Hadiah - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Hadiah

Oleh: Yuanda Enivita Emmi Reka Amelia


Pada suatu senja, pada hari bersalju yang membuat setiap orang memakai pakaian tebal dengan jaket tebal pula, berjalanlah seorang perempuan muda berusia sekitar 25 tahun dengan wajah penuh senyum. Meski tersenyum, kenyataannya itu adalah senyum pahit. Tubuhnya menggigil karena pakaiannya yang kurang tebal. Sesekali ia menggosok-gosok tangannya dan menempelkannya pada wajahnya. Meski begitu, rasa dingin tak kunjung hilang. 


Perempuan muda itu juga mengusap-usap cincin emas yang melingkar di jari manis kanannya. Sebentar lagi ia akan sampai di Pusat Pegadaian Kota. Langkahnya semakin cepat seiring dengan derasnya salju yang jatuh dari langit.


Setelah sampai di Pusat Pegadaian Kota, perempuan muda itu langsung memasukinya dan menghampiri seorang petugas di sana. Dengan cepat, ia pun langsung mengutarakan maksudnya yang kemudian langsung diserang oleh petugas pegadaian dengan beberapa pertanyaan.


“Apa alasan Anda ingin menggadaikan cincin pernikahan ini? Bukankah ini benda yang berharga?” tanya seorang petugas pegadaian yang merupakan seorang gadis muda berusia 20 tahun.


Perempuan muda itu tersenyum tipis. “Aku ingin membeli ayam dan memanggangnya di rumah untuk makan malam dengan suamiku di malam tahun baru nanti. Aku ingin membuat kenangan berharga dengan suamiku pada malam tahun baru kali ini.”


“Dengan menggadaikan cincin pernikahan hanya demi seekor ayam?” tanya petugas itu.


Perempuan muda itu tersenyum ketir. “Ya, aku tidak punya keinginan selain itu. Apa tindakanku salah?”


Gadis muda itu menelan ludah. Ia merasa bersalah karena telah bertanya tentang hal yang sensitif. Ya, sensitif. Kota tempat mereka tinggal merupakan kota dimana para orang miskin berkumpul. Tidak semua orang dengan mudah makan ayam panggang. Tidak semua orang memiliki rumah yang besar dan hangat. Perempuan muda itu pun pasti punya alasan kenapa menggadaikan cincin emas yang berharga hanya demi seekor ayam untuk dipanggang pada malam tahun baru. 


“Baiklah, kita sepakat,” ucap gadis muda petugas pegadaian itu.


Perempuan muda itu mengangguk. “Terima kasih.”


Setelah semua urusan selesai, perempuan muda itu meninggalkan tempat pegadaian. Tujuan selanjutnya adalah pasar. Wajahnya terlihat berseri-seri setelah mendapatkan uang untuk membeli seekor ayam untuk dipanggang. Di perjalanan, lagi-lagi ia menggosokkan tangannya dan menempelkannya pada wajahnya untuk menghangatkan diri. Meski begitu, rasa dinginnya masih menetap.


Di tempat lain, seorang laki-laki muda yang telah menyelesaikan pekerjaannya terlihat tersenyum setelah atasannya memberinya uang. Ia berjalan dengan langkah yang santai di tengah lautan salju menuju sebuah toko yang menjual beraneka ragam selimut. Ia terus membayangkan wajah istrinya yang akan tersenyum manis setelah menerima hadiah tahun baru darinya.


“Aku yakin Silva akan menyukainya,” ucapnya dengan senyum merekah.


Ia pun memasuki toko kecil tersebut. Di sana, ia melihat bermacam-macam model, warna, serta ketebalan selimut. Laki-laki muda itu langsung memilih-milih mana yang cocok untuk istrinya, Silva. Di tengah kebimbangannya dalam memilih selimut, laki-laki muda itu dikejutkan oleh seorang laki-laki paruh baya yang tiba-tiba menepuk pundaknya.


“Hey, sedang mencari selimut?” tanya laki-laki paruh baya itu.


Laki-laki muda itu sedikit terkejut. Namun, wajah terkejut itu tak bertahan lama. Selang beberapa detik, wajahnya berubah menjadi jengkel. “Ya, aku ke sini untuk membeli selimut. Ini bukan toko perhiasan, bukan?”


Laki-laki paruh baya itu tertawa kecil mendengar kalimat yang penuh kejengkelan itu. Sebuah pikiran tiba-tiba datang ke dalam kepala laki-laki paruh baya tersebut.


“Apa ini hadiah untuk kekasihmu?” tanya laki-laki paruh baya tersebut pada laki-laki muda.


