauh perasaan itu. Aku bahkan tidak pernah peduli dengan siapapun sebelumnya, mengapa sekarang harus.


“Nad. Gua mau ngo..”. kalimatku tidak berlanjut. Kulihat wajah Nadia memucat dan sebelah tangannya menyangga kepala. Aku cemas, belum pernah kulihat Nadia seperti itu. Tubuhku spontan berpindah ke kursi yang lebih dekat dengannya untuk menyangga badannya yang mulai oleng. 


“Nadia lo gapapa kan?”. Aku tahu itu pertanyaan bodoh setelah melihat keadaannya sekarang. Tapi aku benar-benar bingung dan cemas. Nadia bahkan tidak menjawab pertanyaanku. Kurasakan badannya melemas beberapa saat setelahnya. Kepalanya tersandar di bahuku. Dia tidak sadarkan diri lagi. Aku sudah berada di Bandara sejak 30 menit yang lalu. Waktu keberangkatan pesawatku masih satu jam lagi. Aku akan menempuh perjalanan panjang melelahkan. Aku mendapat kesempatan menjadi perwakilan Indonesia yang bertukar pelajar dengan mahasiswa negeri gingseng. Ini adalah kesempatan emas untuk memperdalam ilmuku dibidang seni.


Tapi rasanya hari ini aku sedikit lesu. Tadi aku sempat mampir untuk melihat keadaan Nadia. Tidak jauh beda sejak dua hari yang lalu aku membawanya ke RS. Masih belum sadar. Aku tidak mendapatkan keterangan apapun tentang Nadia, di kepalaku berkelebat banyak pertanyaan. Apakah dia sakit? Kenapa selama ini dia tidak menceritakannya padaku. Biasanya Nadia selalu bercerita apapun meskipun aku tidak bertanya dan selalu memilih diam. Rasanya sesuatu menekan hatiku sangat kuat. Seperti memaksa bagian lain dalam diriku untuk tinggal. Ah aku benar-benar tidak mengerti dan tidak menyukai perasaan seperti ini. Rasanya sakit dan sesak, ini menyiksaku. Dengan sedikit rasa tega aku harus membiarkannya tanpa berniat mencari penawarnya. Tidak apa, segala sesuatu memang membutuhkan pengorbanan. Ku tarik nafasku dalam-dalam dan bersiap untuk sesuatu yang baru.


2 tahun kemudian…

Gitar akustik coklat muda sudah kumasukkan dalam softcast. Hari ini aku diundang secara pribadi oleh temanku untuk menemani anak-anak penderita kanker di salah satu Yayasan Kanker di Seoul. Aku senang bisa menyanyikan beberapa laguku untuk mereka. Pandanganku yang tadinya sibuk memperhatikan pada sweeter biru lembutku kini beralih ke arah jendela. Titik-titik air mulai turun menimbulkan suara bising yang tidak kusukai ketika mengenai atap rumah. Hujan yang mulai deras membuatku harus datang sedikit terlambat dari janji. Aku sedikit merasa bersalah pada semua anak kecil yang kelihatan senang menyambutku. Aku mulai memyanyikan beberapa lagu anak dan banyak kegiatan lain hingga senja.


Hujan kembali turun, kusandarkan badanku pada kursi di koridor yang tidak terjangkau rintik hujan. Mataku memandang kosong kearah genangan air. Aku masih tidak menyukai hujan. Jika di Indonesia bau tanah ketika hujan cukup menggangguku, di sini dingin akan menusuk ke tulang-tulangku atau badai merusak atap rumahku ketika hujan. Hujan selalu membuat semua orang menjadi kehilangan waktunya. Tapi sepertinya, kali ini alasanku untuk tidak menyukai hujan sudah berbeda. Hujan selalu mendatangkan sesak di dadaku ketika dia turun, mendatangkan banyak kenangan dari bertahun yang lalu. Aku sungguh membenci perasaan seperti ini. Perasaan yang selalu aku bohongi, yang selalu aku tutupi ketika ia membuncah. Ternyata aku merindukannya sekarang. Sangat merindukannya. Dia yang datang membawa bahagia, dia yang datang dan mendebarkan jantungku, selalu saja. Aku hampir lupa bagaimana rasanya semua itu.


Telingaku menangkap suara langkah kaki, tapi aku tidak menghiraukannya karena masih memandang kosong ke arah genangan air.


“Masih sering bengong liatin hujan?”. Seketika tubuhku membeku, aku sangat mengenal suara ini. Dan sapaan hujan ini. Dan langkah kaki tadi, yang berlari kecil, aku mengenalnya sejak dulu.


Aku masih belum bergeming. Kupikir ini hanya ilusiku saja. Kursi yang kutempati sedikit bergeser. Rupanya seorang perempuan bersweeter rajut tebal dengan bawahan levis dan sepatu merah sedang duduk menyilangkan tangan sambil menatapku.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.