Negative thinking - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "Negative thinking

Oleh: Nikha Muhammad



Mas mengajakku turun dari mobil, suasana sore itu di alun-alun Magelang cukup ramai berbagai macam dagangan telah digelar. Perutku meronta-ronta melihat stand makanan yang berjajar. 


“Aya mau beli apa?” Mas Rifqi menanyaiku. 


“Sosis bakar, cappuccino cincau, sama mie ayam,” jawabku mantap setelah melihat-lihat sekeliling.


“Astaghfirullah, mentang-mentang dibilang mau ditraktir langsung borongan,” sungut Mas Rifqi. Tapi dia tidak bisa menolak permintaanku karena sudah berjanji akan menuruti semuanya.


“Mas, sosis bakar satu, agak pedes,” Mas Rifqi memesan pada penjual sosis, “Hari ini laris, Mas?” tanyanya lagi. Aku menatap Mas Rifqi, enggak biasanya dia banyak basa-basi, atau karna aku kelamaan di pondok sampai enggak tahu Abangku ini sudah ada perubahan dalam bersosialisasi?


“Ya, Alhamdulillah, Mas. Tapi, sejak mulai diterapkan PPKM, ya... penghasilan tidak pernah stabil.” Nada suara penjual itu terdengar murung.


“Tapi masih cukup ya, Mas, buat keperluan sehari-hari?” mata Mas Rifqi menatap peduli.


“Ya, dicukup-cukupin, Mas.” Senyumnya hambar, terlihat sangat dipaksakan. Bukti bahwa dia lelah, tapi hanya bisa pasrah.


“Ya sudah, Mas, makasih, ya. Semoga laris manis dagangannya hari ini.” Setelah membayar dan pamitan, kita berdua pindah ke stand berikutnya, es cincau.


“Laris, Mas?” tanya Mas Rifqi seraya memesan dua cappuccino cincau.


“Alhamdulillah ada yang beli, Mas. Ya, enggak banyak karena yang ke alun-alun juga sedikit,” kata-katanya sama menunjukkan pasrah sama keadaan. Tapi aku lebih fokus sama sikap kakaku yang biasanya pelit sapaan. Terakhir, aku sama Mas Rifqi ke stand penjual mie ayam. 


“Ya, beginilah Mas. PPKM seperti ini sudah yang main ke alun-alun sedikit, waktu jualan juga dikurangi. Kalau dulu bisa dari jam 3 sampai jam 9 sift malam. Sekarang yang buka jam 9, jam 6 tutup, dan yang buka jam 6 sebelum jam 9 harus sudah tutup. Padahal kadang selama itu baru ada 1 pembeli, atau paling banyak 5 sampe 10 oranglah.” Kali ini aku lebih fokus mendengar. Ternyata, sekarang memang keadaan sesulit ini.


“Jadi penghasilan berkurang drastis, ya?” Mas Rifqi menyambung obrolan.


“Iya, Mas. Ini saja dari tadi buka, baru masnya sama mbaknya ini yang beli.” Aku terdiam, lalu setelah Mas Rifqi pamit, mengikuti langkahnya ke arah tulisan MAGELANG. Duduk di antara huruf-hurufnya yang berdiri kokoh. Tak jauh darinya, patung Pangeran Diponegoro tampak gagah, dialah sang pahlawan kebanggaan Magelang. 


“Abang, padahal Pangeran Diponegoro susah payah melepaskan negeri ini, khususnya Magelang dari jerat penjajah. Tapi sekarang rakyatnya banyak yang kesulitan, ya.” Tiba-tiba kata itu keluar dari mulutku. Sebuah hal yang jarang aku bahas.


“Jadi menurutmu gimana soal keadaan sekarang?” pertanyaan Mas Rifqi memancing jiwa ceriwisku.


“Bagian mana yang harus aku komentari dulu? Soal PPKM, atau soal ekonomi yang menurun drastis?” tanyaku balik padanya.


“Ekonomi,” jawabnya singkat.


“Kasihan, itu yang pertama. Karena pastinya mereka punya banyak tanggung jawab, tapi penghasilan tidak mencukupi. Kedua, kenapa tidak mencoba berinovasi? Tidak menggantungkan hanya kepada usaha dagang kecil-kecilan? Ikut bisnis misalnya. Sekarang ini bisnis banyak, loh, di internet lihat aja.” Aku udah merasa bahwa jawabanku adalah yang terbaik. Tapi Bang Rifqi tersenyum tipis seperti menyembunyikan sesuatu.


“Lalu kalau mereka tidak punya modal? Atau ternyata bisnisnya palsu? Malah terjebak riba? Dan lain sebagainya?” duh! Mas Rifqi kenapa, sih, nanya aneh-aneh. 


“Ya..., harus belajar lagi dan harus hati-hati. Mungkin gitu,” jawabku asal meskipun sudah berpikir cukup lama.


“Belajar lagi, artinya harus ada yang ngajarin. Jadi kira-kira orang yang ngajarin itu jadi orang bermanfaat atau tidak?” aku mengangguk tegas sebagai jawaban bahwa tentu saja orang itu bermanfaat.


“Kenapa tiba-tiba Mas Rifqi nanya soal ini semua, sih? Ramah ke orang-orang juga, biasanya pelit bicara. Buat tugas skripsi?” tanyaku akhirnya. Mas Rifqi menggeleng seraya tersenyum.


