ALPHA BOY - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 "ALPHA BOY


A Story By ; Umi Khoiriyah


Satria, nama yang orang tuaku berikan padaku 17 tahun yang lalu. Aku tidak tau apa yang membuat kedua orang tuaku memberikan nama Satria padaku. Tapi kata mereka, nama itu adalah do'a dan harapan. Mereka berharap, Aku bisa menjadi sosok yang kuat dan tangguh dalam menghadapi kehidupan dimasa depan. 

Kisah ini terjadi lima tahun yang lalu, tepatnya saat Aku masih duduk di bangku SMA. Kata orang, masa SMA adalah masa-masa yang menyenangkan, dan Aku membenarkan itu. Karena masa SMA ku lebih menyenangkan dari yang orang katakan. 

Pagi itu Aku sedang berjalan di lorong kelas dengan membawa tumpukan buku. Jabatanku sebagai ketua kelas membuatku harus berangkat lebih pagi karena banyaknya hal yang harus dikerjakan.  Kalau pagi, lorong masih sepi, dan Aku pun bisa bergerak leluasa tanpa harus mengganggu orang lain. Aku berjalan cepat, sampai tidak menyadari kalau didepanku ada orang. Entah siapa yang menabrak lebih dulu, yang jelas hal itu berhasil membuat tumpukan buku yang ada ditanganku berantakan. 

""Eh, sorry,"" kata orang itu.  

Aku hanya mengangguk, merapihkan tumpukan buku yang jatuh berserakan, lalu buru-buru pergi. Orang itu sempat ingin membantuku, tapi Aku melarangnya.

Dialah Ara, teman sekelasku yang akhir-akhir ini selalu mencuri perhatianku. Aku berjalan dengan terburu-buru, dengan sesekali melirik gesit kebelakang untuk memastikan apakah Ara masih berada di tempat itu atau sudah pergi.  Ternyata Ara masih berdiri mematung di tempat itu, ia melihat ke arahku. Jantung ini berdebar lebih cepat dari biasanya, rasanya seperti akan copot. Jika bisa Aku bicara, Aku ingin meminta Ara untuk berhenti melihat ke arahku, agar jantungku bisa kembali berfungsi seperti semula. 

""Kamu kenapa, Sat?"" tanya Jordan. 

Aku melihat ke arah belakang, dan sialnya Ara masih berdiri ditempat yang sama dan masih melihat ke arahku. 

Jordan pun ikut melihat kebelakangku. Jordan adalah sahabatku, Aku dan Jordan selalu sekolah disekolah yang sama sejak SD. Banyak hal yang Jordan tau tentangku, dan banyak hal pula yang Aku tau tentang Jordan. 

""Kamu kenapa sih? Habis lihat Ara kayak habis lihat hantu. Ara itu udah seperti bidadari Sat, enggak ada serem-seremnya,"" kata Jordan setelah tau kalau Aku tergesa-gesa karena ada Ara dibelakangku. 

""Aku enggak tau, kalau habis lihat Ara, atau berada di dekatnya rasanya berbeda aja,"" jawabku.  

""Kamu suka kali sama Ara,"" kata Jordan.

Suka dengan Ara? Bahkan Aku belum pernah membayangkan ataupun berpikir kalau Aku akan suka dengan Ara. Tapi memang ada rasa yang berdeda jika aku berjumpa ataupun berada di dekat Ara. Apa benar Aku menyukainya? Rasanya sangat sulit untuk jujur dengan diri sendiri. 

""Ara itu orangnya baik, dia good attitude, pintar, dan bonusnya dia juga cantik. Kalau menurutku itu udah perfect. Jadi, kalau kamu suka sama Ara, buruan diungkapkan, sebelum keduluan orang,"" kata Jordan. ""Kalau kamu memang suka sama Ara, ungkapkan di moment yang tepat, untuk sekarang lakukan pendekatan aja ke Ara,"" lanjut Jordan.

""Gimana Aku mau melakukan pendekatan, kalau berada di dekatnya aja jantungku rasanya seperti mau copot, Aku enggak kuat,"" jawabku.

""Kamu itu seorang kapten basket Sat, jangan seperti orang yang baru pertama kali jatuh cinta, lakukan permainan kamu dengan baik, sebelum bolamu direbut pemain lawan,"" kata Jordan. 

Aku pun terus berusaha untuk mengumpulkan kepercayaan diri. Hingga akhirnya moment yang tepat itu tiba. 

