Mati Rasa - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Mati Rasa

Oleh: Diana Arnita


Dalam hening malam, derai airmata tak kunjung berhenti mengalir. Isak tangis masih saja terdengar. Tanpa cahaya, duduk memeluk lutut membenamkan kepala di antaranya, menahan pilu yang dirasa. Masih teringat jelas perkataan seseorang.

“Aku benci Rania, aku tidak mau Rania menjadi menantuku, sampai matipun aku tidak suka kalau Bani memilih Rania.”

“Aku tidak suka sama Rania, dia orangnya sombong, gampang ngambek, tidak ramah.”

“Aku sebenarnya seneng kalau Bani justru sama Mia.”

Semua perkataan itu bagaikan pisau tajam yang menyayat hati. Perih. Bagaimana bisa beliau sebenci itu dengan aku, bagaimana bisa aku dibandingkan dengan temanku sendiri, dan apa sebenernya kesalahanku? Semua itu berkecamuk di dalam kepala.

Tangisku makin menjadi, takkala mengingat saat ini aku hanya sendiri. Teman-teman yang begitu aku percaya justru menghindari aku. Bahkan, mereka menyembunyikan hal itu dariku. Dan juga, Bani, pasangan aku, entah kemana, tak ada kabar. Ditelfon berkali-kali tidak menjawab, beberapa pesan yang kukirim juga tidak dibalas. Aku merasa tidak berguna, aku merasa tidak berharga, aku merasa paling hina, dan aku ingin mati saja.

Beberapa hari berlalu, semua keadaan mulai membaik. Hubunganku dengan Bani ataupun Mia juga baik-baik saja. Dengan alasan sayang, aku memaafkan Bani. Dengan alasan kasihan aku menerima dia kembali, setelah sebelumnya sudah aku akhiri hubunganku dengannya. Karena aku melihat Bani begitu kacau setelah menerima keputusanku itu. Merokok, tidak makan, begadang dan bahkan mencoba menyakiti diri sendiri.

Seiring berjalannya waktu, semua masih baik-baik saja. Sampai di suatu hari, aku melihat Bani bertemu dengan Mia. Pikiran negatif muncul dengan sendirinya. 

“Mas, kenapa kamu ketemu Mia?” tanyaku setelah aku berhasil membujuk Bani untuk ketemu di lain tempat.

“Aku gak sengaja ketemu.”

“Terus kenapa masih aja di situ kalau tahu Mia ada di sana?”

“Ya biarin lah, suka-suka aku.”

“Mas?” airmataku mulai berlinang.

“Apa? Gak usah cengeng, dikit-dikit nangis.”

“Mas, kamu mau gak sih jagain perasaan aku?” dengan airmata yang makin berlinang.

“Iya, terus aku mesti gimana? Aku gak boleh ketemu sama temen, kita ini hidup mesti bersosial, kamu gak bisa larang aku buat ketemu siapapun.”

“Iya mas, tapi kenapa harus ketemu sama Mia, tanpa sepengetahuan aku?”

“Biarin.”

“Mas, please!”

“Udah ya, aku mau pergi, aku capek terus-menerus kaya gini.”

“Mas, kamu gak kasihan sama aku?”

“Oh ya, jangan telfon aku, ataupun chat aku, aku pengen sendiri!”

“Mas, tolong dong, setelah apa yang ibu kamu bilang ke orang-orang kalau beliau benci sama aku, kalau beliau lebih milih Mia daripada aku, harusnya kamu mau buktikan kalau kamu cuma mau aku, bukan Mia.”

“Oh jadi aku yang salah?”

Aku terdiam sejenak, merasakan aliran airmata yang semakin deras membasahi pipi.

“Enggak kok mas, aku yang salah.”

“Bagus deh kalau ngerti, dah ya aku mau pergi.” Dan tanpa menoleh, dia langsung melangkah pergi.

“Mas Bani?” teriakku tapi tak ada jawaban, dan dia masih saja berjalan tanpa berhenti.

Dengan langkah gontai aku kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, aku memasuki kamar, dan duduk bersandar dinding dingin serta menatap deretan genting yang mulai menghitam karena jamur. Dengan harap aku bisa melihat Tuhan.

