Selamat ulang tahun - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Selamat ulang tahun


Aku masih ingat malam itu, 8 tahun yang lalu. Seorang pencinta musik yang tak bisa memainkan alat musik entah bagaimana terpaku dalam sebuah resital piano sederhana yang indah. Aku suka cara sang pianis membuat jarinya menari di atas tuts piano dan menggemakan nada-nada indah. Setelah resital selesai dan semua orang meninggalkan ruangan teater sederhana itu, aku masih juga belum beranjak. Begitu pula dengan gadis berjilbab didepan piano itu, dia masih duduk di sana. Dan aku tak tahu, apa yang pada akhirnya menarikku untuk  berjalan kearah panggung, menaikinya, lalu duduk disebelah gadis yang tampak sebaya denganku. Ia terkejut dari lamunannya, aku tersenyum lebar.

""Aku menyukai permainan piano-Mu!"" Mendengar pujianku, ia masih terdiam beberapa saat, sampai akhirnya ikut tersenyum, 

""Terima kasih.""

""Serius! Sepertinya, aku akan menjadi fansmu mulai detik ini"" ucapku menggebu, yang akhirnya ia balas dengan tawa. 

""Kamu berlebihan sekali, sih!""

""Enggak, ini serius! Aku tak sedang berlebihan!"" Aku mengulurkan tanganku padanya. 

""Siapa namamu? Aku cahaya.""

""Langit."" Ia menyambut tanganku mantap 

""Kamu tak pulang, Cahaya? Ini sudah malam sekali, loh.""

""Ayah sudah tahu kalau hari ini akan selesai terlambat. Jadi ia bilang akan menjemputku tengah malam, sebentar lagi,, kamu sendiri?"" Senyumnya hilang sebentar, sebelum menjawab pertanyaanku. ""Aku menunggu tengah malam.""

 

Setelahnya, kami tenggelam dalam obrolan yang seru, tentang bagaimana menyukai piano, tentang resital-resital yang ia hadiri, tentang aku yang suka musik apalagi piano, tapi malas mempelajarinya, tentang banyak hal. Hingga akhirnya, jam besar diatas pintu keluar berdentang 12 kali, tanda tengah malam. 


""Wahh,, hari ini tanggal 29 Februari! Hari yang datang hanya 4 tahun sekali. Apa ya, rasanya ulang tahun 4 tahun sekali?"" Celetukku saat menyadari tanggal yang baru berganti.

""Engga enak! Serius."" Balas Langit murung. Aku ingin bertanya, tapi mendadak aku menyadari satu hal, tentu Langit bilang begitu karena ia merasakannya. Dia berulang tahun hari ini, dan mungkin itu alasannya, menunggu tengah malam. Aku memilih diam, hingga akhirnya ayah datang, berdiri diujung pintu teater kecil ini. Meski enggan, aku harus tetap berdiri dan berpisah dengan Langit. Entah kapan bisa bertemu lagi. 

""Langit, terima kasih!"" Aku memeluknya erat. 

""Untuk apa?"" 

""Karena mau menjadi idolaku!"" Aku melepas pelukanku, dan mulai berjalan sambil melambaikan tangan. 

""Dan, selamat ulang tahun, Langit!"" seperti itu, pertemuan pertama kami berakhir. Namun, sepertinya, semesta punya konspirasi lain yang akhirnya membuahkan kebetulan-kebetulan berujung takdir. 


Beberapa bulan setelahnya, secara ajaib kami bertemu karena ternyata kami sama-sama siswi baru di SMP yang sama. Dalam sekejap, kami menjadi sahabat yang baik. Kami jadi saling bergantung, layaknya saudara perempuan. Aku selalu mendukung kontes dan lomba apapun yang ia ikuti, dan ia yang selalu setia berada di sampingku. Perlahan, aku juga tahu mengapa ia begitu murung dihari ulang tahunnya. Tepatnya karena orang tuanya meninggal saat ulang tahunya yang ke-8, demi membuat kejutan untuknya, dan disitulah alasan mengapa ia membenci ulang tahunnya sendiri.

Diam-diam, aku ingin membuat Langit berhenti membenci ulang tahunnya. Lagi pula, masa lalu seburuk apapun itu, takkan bisa berganti, 'kan?. Aku ingin langit tahu, masih ada masa yang masih bisa ia peluk Jika iya bisa berdamai dengan masa lalunya.

Jadi, saat Langit berulang tahun yang ke-16 kami juga akhirnya masuk ke SMA yang sama, aku menyelinap ke rumah putih yang sering sekali kudatangi bahkan kuinapi, dan mengetuk jendela kamarnya yang ada di dekat pintu depan, beberapa menit sebelum tengah malam. Wajah mengantuknya terkejut melihat sosokku. 

“Cahaya, Kamu sedang apa?!” Ia cepat-cepat membuka pintu depan dan mempersilahkanku aku masuk.

“Sstt... nanti nenek terbangun!” aku hanya menyeringai, senang. 

“Cahaya... cahaya... sudah kukatakan berapa kali? Aku benci ulang tahun. Apalagi ulang tahunku lagi pula, merayakan ulang tahun bukan bagian dari adat Islam.” Gerutunya.