Pagi ini, seluruh siswa kelas dua belas mengenakan kostum terbaik mereka. Iya, hari ini adalah hari perpisahan kelas dua belas, Satria merasa ini adalah moment yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya kepada Ara. 

Satria mengenakan setelah jas dan celana bahan dasar berwarna hitam, dengan kemeja putih, dasi hitam, dan sepatu pantofel. Sesampainya di tempat acara, ia mengedarkan pandangan. Ia mencari sosok Ara. Hingga akhirnya ia menemukannya sedang bercengkrama bersama sahabatnya. 

Ara mengenakan kebaya berwarna Lylac, dengan bawahan batik, serta sepatu dengan high hiels setinggi 5 cm. Ia terlihat semakin menawan dengan polesan make up tipis diwajahnya, yang membuat kecantikannya semakin terlihat natural. Ia juga menjinjing tas yang terlihat matching dengan pakaiannya. Iya. Ara terlihat sangat cantik hari ini. 

Aku terus saja mengamati Ara dari kejauhan, hingga tanpa sadar Ara menyadari kehadiranku. Tidak ku duga, Ara berjalan mengampiri ku dan menyapaku. Jantungku pun mulai berfungsi tidak normal. Aku hanya berdo'a semoga Ara tidak mendengar jantungku yang berdenyut kencang ini. 

Ara menyapaku dengan hangat, dan Aku tidak memiliki jawaban lain selain anggukan dan senyuman. Entah apa yang membuatku begitu salah tingkah setiap kali berada didekat Ara. Dan ini sangat menyebalkan!.

""Jordan bilang, kamu mau ngomong sesuatu, soal apa?"" tanya Ara memulai pembicaraan yang lain. 

Aku mengernyitkan dahiku. Aku pun mengedarkan pandanganku kesekitar, mencari Jordan. Tak lama setelah itu, Aku menemukan Jordan sedang bersama dengan teman-teman lain. Menyadari mataku yang melihat dengan awas ke arahnya, ia lantas mengangkat kedua jempolnya seraya tersenyum. 

Satu hari sebelum acara perpisahan ini, Aku memang sempat berbicara dengan Jordan, kalau Aku ingin mengungkapkan perasaanku kepada Ara. Jordan memang tidak bisa menjaga rahasia. Jangan-jangan dia juga sudah mengatakan kalau Aku menyukai Ara. Batinku menggerutu karena kesal. Aku hampir saja melupakan sosok Ara yang sedang menanti jawabanku. 

""Enggak ada yang ingin Aku bicarakan kok. Jordan emang reseh orangnya, dia cuma mengada-ngada,"" kataku. 

""Oh gitu ya, Aku kira benar, ada hal penting yang ingin kamu bicarakan,"" kata Ara. 

Aku hanya menggelengkan kepalaku seraya tersenyum. 

Ara berlalu. Ia terlihat kecewa. 

*

Satu minggu setelah acara perpisahan itu, Aku mendengar kabar kalau Ara pergi keluar kota untuk kuliah disana. Aku mulai berada dalam dilema. Hingga akhirnya Aku memutuskan untuk menyusul Ara ke luar kota. Bahkan Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri, kalau nantinya Aku bertemu dengan Ara, Aku akan langsung mengungkapkan perasaan yang selama ini ku pendam. 

Satu hari setelah Aku mengambil keputusan itu, akhirnya Aku sampai di luar kota. Aku pun memulai pencarian, namun hasilnya nihil. Setelah hampir satu bulan Aku bertahan, akhirnya Aku menyerah, karena budgetku yang semakin menipis untuk bertahan hidup. Aku pun memutuskan untuk pulang. Aku mulai ikhlas. Hingga akhirnya Aku pun memutuskan untuk melupakan Ara. Bukan perkara yang mudah memang. Apalagi Ara adalah sosok yang berkesan bagiku. 

Waktu terus berjalan, dengan kesibukanku kuliah dan bekerja, secara perlahan Aku mulai bisa melupakan Ara. Hingga empat tahun berlalu, Aku kembali mendengar kabar, kalau Ara akan menikah dengan orang luar kota. Awalnya Aku biasa saja, karena Aku berpikir sudah bisa melupakan Ara. Namun, hati memang tidak bisa dibohongi, dan kesan yang tertinggal memang tidak bisa dihapus begitu saja. Iya, Aku kecewa dengan diriku sendiri, yang selalu tidak bisa berkutik dihadapan Ara. Hingga akhirnya Ara pun menjadi milik orang lain. Penyelasan memang selalu datang diakhir.