“Lebih tepatnya untuk istriku. Aku ingin menghadiahkan selimut sebagai hadiah tahun baru. Aku tak sabar melihat istriku tersenyum penuh kebahagiaan.”


Laki-laki paruh baya itu semakin penasaran. “Kenapa tidak membelikan jaket tebal atau sweater? Kenapa selimut?” 


Laki-laki muda itu tertawa kecil dan membuat beberapa orang di toko tersebut menoleh ke arahnya. Ia kemudian minta maaf karena telah membuat sedikit keributan. Ia pun berbisik pada laki-laki paruh baya itu.


“Selimut di rumahku sudah sangat tipis dan robek sana-sini. Jadi, aku ingin membelinya. Lagipula, jika aku memberikan hadiah berupa jaket atau sweater pada istriku, aku tidak bisa memakainya. Kalau selimut, aku bisa memakainya bersama istriku,” ucap laki-laki muda itu dengan senyum tipis.


Laki-laki paruh baya itu memasang wajah tak suka. “Bukankah itu berarti kamu tidak ingin rugi karena kamu tetap ingin memakai hadiah yang seharusnya ingin diberikan pada istrimu?”


Sekali lagi, laki-laki muda itu tertawa kecil, tapi kali ini ia menutup mulutnya untuk mencegah suaranya keluar. “Sedikit benar. Lagipula, bukankah itu romantis? Aku bahkan rela jika harus menggunakan uang bonus tahun baru dan tabungan untuk membayar sewa rumah kami hanya untuk membeli sebuah selimut yang istimewa.”


“Aku tak habis pikir dengan cara berpikirmu,” ucap laki-laki paruh baya itu, pelan.


Di sisi lain, perempuan muda itu telah memasuki pasar dan berjalan menghampiri penjual ayam. “Aku ingin membeli seekor ayam dari kiosmu. Boleh, ‘kan?” tanya perempuan muda itu.


Seorang perempuan penjual ayam yang terlihat seumuran dengan perempuan muda itu dengan cepat mengangguk. ""Tentu saja boleh, Silva. Pasti kamu ingin memanggang ayam untuk makan malam tahun baru nanti dan memakannya bersama suamimu, Gray. Kupikir itu ide yang bagus.”


Perempuan muda yang bernama Silva itu mengangguk setuju dan tertawa kecil. Tawa kecilnya terlihat sangat bahagia. “Ya, terakhir kali aku makan ayam panggang sepertinya sekitar tiga tahun yang lalu,” ucapnya pelan sambil tersenyum.


Perempuan penjual ayam itu segera menyiapkan ayam pesanan perempuan muda bernama Silva itu. Setelah semuanya selesai, ia pun memberikannya pada Silva. Silva juga langsung menyerahkan uang pada perempuan penjual ayam tersebut.


Setelah menghitung uang dari Silva, perempuan penjual ayam itu mengembalikan beberapa lembar uangnya. “Aku memberimu diskon karena kamu sahabatku,” ucapnya sambil tersenyum.


Mendengar hal itu, Silva tersenyum penuh kebahagiaan sambil mengambil uang yang diberikan sahabatnya yang merupakan penjual ayam itu. “Terima kasih. Kamu baik sekali, Aria.”


Setelah urusannya telah selesai, Silva menuju kios tempat sayur dan buah dijual. Ia membeli beberapa macam sayur dan banyak buah segar. 


“Aku akan membuat ayam panggang yang lezat dilengkapi sayur yang menyehatkan. Aku juga akan membuat salad buah yang enak. Aku tak sabar melihat wajah gembira Gray,” ucap Silva dengan wajah berseri-seri.


Setelah dirasa cukup, Silva keluar dari pasar dan hendak pulang. Sebentar lagi malam tiba. Silva melangkah dengan cepat agar ia pulang tepat waktu dan dapat segera memanggang ayamnya. Namun, di tengah perjalanannya menuju rumah tercintanya, seekor anjing yang sangat kurus mencuri tas belanjanya. Silva yang mengetahui bahwa tas belanja yang dicuri tersebut merupakan tempat dimana ayam berada, langsung berlari mengejar anjing tersebut.


Terjadi kejar-kejaran antara Silva dan anjing tersebut. Di tengah hujan salju, Silva berlari dengan napas terengah-engah. Dingin menusuk tulangnya dan membuatnya batuk beberapa kali. Wajahnya pucat. Anjing itu, terlihat cukup hebat untuk mempermainkan Silva. Anjing kurus itu menggiring Silva untuk berlari berkeliling kota. 


“Aku tak akan menyerah!” tekad Silva.


Silva sadar bahwa kemampuan fisiknya sangat lemah. Ia tak bisa berlari terlalu cepat dan lama. Ia harus berhenti beberapa kali untuk mengatur napasnya. Melihat Silva yang kelelahan, anjing kurus itu dengan cerdas langsung berlari kencang agar Silva kehilangan jejaknya.