“Ya Allah, Rania capek, Rania pengen nyerah, apa iya aku serendah itu, apa iya aku sehina itu, salah Rania apa? Kenapa Mas Bani jahat? Kenapa aku masih saja bodoh, mengharap dia berubah, Ya Allah please hapus perasaan aku ini, hal mudah kan buat Allah. Ya Allah aku mohon, aku pengen bahagia.” Kataku lirih.

Setelah kejadian hari itu, aku tidak memiliki semangat menjalani hari-hari. Otakku rasanya kosong, hatiku masih terasa sakit. Dan setiap detik hanya teringat setiap kejadian menyakitkan. Mulai dari aku kehilangan orang yang tidak membiarkan aku menangis, lalu aku hampir dirusak oleh lelaki yang aku cintai, kemudian aku diteror, sampai akhirnya aku bertemu dengan Bani. Bani sosok yang awalnya aku percaya akan bisa menjadi pendamping sekaligus pembimbing. Namun semua berubah ketika ada seorang Mia yang kemudian merusak semua kepercayaan ku. Teringat bagaimana mereka tidur serumah, bagaimana mereka sering menghabiskan waktu bersama, bagaimana mereka begitu akrabnya sampai mengabaikan aku, dan bagaimana mereka bisa keluar dari suatu tempat dengan kondisi baju berantakan serta tatapan yang penuh hasrat. Terasa semakin sesak sampai tidak sadar keadaan sekitar mulai gelap.

Entah berapa lama aku tertidur di lantai dapur yang kotor ini, terlihat darah di ujung telunjukku. Sedari tadi aku sedang mencoba mengiris tempe untuk dimasak. Tapi karena pikiranku melayang entah kemana, alhasil jariku juga ikut teriris. Segera aku bersihkan baju dan darah di ujung telunjukku. Lalu aku mencoba menghubungi Bani, dengan harapan aku mendapatkan empati dari dia.

“Makanya lain kali hati-hati, gak usah mikir macam-macam, gitu aja lebay.”

Aku hanya terdiam mendengar jawaban dia melalui sambungan telepon.

“Oh ya, jangan telfon bisa gak? Aku lagi sibuk.”

“Oh, iya mas.” Jawabku lalu ku akhiri panggilan. 

Aku mencoba berpikir positif, oh iya ini jam sibuk. Aku yang salah sudah mengganggu. Lalu segera aku melanjutkan kegiatan memasak. 

Sepanjang hari itu, aku lalui dengan baik-baik saja sampai sore hari. Hingga aku mendapatkan kiriman video dari seorang teman. Di dalam video itu memperlihatkan Mia dan Bani sedang berada di rumahnya Mia. Mereka terlihat mengobrol. Tidak terdengar jelas isi obrolan mereka. Hatiku sakit, badanku terasa panas, tanganku gemetar, nafasku cepat dan air mataku sudah tak mampu terbendung. Segera aku hubungi Bani lewat sambungan telepon.

“Halo, Assalamualaikum, ada apa sayang?”

“Mas, kamu tadi ke rumah Mia?”

“Iya, kenapa? Gak suka?”

“Mas ngapain ke sana?”

“Main lah,”

“Mas kesana nya waktu aku telefon tadi kan, waktu mas bilang kalau lagi sibuk?”

“Iya.”

“Sibuk ngobrolin apa sih mas? Sampai gak mau aku ganggu.”

“Ada deh.”

“Mas?”

“Apa?”

“Mas masih anggap aku ini pasangan kamu gak?”

“Lha maunya kamu gimana?”

“Mas, jawab!”

“Terserah kamu, maunya gimana.”

“Mas, kalau memang mas masih menganggap aku ini pasangan kamu, harusnya mas bisa dong jagain perasaan aku.”

“Lha aku kurang jagain gimana lagi hah?” terdengar nada sedikit membentak, membuat airmataku kembali berlinang.

“Yasudah mas, udah kok, mas udah cukup jagain perasaan aku.” Jawabku pelan dengan sedikit terbata-bata.

“Udah ya, aku tuh malas sama kamu, dikit-dikit nangis, apa-apa dijadiin masalah, urusan aku itu gak cuma kamu!”

“Mas, emang hari ini aku ngerepotin kamu seberapa banyak hah? Aku juga baru telfon dua kali, kamu masih punya banyak waktu untuk urusan kamu sendiri.” 

