RIAK KEPEDIHAN DI TEPI TELAGA - Kumpulan Puisi

 








Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu puisi dari peserta Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional Net 24 Jam. Puisi ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Lembayung". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.lintang.or.id/2021/10/lomba-cipta-puisi-tingkat-nasional-net.html


Untuk melihat data peserta silakan kunjungi website www.net24jam.com

Selamat Menikmati puisi di bawah ini:


 RIAK KEPEDIHAN DI TEPI TELAGA


Aku terpejam kala senja menampakkan sinarnya

Matahari mulai terbenam

Angin mengelus air mata yang jatuh dalam jurang jiwaku

Kubuka perlahan mata yang selalu mendamba ketulusan


Langkahku menyeret menyusuri telaga

Menikmati setiap Langkah yang melewati perahu

Perahu itu tidak bergerak

Dia tertambat di tepi telaga yang meriakkan ombak kecil

Ragaku membeku, benakku mencari sebuah kebenaran

Apa bedanya denganku?

Akupun tertambat, di tepi kesucian hati yang tak tersentuh


Di tepi telaga ini, di keriuhan penjual kaki lima

Aku disini, tepat ditempat kau janjikan satu ketulusan

Kau ikat dalam sajak penuh harap

Yang melambungkan asaku menuju telaga hatimu

Kala itu aku tersenyum

Asaku bergetar pelan penuh harap


Kala itu hati murniku percaya akan janjimu

Suka cita aku menunggumu kembali di tepi telaga ini

Hingga bertahun sudah kita tak bertatap mata


Aku meremas pelan ponselku untuk kesekian kalinya

Tanganku basah akan keringat dingin

Membeku membaca pesan kepergianmu

Kepergian yang tak bisa aku cegah

Walau air mata berlomba menumpahkan kasih dalam pilu


Aku menggigil dalam sepoi angin senja

Menusukkan dinginnya ke palung terdalam sanubariku

Menancap erat hingga membuat ragaku mematung

Melemaskan detak nadi yang menghidupkanku

Merapuhkan tonggak harapan yang berbalas semu


Satu putaran telah kususuri tepi telaga ini

Mengarah dalam janji yang tak lagi bertuan



SKETSA RINDU YANG KELAM


Aku menuturkan satu kerinduan dari hembus angin yang membawa embun pagi

Menitipkan rindu pada malaikat kecil yang tak dapat kurengkuh dalam hangat

Lelaki mungil yang pernah kubelai dalam perutku


Aku merindu, percayalah...

Tangan keriput ini ingin memberikan kasih dengan seluruh daya yang ada

Langkah gontai ini ingin berlari mendekap cerminan tubuhku berskala kecil

Namun waktu dan tempat sedang tidak berpihak kepadaku

Pun juga takdir yang memaksaku untuk menelan rindu


Goresan pena meliukkan pilu tertancap duri

Melukis rindu dalam usapan air mata tertahan


Maafkan aku yang masih berperang melawan badai

Mengenyahkan segala sel yang mencoba melumpuhkan tubuh

Juga berpeluh dalam balutan seragam demi menyambung hidup

Tapi tekadku tidak pernah lumpuh

Tekad untuk berdiri kokoh dan siap menjadi tembok pertahanan insan kecilku


Maafkan aku yang masih harus terbang ke setiap bangunan putih demi kepulihan tubuhku

Maafkan aku yang juga harus melangkahkan kaki ke kota dengan mengadu nasib


Kutatap foto kecil yang teselip dalam dompet usangku

Rinduku kian memuncak

Mengobarkan semangat juangku untuk sembuh

Juga semangat derap langkah mencari nafkah


Aku bukanlah ibu sempurna yang senantiasa  hadir di setiap mata kecil itu terbuka

Tapi selalu kutitipkan satu rindu berjuta makna dalam sebuah doa

Deret rintihan bermunajat kepada Sang Kuasa

Mengharap Dia menjaga malaikat kecilku Sketsa Rindu yang Kelam


Aku menuturkan satu kerinduan dari hembus angin yang membawa embun pagi

Menitipkan rindu pada malaikat kecil yang tak dapat kurengkuh dalam hangat

Lelaki mungil yang pernah kubelai dalam perutku


Aku merindu, percayalah...

Tangan keriput ini ingin memberikan kasih dengan seluruh daya yang ada

Langkah gontai ini ingin berlari mendekap cerminan tubuhku berskala kecil

Namun waktu dan tempat sedang tidak berpihak kepadaku

Pun juga takdir yang memaksaku untuk menelan rindu


Goresan pena meliukkan pilu tertancap duri

Melukis rindu dalam usapan air mata tertahan


Maafkan aku yang masih berperang melawan badai

Mengenyahkan segala sel yang mencoba melumpuhkan tubuh

Juga berpeluh dalam balutan seragam demi menyambung hidup

Tapi tekadku tidak pernah lumpuh

Tekad untuk berdiri kokoh dan siap menjadi tembok pertahanan insan kecilku


Maafkan aku yang masih harus terbang ke setiap bangunan putih demi kepulihan tubuhku

Maafkan aku yang juga harus melangkahkan kaki ke kota dengan mengadu nasib


Kutatap foto kecil yang teselip dalam dompet usangku

Rinduku kian memuncak

Mengobarkan semangat juangku untuk sembuh

Juga semangat derap langkah mencari nafkah


Aku bukanlah ibu sempurna yang senantiasa  hadir di setiap mata kecil itu terbuka

Tapi selalu kutitipkan satu rindu berjuta makna dalam sebuah doa

Deret rintihan bermunajat kepada Sang Kuasa

Mengharap Dia menjaga malaikat kecilku



MENABUH GENDERANG PINTU CAHAYA


Terik panas menyapu parasku

Melumpuhkan fungsi otak yang penuh ketersesatan

Jiwa ini bagai dibakar hingga menciut


Lalu kulihat bangunan kokoh di depan mata

Berisikan manusia yang tengah bermunajat

Tulisan besar membentang di sepanjang pintu gerbang

Terukir tahun yang telah berganti

Dengan kiat menjadi lebih baik


Relung jiwaku berusaha menyeret kaki menapaki masjid putih itu

Aku merasa tertampar oleh kesadaran

Dimana aku saat adzan berkumandang, di tengah kesibukan?

Sungguh aku berdosa menghiraukan kewajibanku selama ini

Akupun menyucikan diri dalam dinginnya air yang meneduhkan

Menyiramkan kesadaran akan Sang Kuasa

Kumulai munajatku dengan berurai air mata

Berjanji untuk menunaikan kewajibanku pada Sang Maha Besar"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.