“Langit, kita tidak sedang merayakan, tapi mensyukuri. Momenmu hanya 4 tahun sekali, jadi Mengapa tak kita syukuri, bahwa hari ini kamu masih bernapas dan ada di muka bumi?.”

“Iya deh, cahaya kamu memang selalu menang kalau berkata-kata.” aku membuka kotak kue yang kudekap, kue Tiramisu favoritnya.


Menit-menit selanjutnya, aku menunggu Langit yang sibuk Memamah potong demi potong Tiramisu, menyisakanya setengah loyang untuk neneknya. Aku tak suka manis.

“Cahaya, karena kamu sudah merayakan ulang tahunku, Bolehkah aku meminta 1 kado lagi?”

“Boleh! Tentu saja boleh!” 

“Tapi janji kamu akan mengabulkannya?.” aku mengangguk semangat.

“Apapun akan kukabulkan!.” 

“Aku ingin kamu menggunakan hijab.”Pintanya dengan mata membulat penuh harap. Aku terdiam, Sejak pertama aku mengenalnya, Langit sudah menggunakan hijab, sedangkan aku, tak kunjung berkerudung.

“Ya? Kamu janji akan mengabulkannya?” Langit mengulang Harapan yang tentu Tak Tega kutolak. Meski berat awalnya, akhirnya aku mengganggu juga, disambut tepuk tangan tanpa suara dan uforia.

***

Begitulah, Langit membuatku berhijab. Langit, dengan sifatnya yang bertolak belakang dengan ku, banyak mengubah ku, tentu saja ke arah yang lebih bijak. Gaya langit yang selalu menasihati tanpa menggurui, kesabarannya, ketabahan hatinya. 

Masa-masa presisi dari remaja menuju dewasa ku banyak diwarnai kebaikan Langit, aku sadar karena langit, Aku bukan lagi gadis manja yang cengeng aku juga ingin sekuat langit. Begitu tekad ku selalu titik aku punya hutang Budi yang takkan terbalas meski dengan apapun aku mencoba.


Danan esok ulang tahun langit, sejak kami terpisah, aku tetap kuliah disini dan Ia mendapat beasiswa di Akademi musik di Wina, Austria. Meski langit sudah mewanti-wanti agar aku tak berusaha menyiapkan perayaan apapun, aku tetap bersikeras berusaha mengejutkannya. Aku akan pergi ke Wina, menyusulnya dan memberikannya kejutan!.


Tapi seharusnya pesawat yang akan membawaku pergi telah sampai dari tadi. Entahlah, sudah 4 jam berlalu sejak jam yang seharusnya Aku berangkat. Kalau saja Pesawatku itu tepat waktu, aku bisa sampai di Wina tepat pada hari ulang tahunnya. Percuma saja aku menggerutu. 

Kupandangi lagi pesan singkat yang ku kirim untuk langit beberapa saat lalu. 'jemput aku di bandara Wina jam 3 siang, ya!' 

Tentu dengan perkiraan waktu yang tak semeleset ini, baru saja aku akan mengirimkan pesan, membetulkan waktu kedatangan, pengumuman bahwa pesawat tumpangan Ku Siap dinaiki akhirnya dikumandangkan. Saking senangnya aku setengah berlari menuju counter dan bergegas masuk pesawat.

Benar-benar Tak sabar bertemu langit yang tak kujumpai lekuk wajahnya 2 tahun ini titik pesawat akhirnya mengudara, meninggalkan kota di batas langit. Aku memandang gedung-gedung yang mengecil lalu menghilang.


Aku tak bisa menekan euforia yang membludak. Sebentar lagi, aku akan bertemu Langit! Segala kilas balik Sejak pertama kali aku bertemu dengan Langit, bersekolah di SMP yang sama kompetisi musiknya, SMA yang sama lagi hingga akhirnya dengan berat hati kami harus berpisah berkelebatan dalam bayangku.


Ya Allah, terimakasih telah mengirimkan sahabat yang begitu baik.

Hahahaha, pasti ia sedang menggerutu karena pesan dadakanku, aku tersenyum sendiri membayangkan ekspresi kesalnya.


Tiba-tiba guncangan besar membuyarkan imajinasiku. mataku membulat terkejut. Guncangan itu tak hannya sekali namun berkali-kali.

Pramugari berkali-kali pula berusaha menenangkan penumpang yang panik. Tak berhasil! Dunia di sekitarku mendadak penuh dengan tangis bayi, riuh, teriakan, doa, dan Lara. Hingga akhirnya, kami turbulensi, pesawat jatuh tak tanpa terkendali. Berapa detik lagi hidupku? Aku tak akan pernah bisa sampai ke Wina. Tak akan pernah bisa menemui langit. Tak akan pernah bisa mengucapkan selamat ulang tahunnya yang ke 20. Tak akan pernah bisa tertawa.


Ya Allah, terima kasih karena pernah mempertemukanku dengan Langit, di hidupku yang singkat.


Setelahnya pandanganku berubah gelap titik gelap sekali tak terbuka lagi.

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.