https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
"Nama : Adek Al Zihan Khairani
Judul Cerpen: Perfect Islam
""Sholat tarawih tidak dilaksanakan secara berjama'ah di Masjid, melainkan di rumah masing-masing."" Semua masyarakat merasa sedih mendengarkan pengumuman dari toa Masjid. Tidak ada punggahan, yakni acara makan bersama-sama yang dihadiri oleh seluruh masyarakat di Masjid untuk menjalin silaturahmi antar sesama muslim dan juga meminta maaf dalam menyambut bulan suci ramadhan yang sudah di depan mata. Bulan yang penuh berkah dan kemuliaan. Namun, ramadhan kali ini berbeda dari sebelumnya.
Terik panas matahari mulai naik berada di atas kepala ku. Aku menatap Masjid. Rumah ini tepat berada di depan Masjid, sehingga aku dapat melihatnya dengan bebas. Beberapa tanda silang pada ubin keramik di dalam Masjid dipasang, guna memberitahu bahwa sholatnya harus menjaga jarak. Ditambah lagi seluruh jama'ah harus memakai masker ketika sholat dan harus membawa sajadah sendiri dari rumah. Aku berharap desa ini akan melaksanakan taraweh berjama'ah. Namun, masa pandemi yang belum berakhir membuat masyarakat getir. Satu, dua, dan tiga langkah mulai menuju Masjid. Beberapa jama'ah dapat dihitung jumlahnya dengan jari tangan ku. Lalu aku ikut mengambil air wudhu untuk sholat zuhur. Hanya sholat wajib saja yang boleh dilaksanakan dan sholat jum'at. Selesai mereka salam, aku melemparkan pandanganku ke arah depan. Seseorang telah memperhatikanku dari pintu yang terbuat dari kaca sebagai pembatas antara pria dan wanita. Sentak ia memalingkan wajahnya ke arah temannya. Berpura-pura berbicara secara berbisik. Aku segera menunduk dan merasa terpojok. Mungkin penampilan ku yang berbeda dengan para jama'ah menjadi sorotan banyak mata. Setelah mereka do'a, aku menyalami para jama'ah wanita yang lebih tua atau sebaya dengan ku. Kemudian aku pulang bersama sahabat ku.
****
Dua puluh hari sebelum ramadhan, aku menghabiskan waktu satu minggu di sebuah panti asuhan untuk menyalurkan tenaga ku secara cuma-cuma. Aku membuat agenda yang bermanfaat untuk mereka. Terlebih lagi mereka juga menghargaiku meski ada perbedaan diantara kami. Setelah sholat ashar, aku mengajak anak-anak panti asuhan untuk bermain di taman. Kami bermain tebak kata dengan mempergayakan sesuatu yang akan dimaksud. Anak-anak itu sangat senang hingga air matanya juga ikut jatuh. Melihat hal itu, teman-temannya meledeknya.
""Hahaha Kaira sangat cengeng sekali."" ledek mereka dengan kompak mengatakannya. Kaira menyangkalnya. Cepat-cepat ia sembunyi dibelakang ku. Ekspresinya sungguh menggelikan. Akupun mencoba untuk membela Kaira agar tidak merasa terpojokkan.
""Sudah, sudah, teman-teman. Kaira ini tidak cengeng melainkan dia terlalu bahagia hingga air matanya jatuh."" kata ku sembari menekuk kedua kaki ku agar berdiri setara dengan mereka.
""Jadi, jika kita terlalu bahagia kita akan menangis yah, teman?"" tanya salah satu anak laki-laki yang memanggil ku, teman. Aku tersenyum dan mengangguk.
""Kalau begitu, aku tidak mau bahagia. Nanti dikira cengeng seperti... "" sahutnya lagi. Aku langsung memotong kalimatnya.
""Kalian harus bahagia, tidak semua air mata menjadi simbol kesedihan. Kalau kalian tidak mau bahagia, lalu bagaimana aku bisa bahagia? kata ku. Mereka semua tertawa dan memeluk ku.
""Shreya, ada yang ingin bertemu."" suara itu membuat ku harus melepaskan pelukan anak-anak. Aku mendongak ke atas. Ternyata Afsyah, sahabat ku yang selalu ada untuk ku hingga mengizinkan ku tinggal di rumahnya.