“Dia cukup pintar. Meski begitu, sebagai manusia, aku tak akan kalah dari seekor anjing yang mencuri ayam yang didapat dari menggadaikan cincin pernikahan.”


Di sisi lain, laki-laki muda bernama Gray itu telah menemukan sebuah selimut yang cocok untuk hadiah tahun baru yang akan ia berikan pada istrinya nanti. Ia segera menuju kasir dan hendak membayarnya. Di sana, ia cukup terkejut saat mengetahui bahwa harga selimut itu kurang lebih sama dengan harga sewa rumahnya selama tiga bulan. Ia melihat uangnya. Di tangannya saat ini, terdapat uang tabungan untuk membayar sewa rumah sampai dua bulan ke depan, yang artinya uangnya masih tak cukup untuk membeli selimut meskipun harus mengorbankan tabungan dua bulan sewa rumahnya. Ia mulai menghitung uang bonus tahun baru dari atasannya. Setelah ditotal, uangnya telah cukup untuk membeli selimut itu. 


Gray dilema. Ia harus berpikir beberapa langkah ke depan. Misalnya, jika ia membeli selimut itu, ia akan kehilangan uang bonus tahun baru yang seharusnya ia gunakan untuk kebutuhan mendesak dan ia juga harus kehilangan tabungan seharga dua bulan sewa rumah. Namun, di sisi lain, ia juga membayangkan wajah istri cantiknya yang semakin cantik saat menerima hadiah tahun baru darinya. Ia berada dalam keputusan yang membingungkan. Selain bayangan istri cantiknya yang terlihat bahagia, ia juga kembali diingatkan pada wajah istrinya yang pucat kedinginan saat tidur karena selimut rumahnya telah robek sana-sini dan menjadi tipis. 


Maka dari itu, ia telah memutuskan pilihannya. Ia pun membeli selimut itu dengan mengorbankan masa depannya selama dua bulan. Masalah ia tak bisa membayar sewa rumahnya adalah masalah nanti. Semua bisa dipikirkan nanti. 


“Aku akan lakukan apa pun demi kebahagiaan istriku. Bahkan aku akan mengorbankan jiwaku jika itu diperlukan,” ucapnya pelan.


Gray tak membutuhkan tas untuk menaruh selimut itu. Ia memakai selimut itu seperti memakai jubah. Ia akan pulang sebagai Superman bagi istrinya, sekaligus untuk melindungi dirinya dari dinginnya salju.


Angin menyambutnya kuat-kuat diiringi dengan salju yang deras dari langit. Meski begitu, Gray terus tersenyum bahagia dan bahkan melompat-lompat. Lompatannya kian lama kian tinggi. Beberapa orang yang melihat Gray melompat-lompat merasa heran. Gray sendiri tak peduli. Kebahagiannya adalah miliknya dan ia berhak melakukan apa pun yang membuat dirinya bahagia. Ia terlihat seperti seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang tak sabar melihat wajah bahagia ibunya saat diberi hadiah, tapi kenyataannya Gray telah berusia 26 tahun.


Pada lompatan ke-25, Gray tersandung karena sebuah batu yang tertutup salju. Ia terjatuh. Secara kebetulan, saat Gray terjatuh, angin bertiup begitu kencang dan membuat selimutnya  terbang. Gray langsung berdiri dan mengejar selimut itu. Namun, langkahnya kecil karena kakinya terluka akibat terjatuh. Dia berteriak kencang sambil berlari mengejar selimut yang terbang bebas itu.


Sekuat apa pun Gray mencoba  mengejar selimut itu, takdir berkata lain. Ia benar-benar kehilangan selimut istimewanya. Yang lebih parah lagi adalah ia akan kehilangan senyum istrinya yang cantik. Ia berteriak di tempatnya berdiri dan membuat beberapa orang takut dan memilih menghindari Gray.


Gray akhirnya pulang. Ia berjalan terseok-seok. Lututnya perih, begitu juga dengan hatinya. Ia berjalan dengan wajah yang terus menunduk. Ia terus menyalahkan kebodohan dirinya. Namun, seratus, seribu, bahkan sejuta kali ia menyalahkan dirinya, masa lalu tak akan kembali agar ia dapat memperbaikinya. 


Tanpa disadari, Gray telah sampai di depan rumahnya. Betapa terkejutnya ia saat melihat istri cantiknya juga berdiri di depan rumah mereka. Mereka saling bertatapan untuk beberapa saat. Silva melihat wajah suaminya yang penuh dengan keputusasaan, sedangkan Gray melihat wajah istrinya yang penuh dengan ketidakberdayaan.