*

Seketika Aku menghentikan jariku yang sedang menari diatas keyboard saat Jordan menyebut nama Ara di telepon. Nama itu masih meninggalkan kesan yang tidak akan pernah bisa dihapuskan. Aku mematikan telepon, maraih kunci motor, lalu bergegas pergi menemui Jordan. Karena ia berjanji akan memberikan kabar terbaru tentang Ara. Sesampinya di lokasi, Aku langsung mengedarkan pandangan. Aku melihat Jordan yang sedang duduk di sudut Caffe melambaikan tangan ke arahku. Aku pun langsung berjalan menghampirinya. 

""Kabar penting apa yang ingin kamu sampaikan tentang Ara?"" tanyaku tidak sabar. 

""Kamu ingat, beberapa tahun yang lalu, ada kabar kalau Ara menikah. Aku mendengar kabar lagi, kalau suaminya Ara meninggal karena sakit,"" kata Jordan. 

Aku terdiam. Aku masih belum paham, apa maksud Jordan mengatakan hal ini padaku. 

""Aku tau, dibalik sifat kamu yang seolah enggak peduli, kamu masih memiliki harapan yang besar kepada Ara,"" kata Jordan. ""Ini alamat Ara, silakan kamu kunjungi rumahnya. Jodoh itu enggak ada yang tau, kamu masih diberikan kesempatan untuk memperjuangkan Ara, gunakan kesempatan itu dengan baik, jangan sampai bola kamu di rebut lawan lagi,"" kata Jordan seraya menyodorkan lembaran kertas padaku.

Aku menerimanya, sekilas membaca lalu mengangguk. 

Keesokan harinya, Aku langsung pergi mencari alamat yang Jordan berikan padaku. Bukan perkara yang mudah mencari alamat itu. Bahkan Aku sempat berpikir kalau Jordan membohongiku. Namun, Aku menepis jauh-jauh pikiran itu, saat Aku mengetuk salah satu pintu rumah, dan yang membukakan pintu itu adalah Ara. Aku mengira kalau Ara sudah lupa denganku, namun perkiraanku salah, dia menyapa ku dengan hangat dan masih mengenal baik wajahku. 

""Ada apa kamu jauh-jauh kesini, Sat?"" tanya Ara setelah kami terlibat banyak obrolan. 

""Mungkin kalau boleh Aku jujur, Aku adalah manusia terpayah di dunia yang dengan bodohnya menyia-nyiakan kesempatan. Jabatanku sebagai ketua tim basket dulu saat SMA sempat diragukan, saat tim lawan berhasil merebut bolaku. Dan kali ini Aku enggak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi. Dari dulu Aku ingin mengatakan kalau Aku suka sama kamu, tapi Aku kurang percaya diri, hingga akhirnya kamu pergi, Aku sempat mencarimu, tapi takdir belum berpihak kepadaku,"" kataku. 

""Maksud kamu apa, Sat?"" tanya Ara. 

""Apa kamu mau menjadi istriku?"" tanya Satria. 

""Kamu bercanda?"" tanya Ara. 

Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aku berusaha meyakinkan Ara, kalau Aku serius. 

""Tapi Aku udah menjadi janda, Sat. Suamiku meninggal satu bulan yang lalu karena sakit, dan kami memang belum dikaruniai keturunan,"" kata Ara. 

""Aku enggak dengan peduli status kamu. Kamu tetap Ara yang Aku kenal dulu,"" jawabku. 

""Jika kamu memang serius dengan perkataan kamu, nikahi Aku setelah 40 hari kepergian suamiku,"" kata Ara. 

Aku hanya mengangguk mantap seraya tersenyum.

Hari yang ditunggu pun tiba, setelah pertemuan keluarga dan semua sepakat, Aku dan Ara pun melangsungkan akad. Suasana haru terasa saat kata sah diucapkan oleh saksi. Meskipun ada rasa penyesalan, kenapa Aku baru malakukan semua ini dari sekarang? Aku tidak pernah membayangkan, bagaimana persaan Ara saat itu. 

Aku Satria, sebenarnya Aku adalah orang yang percaya diri. Aku selalu tau apa yang Aku inginkan, dan apa yang ingin Aku lakukan, tetapi tidak dalam perihal cinta, Aku membutuhkan waktu yang lama untuk percaya diri, dan tau apa yang Aku inginkan, dan apa yang ingin Aku lakukan. 

Seusai kata sah diucapakan oleh saksi, dan penghulu membacakan do'a. Ara mencium tanganku, dan Aku membalas dengan mencium keningnya. 

Oh, Ara, kenapa Aku tidak melakukannya dari dulu?."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.