""Iyah, Syah. Siapa?"" tanyaku sembari merapikan rambut ku yang berhamburan karena tidak terikat.
""Adik kamu, Shreya."" jawabnya. Aku segera pamit kepada teman-teman kecil ku dan menyuruh Afsyah untuk menemani mereka bermain. Aku menemui Adikku yang sudah menunggu di ruangan sekretariat.
""Hei Dik."" sapa ku, langsung duduk di hadapannya. Dia melihat ku dengan menautkan kedua alisnya. Aku membalas dengan senyuman.
""Ada apa?"" tanya ku.
""Ayo pulang, kak!"" katanya.
""Pulang? Kakak tidak mempunyai rumah sejak,,,"" aku memberhentikan kalimat ku. Tak tahan jika harus membuat wajah cantik ku dihiasi oleh bulir-bulir air mata. Setiap mengingatnya seolah dilempari mata pisau dari depan atau anak panah.
""Lupakan, Kak. Mari pulang.""
""Kakak tidak punya rumah melainkan rumah itu kakak buat dengan karakter kakak sendiri yang membuat kakak lebih bahagia daripada rumah yang terbuat dari bahan megah."" jawab ku. Adik ku mendekat dan memeluk ku dari belakang. Bahuku terasa basah saat dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Isak tangisnya mulai terdengar tetapi dia mencoba menahannya.
""Adik ku, kok cengeng amat sih, Dik?"" tanyaku untuk menetralkan suasana.
""Aku sakit hati Kak,"" jawabnya.
""Adik sakit hati karena Kakak nggak mau pulang? Maafin Kakak yah."" kata ku, mengelus kepalanya dan melepaskan pelukannya sembari meletakan kedua telapak tanganku ke wajahnya untuk menghapus air mata.
""Bukan. Sebenarnya kemari cuma ingin nangis aja."" jawabnya sambil mengusap air mata. ""Gebetanku lebih memilih pria yang seiman dengannya. Aku tidak tahu harus berbuat apa, Kak... "" katanya. Aku menelan air ludah, tidak tahu nasihat apa yang harus ku katakan.
""Apakah perbedaan tidak bisa menyatukan kami?"" tanyanya. Aku hanya memeluk erat tubuh Adikku yang malang sembari berbisik kepadanya, ""Kalau cinta maka harus ada pengorbanan,"" Adikku langsung mengerti dan tidak mau mengambil resiko.
""Kalau tidak bisa berkorban berarti tidak mencintai. Mungkin sebatas mengagumi, Dik. Lupakan! Dia bukan jodoh mu."" hanya kalimat itu yang dapat ku katakan padanya. Dia pun sedikit lega dan pamit pulang tanpa membawaku.
****
Dua hari kemudian, aku dan Afsyah pulang ke rumahnya. Tak lupa aku membelikan buah tangan untuk keluarga Afsyah. Sampai di rumah. Aku melihat rumah Afsyah sangat ramai karena beberapa sanak keluarganya datang untuk melaksanakan punggahan khusus keluarga mereka saja dengan menjaga jarak. Merasa tak pantas diantara mereka, aku memilih ke kamar merebahkan tubuhku di ranjang. Menutup netra ku dengan perlahan.
""Shrey... "" panggil Afsyah.
""Saya, Syah?"" jawab ku meskipun mata masih tertutup.
""Ayolah ikut makan bersama kami,"" katanya. Aku langsung bangkit.
""Ini kamu pakai pashmina, terserah mau dikasih jarum atau hanya sekedar menutup rambut mu. Aku tunggu yah."" ajaknya.
""Tapi, "" kataku.
""Kamu kan bagian dari keluarga ku juga."" katanya. Aku langsung tersentuh mendengar kalimat sahabat ku yang baik sekali.
Selesai punggahan, sanak keluarga Afsyah berpulangan dan tinggallah aku, Afsyah, Kedua orang tuanya serta kedua kakak Afsyah. Kami msuk ke dalam kamar masing-masing untuk beristirahat.