“Bukan itu, tapi ini soal yang kamu curhatkan kemarin. Kamu bilang, di pondokmu lagi ada gosip tentang putri bungsunya Kyai Hashim, Ning Amira, kan? Katamu, beliau terlalu sibuk soal duniawi, bukannya dakwah malah sukanya ngomongin bisnis. Belum bisa bermanfaat untuk pondok, padahal beliau satu-satunya yang belum menikah?”


“Em, iya Mas, bahkan nih, ya, beliau bisa aja di depan laptop berjam-jam lamanya. Isinya Cuma perencanaan bisnis aja, jarang ikut acara ngaji di pondok,” kataku dengan semangat menceritakan soal Ning Amira


“Pernah enggak kamu berpikir, bahwa sebenarnya Ning Amira tidak tergoda duniawi? Tapi caranya dia mencari ridho Allah beda dari yang lain.”


“Maksudnya, Mas?” tanyaku tak paham


“Jadi gini, Aya tadi udah lihat, kan? Berapa banyak orang yang saat ini kesulitan dalam hal ekonomi mereka?” aku mengangguk mendengar Mas Rifqi.


“Bisa jadi niat Ning Amira adalah membantu mereka semua yang kesulitan, membuka lapangan kerja baru untuk orang-orang yang membutuhkan,” 


“Tapi, Kak. Orang yang terjun ke dunia bisnis itu sudah banyak, justru sedikit yang dakwah dengan sungguh-sungguh.” 


“Seberapa banyak yang terjun ke bisnis tanpa tau fikih muamalah? Sangat banyak. Seberapa banyak sekarang dengan berkedok bisnis kemudian menipu banyak orang? Terlampau banyak. Dan masih banyak lagi.”


“Em, iya sih Mas.”



“Itulah sebabnya kenapa orang yang paham agama sekarang juga harus masuk ke dunia bisnis, kedokteran dan lain-lain. Untuk memastikan tidak ada hal yang haram di dalamnya. Paham kan?” Aku mengangguk kuat.


“Yang kedua, apa hak kamu membicarakan apa yang dilakukan orang lain? Apa lagi yang kamu bicarakan adalah putri kyai-mu sendiri. Apa itu tidak mengotori hatimu? Katanya mau jadi hafidzah. Kalau dalam dirimu sering ghibah dan dipenuh suudzan, akan sulit menyimpan ayat-ayat suci dengan baik. Sebab keburukan dan kebaikan itu enggak bisa disatukan.” Nasihat Mas Rifqi menamparku, teringat betapa enggak sukanya aku pada Ning Amira, bahkan tanpa aku tabayyun atas apa yang beliau lakukan.


“Emmm okelah Mas, Aya minta maaf udah ghibah sama suudzan. Aku sekarang paham kenapa Ning Amira selalu bilang mau buka perusahaan besar, ternyata bukan untuk tujuan duniawi, tapi juga untuk jadi ladang amal,” kataku akhirnya. Aku mengakui atas kesalahan selama ini.


“Minta maafnya sama Ning Amira, bukan sama Mas. Dan bisa jadi juga, dia mengembangkan bisnis juga untuk membangun dan membantu kebutuhan pondok. Selama ini pondok Kyai Hashim kan tidak pernah ambil iuran dari santri, kan? Atau malahan, makan kamu selama ini di pondok hasil dari usahanya Ning Amira.” Aku semakin diam. Ning, maafkan Aya sudah begitu lancang menuduh njenengan tergoda sama duniawi.


Senja semakin terlihat, Mas Rifqi mengajakku ke masjid Agung Magelang. Kita melewati menara air, Mas Rifqi memintaku berhenti sejenak.


“Aya, jadi orang itu kalau bisa seperti menara air itu, dia tidak hanya terlihat megah tapi juga memberi manfaat pada banyak orang. Menjadi penyedia salah satu penyedia penopang hidup, yaitu air. Dan kalau manusia, menyediakan sumber kehidupan bisa dengan ilmu, harta, tenaga atau dengan berbuat baik pada orang lain.” Lagi-lagi aku mengangguk. 


“Kalaupun ternyata tidak bisa menjadi sehebat itu, maka tetaplah jadi seperti menara air, bukan hanya megah, tapi di dalam dirinya juga ada kebaikan dan kebersihan. Maknanya, jadilah seseorang yang mampu untuk tidak mudah hasad, iri, dengki dan suudzan pada orang lain. Milikilah hati yang senantiasa bersih dan pikiran yang tidak mudah negative thinking pada orang lain.” Mas Rifqi menggandeng tanganku menyeberang jalan. Memasuki gerbang Masjid Agung. 


Ya, harus kusadari bahwa setiap orang memiliki mimpi dan tujuannya masing-masing. Ning Amira mungkin tidak memilih jalan seperti kakak-kakaknya. Tapi sudah pasti, Kyai Hashim sama Bu Nyai merestui Ning Amira menjadi yang dia mau karena tujuan dan niat Ning Amira yang baik. Maka, aku sebagai santri tidak seharusnya  berprasangka buruk apalagi sampai meng-ghibah seperti kemarin-kemarin.


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.