Selamat menikmati puisi di bawah ini:
Pecundang yang tampan
Bolehkah kupukul dia?!
Bukankah yang bersalah dia?!
Atau kumaafkan saja perbuatannya!
Sebab aku bingung bagaimana seharusnya.
Langkahku terhenti tersandung rasa iri.
Mataku terbutakan cahaya kelam.
Jemariku tak mau berdansa diatas rasa bersalah.
Dan aku, hampir lupa cara berusaha.
Sang Pecundang penjelajah semesta.
Menangis terseduh karena terhina.
Menanti bidadari dari ujung mata.
Untuk meremas telapak tangan kemudian berlari bersama.
Logika tersenyum jujur.
Ego memaksa hingga hancur.
Jiwa merekah dengan pucatnya.
Bersanding dengan hati, jantung tak mau diam dengan tenang.
Sebuah fakta dari tulang tua.
Menjadi pedoman bersahaja disisi pundak dan mata.
Bapak Sang Pecundang berkata,
“Jangan sekali-kali menari didepan mata pendusta, akan lebih indah mulutmu bertapa bersama rasa hormat dan bahagia.”
Sang pecundang menangis tanpa henti.
Fajar yang menyapa dengan pahit.
Ditinggal senja dengan senyum pelit.
Sang pecundang tetap menangis hingga mati."
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.