****
Hati ini merasa tenang dan ikut bahagia menyambut kedatangan bulan suci ramadhan. Tiga tahun aku berada disini dan hanya memperhatikan mereka berbuka puasa saja. Tidak pernah ikut berpuasa. Kedua orang tua Afsyah sering bertanya kepada ku, ""Kapan kamu bisa buka dan sahur bersama kami?"" Aku hanya tersenyum. Belum ada keyakinan untuk menjadi mualaf. Aku sendiri tidak tahu siapa kedua orang tua ku dan apa agamanya. Aku hanyalah anak yang ditemukan di depan gerbang Gereja. Lalu diangkat, kemudian dicampakkan saat aku menolak perjodohan di usia dini. Sejak saat itu aku mengetahui tentang status ku di rumah mami dan papi 'hanya sebatas anak angkat', begitulah katanya. Tetapi Adik laki-laki ku sangat menyayangi ku.
Sampai tiba di titik yang memantapkan hati ini untuk memeluk agama Islam secara lahir maupun batin. Tiga hari sebelum puasa aku telah sah menjadi seorang mualaf dan muslimah. Namaku diganti menjadi Shoraya Atiqoh. Beberapa keluarga mami dan papi sudah tidak peduli lagi kepadaku. Adik laki-laki ku selalu bertanya, 'apakah aku benar-benar yakin untuk mencintai Allah? atau hanya berkorban demi cinta seorang pria muslim?' aku langsung menyangkalnya. Tak pernah terbesit untuk merubah keyakinan hanya demi seorang pria melainkan karena-Nya. Hari-hari kusibukkan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Sholat tarawih pertama ku mengenakan mukenah di dalam rumah bersama keluarga Afsyah sungguh khusuk. Terasa damai. Pada malam itu, kami kedatangan tamu keluarga Kiai besar. Aku melihat pemuda yang selalu memperhatikan ku saat menemani Afsyah sholat wajib di Masjid saat aku masih nasrani. Dia adalah Sabda, anak dari Kiai Hasyim. Aku menelan ludah melihat ketampanannya. Afsyah mencubit lenganku. Aku mengerti apa maksudnya. Hanyaku balas dengan senyuman. Kedatangan keluarga Kiai itu hendak melamar. Aku langsung melihat Afsyah. Karena hanya Afsyah yang belum menikah. Kedua kakaknya sudah menikah.
""Saya ingin melamar Shoraya."" kata Sabda sembari melirikku. Netraku langsung membulat sempurna. Afsyah memelukku dengan erat dan berbisik di telingaku, ""MasyaAllah sahabat ku,,, Allah ingin ada yang menjaga keistiqomahan mu lewat lamaran bang Sabda. Barakallah. Bang Sabda juga nunggu kamu islam."" Kedua orang tua Afsyah menanyakan apakah aku mau atau tidak menerima lamaran ini.
""Ta... ta... tapi,,, sss... saya seorang mualaf. Afwan bang, saya tidak mengenal islam terlalu dalam dan tak pantas rasanya dinikahi oleh seorang anak Kiai yang lebih suci."" tolakku dengan gugup sembari menundukkan kepala ku.
""MasyaAllah... dengan menikahlah InsyaAllah kamu dapat menyempurnakan Islammu di bulan ramadhan ini."" jawab Abi Sabda.
""Apakah seorang mualaf tidak boleh menikah dengan anak Kiai, Ukh?"" tanya bang Sabda. Aku hanya diam. Aku tidak mengenal islam seperti mereka. Umur ku memeluk agama islam baru empat hari. Mengapa secepat ini aku dilamar untuk menjadi seorang istri anak Kiai. Sementara, aku hanya mengetahui arti takwa, mengerjakan sholat lima waktu, puasa dan sholat tarawih. Mereka menunggu jawabanku.
""InsyaAllah, kita sama-sama belajar mengenal Islam lebih dekat serta mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Jadi apakah kamu mau menjadi surga untuk anak-anak kita nanti?"" katanya yang membuat ku tersenyum. Bulir-bulir air mata telah berjatuhan dipipi ku. Aku memeluk Ibu Afsyah. Menangis dalam balutan mukenah berwarna putih milik Ibu Afsyah. Lalu dengan sigap Umi bang Sabda menghampiriku dan ikut memelukku. Akupun menjawab dengan sebuah anggukan. Pernikahan kami dilangsungkan pada puasa pertama. MasyaAllah, pertama kali aku berpuasa dan menunaikan sholat tarawih di rumah suami ku yang menjadi imam untukku. Sedikit gugup saat pertama kali harus menghafalkan niat puasa di depan suami. Wajahku langsung merah merona. "
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.