“Udah ya, aku capek.” 

Tanpa sempat aku menjawab, dia sudah mengakhiri panggilan.

Aku terisak dalam hening magrib yang harusnya aku gunakan untuk beribadah. Rasa sesak mengalahkan niat untuk menjalankan kewajiban. Aku duduk di lantai dengan kepala aku sandarkan di tembok. Sesekali aku benamkan kepalaku diantara lutut dan dada. Dan aku peluk erat kedua lututku. Dan berkata lirih.

“Ya Allah, aku capek, aku pengen mati, kali ini aja Allah kabulin ya permintaan aku. Please Ya Allah, aku pengen mati. Aku capek.”

Perlahan aku mencoba membuat story di WhatsApp tentang apa yang aku alami sekarang. , tak ada satupun balasan dari teman-teman. 

Sesak semakin terasa, sampai aku tanpa sadar melukai diri sendiri. Dengan harapan aku bisa mati sekarang juga. Namun, sekali lagi Tuhan tidak menerima keinginanku. Sekali lagi Tuhan menyelamatkanku. Entah bagaimana bisa aku merasakan hangat, merasakan tenang, dan merasakan kekuatan ketika aku sudah lemas terkapar di lantai. Aku merasa sedang ada yang memelukku. Mungkin ini Tuhan. Aku mencoba bangkit perlahan dari kaparan. Duduk bersandar dan memandang Al-Qur’an dan mukena yang tergantung di dinding. Aku teringat. Aku masih punya Tuhan. Tuhan yang akan selalu menerima aku. Tuhan akan selalu memelukku. Tuhan tidak akan pernah meninggalkanku. Dalam keadaan lemas, aku mencoba berjalan mengambil wudhu, lalu menunaikan ibadah solat Maghrib. 

Setelah menunaikan ibadah solat Isya'. Aku duduk di sebuah kursi di depan cermin. Aku memandangi sisi demi sisi dari wajahku. 

“Aku cantik kok, aku masih pantas hidup, aku pantas dihargai. Aku punya Allah, aku punya keluarga yang tulus. Jadi, buat apa aku mati sia-sia cuma karena cowok?” Aku tersenyum dan menghela nafas. 

“Aku yakin, di kedapannya nanti bakal ada pasangan yang bisa menghargai aku dan mencintai aku tanpa mencoba untuk merusak aku.” Aku menyeka air mata yang perlahan mengalir.

“Kasihan ibu dan bapak mereka berharap banyak sama kamu Din, kuat yuk, kamu pasti bisa. Kamu hanya perlu hindarin orang-orang toxic dan mendekat dengan orang-orang yang akan membawa pengaruh positif buat kamu.” Kembali aku seka air mata yang masih saja mengalir.

“Yuk bisa yuk, kamu itu cewek pinter dan pantas dihargai.”

Sejak hari itu, aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan antara aku dan Bani. Nyatanya semua berjalan baik-baik saja.

Hari berganti bulan. Sampai akhirnya aku kembali di titik dimana aku sudah tidak merasakan sakit hati, cinta terhadap lawan jenis, atau bahkan memikirkan komentar negatif dari orang lain. Berulang kali aku meminta kematian kepada Tuhan, nyatanya dikabulkan dengan menjadi mati rasa. 

Lalu apa kabar Bani dan Mia. Entahlah mereka menjauh, atau secara sengaja justru aku yang menjauh. Entah semua terjadi tanpa sadar. Dan semua menjadi begitu asing. 

Suatu hari, tanpa sengaja aku bertemu dengan salah satu temannya Bani. Kita sedikit mengobrol.

“Eh Din, ibunya Bani kemarin bilang gini ke aku, Rania tu anaknya rajin ya ternyata.” Dan aku hanya tersenyum mendengar ucapan temanku itu.

“Rania?” Kami berdua menoleh untuk melihat siapa yang memanggil.

“Jadi ini alasan kamu kenapa mutusin aku, kamu malah berduaan sama teman aku sendiri hah?”

Aku hanya tersenyum, lalu kemudian pamit.

“Yadah, semoga aku gak ganggu kamu lagi, dan biarin aku mati sekalian.”

Aku berbalik badan, mendekat ke sumber suara, dan menatap matanya Bani dalam-dalam.

“Rania yang kamu kenal sudah mati!”

"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.