Salah Pulang - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


Salah Pulang

Siska Amalia


Semalam, kau meneleponku dengan tangis tersedu-sedu seperti anak kecil. Hatiku sampai teriris mendengar suaramu. Sebenarnya itu bukan kali pertama kau menyuruhku pulang, melainkan sudah yang ke sekian. Namun, kenapa kau harus risau dengan ketidakpulanganku, sedangkan Bapak dan Ibu saja tidak peduli atau sudah lelah barangkali. Dua tahun di kota orang, Bapak pernah sekali menghubungiku hanya untuk mengatakan, “Balik. Orang-orang kampung pada ngomongin kamu katanya jadi simpanan orang kaya di kota.”


Namun jangankan permintaanmu, perintah Bapak saja tidak kuhiraukan. Meski di sini aku hanya menjadi buruh pabrik, setidaknya lebih baik daripada di kampung hanya untuk dibandingkan-bandingkan denganmu yang katanya super bisa; memasak, merawat diri, membereskan rumah, dan segalanya. Padahal, kau tidak bisa banting tulang demi keluarga.


“Mbak, pulang, ya, aku mau nikah.”


Aku tercengang. Perkataanmu itu cukup menampar. Ya, Semacam diguyur hujan di pagi hari yang dinginnya mungkin cukup mampu untuk membekukan hati. Bagaimana bisa Bapak dan Ibu membiarkanmu melangkahiku tanpa meminta persetujuan lebih dulu? Sepertinya aku lupa bila sejak dulu kau memang anak kesayangan. Saat aku dipaksa belajar mati-matian, kau malah asyik belajar sepada bersama Bapak sambil tertawa riang. Aku juga selalu dituduh tidak becus menjagamu saat kau menangis lantaran jatuh. Umurmu bahkan sudah 11 tahun kala itu, terpaut 2 tahun denganku.


Kau terus saja memanggil-manggil tatkala aku tak berucap sepatah kata pun. Ingin langsung kumatikan telepon,  tapi urung saat suaramu kembali terdengar. Kali ini lirih dan parau.


“Mbak pulang, ya, nanti aku siapin pelangkah.”


Pelangkah? Rasanya aku ingin tertawa. Memang dengan apa kau akan membelinya, sedang kau saja tidak bekerja selain membantu Ibu menjaga warung. Apa dengan uangku juga yang kukirimkan pada kalian tiap bulannya? Kularikan mata yang mulai memanas ke penjuru kamar, supaya tidak meloloskan air mata bedebah ini.


Padahal ingin sekali aku menjerit, menyapu barang-barang di meja rias, mengobrak-abrik isi kamar biar seperti habis terkena badai besar, atau menghancurkan lampu dengan tongkat baseball di pojok ruangan. Namun, bukankah itu hanya akan memberiku kerugian pada kamar kos yang sewa per-bulannya sudah cukup mahal?


“Mbak?”


Lagi, kau terdengar memanggil, saat aku tengah menggigit bibir menahan diri untuk tidak memaki-makimu. Aku tidak ingin kembali menjadi pihak yang disalahkan Bapak dan Ibu saat penyakit jantungmu itu kambuh!


“Nanti aku kirimkan uang sebagai ganti ketidakhadiranku. Uang itu harusnya lebih dari cukup untuk biaya pernikahanmu.”


Setelah itu kuputuskan sambungan telepon dan memilih merebahkan diri di kasur. Persetan kau akan bersedih hati di seberang sana atau mengadu pada Bapak dan Ibu terkait sikapku.


Berhari-hari lamanya, ponselku tidak berhenti berdering. Dan namamu masih saja berada di urutan pertama panggilan masuk. Namun, tetap saja kuabaikan dan memilih bergelung di kasur. Padahal terselip secuil harap bila itu Bapak atau Ibu yang menyuruhku pulang dengan nada kelembutan yang pada tiap ucapannya tersembunyi kerinduan. Keterlaluan sekali gara-gara membayangkan hal itu air mataku jadi merebak deras seperti sungai yang airnya meluap. 