“Hai,” ucap Gray dengan kikuk.


“Hai juga,” balas Silva malu-malu.


Gray membuka pintu rumahnya dan mempersilakan Silva masuk terlebih dahulu. Mereka memasuki rumah kecil mereka. Tidak, itu bukan rumah mereka. Mereka hanya menyewanya dan membayar sewa tiap bulan. Silva melihat Gray yang berjalan terseok-seok.


“Kakimu terluka?” tanya Silva.


“Ya,” jawab Gray.


Silva, sebagai seorang istri yang baik, langsung membersihkan luka suaminya. Gray melihat wajah Silva dan merasa bersalah. Selama mereka menikah, tak pernah sekali pun ia memberikan sesuatu yang berharga bagi istrinya. Pertama kali ia memberi hadiah untuk istrinya, yaitu hari ini, ia malah kehilangan keduanya. Ia kehilangan tabungannya dan juga kebahagiaan istrinya yang telah ia mimpikan.


Gray terus memandang istrinya. Kemudian, pandangannya semakin turun dan kini ia melihat jari manis lentik istrinya dan menyadari sesuatu yang hilang dari sana.


“Kenapa kamu melepas cincin pernikahan yang kuberikan?” tanya Gray.


Mendengar pertanyaan Gray, Silva terkejut. Ia langsung berhenti membersihkan luka Gray dan menunduk. “Maaf, aku menggadaikannya.”


Kali ini, Gray yang terkejut. “Menggadaikannya? Kenapa? Apa ada keperluan mendesak?” tanya Gray.


Silva menggeleng. “Aku berniat membuat ayam panggang untukmu. Jadi, aku menggadaikan cincin pernikahan untuk membelinya,” ucap Silva penuh kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa cukup bodoh saat mengingat perbuatannya sendiri.


“Berarti kita akan makan ayam panggang malam ini?”


Gray sedikit lega. Bukan karena menu makan malamnya adalah ayam panggang, melainkan istrinya ternyata juga memikirkan apa yang diinginkan Gray. Namun, itu bukan rasa lega yang adil mengingat apa yang terjadi pada Gray dan selimut istimewanya.


“Tidak. Ada seekor anjing kurus yang mencuri ayamnya. Aku mengejarnya susah payah. Ternyata, anjing kurus itu mencuri ayamku karena ingin memberi anak-anaknya makan. Akhirnya, aku pulang tanpa berharap ayam itu dapat kembali ke tanganku.”


Hening. Tak ada lagi yang dapat diucapkan. Situasi Silva dirasa serba salah. Ia belum memiliki anak. Meski begitu, ia tahu perasaan ibu anjing yang berusaha mencari makan untuk anak-anaknya. 


Silva terlihat sedih dan menunduk. Gray kemudian mencubit pipi istrinya. “Tak apa. Aku tak akan mati hanya karena tak makan ayam panggang. Lagipula, kamu bisa memasak makanan yang lebih nikmat daripada ayam panggang, bukan? Jangan bersedih!”


Silva mengangguk. Ia kemudian mengingat bahwa suaminya selalu mendapatkan bonus dari atasannya setiap tanggal 31 Desember, bonus tahun baru. “Lalu, bagaimana dengan bonus tahun barumu?”


Seketika itu juga, Gray membatu. Ia bingung harus mengatakan apa, tapi ia harus jujur pada istrinya.


“Maaf, aku berniat membeli selimut sebagai hadiah tahun baru untukmu. Selimut itu seharga bonus tahun baruku dan juga dua bulan sewa rumah kita. Aku menghabiskan uang sebanyak itu untuk membeli selimut yang akan kuhadiahkan untukmu. Akan tetapi, di tengah perjalanan, angin bertiup kencang dan selimut itu terbang bebas entah kemana,” ucap Gray yang saat ini memasang wajah sedih bercampur kecewa.


Silva dan Gray saling bertatapan. Entah kenapa, mereka mengalami situasi yang menyedihkan. Masing-masing dari mereka membuang harta berharga mereka untuk memberi hadiah bagi pasangan masing-masing. Namun, semuanya berakhir menyedihkan. Sepasang suami-istri itu tiba-tiba tertawa. Mereka melimpahkan segala keluh kesah mereka dengan tawa. Silva tertawa sampai air matanya mengalir deras. Gray tertawa sampai melupakan rasa sakit pada lututnya.


“Betapa bodohnya kita,” ucap Silva sambil menepuk pundak Gray. Ia masih tertawa keras.


“Ya, kurasa kita adalah pasangan bodoh yang romantis,” ucap Gray sambil mengusap pipi Silva yang memerah karena tawa dan tangisan."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.