Seminggu kemudian, ponselku senyap. Barangkali kau sudah lelah menghubungiku. Namun, kenapa aku jadi ingin mendengar suaramu yang memohon-mohon itu? Pada sore hari selepas pulang kerja dan baru saja hendak membuka pintu kamar kos, ponsel dalam tasku bergetar, tapi bukan namamu yang tertera di layar. Aku jadi kehilangan semangat untuk mengangkatnya bak orang kehilangan nafsu makan.


Hingga entah pada minggu ke berapa, namamu kembali menghiasi layar ponselku. Jantungku bertalu-talu. Sudah seperti perempuan kasmaran yang tengah menunggu telepon dari kekasihnya yang beberapa hari hilang kabar. Namun alih-alih menyemburkan makian, aku menanti suaramu dengan dada berdebar-debar.


“Mbak?” Lembut terdengar suaramu serupa sayup-sayup angin yang menggelitik kuping.


Tanpa aku jawab pun kau sudah lebih dulu membuka percakapan. Katamu, kau akan menikah akhir tahun nanti dan aku harus pulang setidaknya sebelum pemasangan tarub, bleketepe, tuwuhan, dan bucalan. Kau tidak lupa menambahkan bila lebih bagus lagi kalau aku pulang sekarang biar kau bisa segera menyiapkan langkahan. Suaramu terburu-buru, mungkin takut aku akan kembali memutuskan sambungan. Namun, sungguh kau tidak tahu diri sekali. Bukankah aku hanya perlu pulang dan tidak harus dalam waktu dekat ini?


Aku jadi membayangkan saat memegang tebu wulung yang diikat dengan ingkung bakar sebagai tongkat simbolis untuk membimbingmu melangkahi tumpeng golong sebanyak tiga kali, seperti yang pernah kita lihat di acara pernikahan salah seorang tetangga dulu. Sepertinya memang tidak ada salahnya sesekali menunjukkan batang hidung. Hitung-hitung untuk menyumpal mulut tetangga yang sering kali menggunjingku di belakang.


Pada akhirnya aku bilang, “Ya.” Dan kau sudah terpekik girang di seberang sana sambil mengucap syukur. Namun, ada yang masih mengganjal di hati dan pikiranku. Mungkinkah nanti akan begitu canggung berhadapan dengan Bapak dan Ibu setelah sekian lama tak bertemu? Apa mereka masih menyisakan rindu untukku sama seperti kau yang antusias mengetahui akan kepulanganku? 


Pada 1 bulan menjelang pernikahanmu, aku benar-benar memantapkan diri untuk pulang. Bus yang kutumpangi melaju kencang di tengah derasnya tangisan awan. Dadaku berdesir. Rasanya masih tidak menyangka bahwa aku akan benar-benar pulang kali ini. Memejamkan mata sejenak sepertinya pilihan yang tepat, sampai kegelapan benar-benar menyergap. Hingga entah berapa jam kemudian, aku tiba di kampung halaman dan melihatmu berdiri di depan rumah dengan wajah sendu.


“Kamu benar-benar pulang, Mbak.”


Begitu rindunyakah kau padaku sampai berurai air mata? Kau berlari. Aku merentangkan tangan, siap menyambut pelukanmu. Namun, kenapa kau melewatiku? Aku menoleh ke belakang, melihatmu bersimpuh di samping tubuh seseorang yang baru saja diturunkan dari ambulans. Kau menangis pilu, bersama Ibu. Tangismu menyayat-nyayat kalbu. Sedangkan Bapak berdiri di ambang pintu dengan mata memerah dan tubuh membatu. Aku tertegun. Apakah aku salah pulang?[*]


Lampung, 10 November 2021


Catatan:

Bleketepe: Anyaman daun kelapa tua yang dipasang oleh orang tua mempelai wanita.

Tuwuhan: tumbuh-tumbuhan seperti pisang raja, kelapa muda, batang padi, janur, yang dipasang di kiri dan kanan gerbang.

Bucalan: sesajen yang biasanya ditaruh di empat pojok rumah, tengah rumah, kamar pengantin, kamar mandi, pelaminan, pintu masuk, dapur, dan tempat lain yang penting. Fungsinya untuk menolak bala.


Bionarasi:

Siska Amalia, perempuan kelahiran 17 September 2000 asal Lampung Timur.




"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.