https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html
Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:
KASIH SAYANG TUHAN
BY : AHMAD OKVANI TRI BUDI LAKSONO
Matahari tampak malu malu melihat dunia, dihadang gerombolan awan seakan mengisyaratkan bahwa hari ini tidak akan baik baik saja. Memang benar hari ini tidak baik baik saja, Sabtu 16 Januari 2021 saya mendapatkan berita kurang menyenangkan. Setelah selesai sarapan saya siap siap bergegas berangkat bekerja. Tapi , kepala outsourching menelpon saya, Pak Shobirin Namanya
"" Maaf mas, kamu istirahat dirumah dulu, karena kamu reaktif covid 19"". Rasanya waktu berhenti tepat saa
" JUST LET ME GO
Aku melangkah cepat masuk ke dalam rumah menuju ke kamar kakakku Raka, lalu mengetuk pintunya dengan keras,”Tok-tok!”
“Masuklah, pintunya enggak dikunci. Sopan sedikit, kalau mau masuk ke kamar orang,”protes Raka dengan nada suara kesal dari dalam kamarnya dan aku langsung membuka pintunya.
“Aku sudah sopan, enggak langsung masuk kamar kakak. Ada masalah penting yang harus kakak jawab dengan jujur,” tegasku sambil menatap tajam ke arahnya.
Sekilas kening Kak Raka berkerut, tetapi setelahnya ia seperti tak peduli, karena asyik main game di laptopnya.
“Kak Raka, kenapa kakak tega menyakiti hati sahabatku, Dela? Apa salah Dela, sehingga Kak Raka pergi nonton film dengan cewek lain?”tanyaku dengan nada tinggi.
“ Dela seperti anak kecil, apa-apa ngadu ke kamu,”jawab Kak Raka dengan santai.
“Lita yang melihat kakak di bioskop, nonton berdua dengan Anggi. Bukan Dela yang mengadu padaku,”kataku sengit padanya.
“Kata Lita juga, dia melihat Kak Raka menggandeng tangan Anggi seperti layaknya orang pacaran. Kenapa kakak sikapnya seperti itu, kakak sudah punya pacar, enggak punya perasaan,”sambungku dengan wajah cemberut.
Kak Raka tertawa lepas begitu aku selesai bicara seraya berkata,”Kenapa harus kamu yang ribut? Aku masih muda dan belum ingin cepat menikah. Jadi masih boleh memiliki banyak teman cewek atau cowok,”kata Kak Raka kesal.
“Dulu Kak Raka yang minta padaku untuk membujuk Dela, agar Dela mau jadi pacarnya kakak. Sekarang Dela sudah resmi jadi pacar kakak, tapi kakak malah berpaling dengan cewek lain,”ujarku menahan marah.
“Kakak jahat !”desisku hampir menangis.
Sejenak Kak Raka heran mendengar kalimat yang baru saja ke luar dari mulutku.
“Kamu enggak boleh mengatakan kakakmu jahat, karena selama ini kakak enggak pernah ikut campur urusanmu,”ujar Kak Raka sembari bangkit dari duduknya, datang mendekatiku.
Sebenarnya ada alasan mengapa aku tak ingin Dela berpisah dengan Kak Reva, sebab aku telah berjanji pada ibunya Dela sebelum meninggal untuk menjaga Dela. Aku memang sudah bersahabat dengan Dela sejak SMP dan kebetulan kami masuk di sekolah yang sama, walaupun tidak satu kelas. Kami berdua sudah seperti saudara, di mana ada aku pasti ada Dela, begitu sebaliknya. Ketika ibunya lama dirawat di rumah sakit, karena kanker payudara, aku juga sering ikut menemani Dela di rumah sakit.
“Tante sangat berterima kasih pada nak Resti, sebab sudah ikut menemani Dela di rumah sakit. Tante boleh minta tolong sama nak Resti? Tolong jaga Dela, jangan sampai ada yang menyakiti hatinya,”ucap ibunya Dela dengan suara pelan padaku, beberapa hari sebelum beliau meninggalkan Dela untuk selama-lamanya. Saat itu Dela sedang pergi ke kantin rumah sakit hendak membeli makan siang, sehngga ia tidak mengetahui ibunya telah memberikan amanat padaku.“Jangan cemas tante, aku pasti selalu menjaga Dela. Yang penting tante sembuh, jangan memikirkan yang macam-macam,”kataku sembari tersenyum pada beliau dan dibalas dengan senyuman.
Sejak itu, aku berjanji pada diriku sendiri akan menjaga Dela, jangan sampai ada orang yang menyakiti hatinya, termasuk Kak Raka. Tentu saja Kak Raka belum mengetahui tentang masalah itu hingga kini, sebab aku belum menceritakan semuanya padanya.
Aku sangat mengerti kalau Kak Raka yang masih kuliah semester 3 dan belum ingin cepat-cepat menikah, masih boleh memandang yang indah-indah, bergaul dengan cewek-cewek cantik, tetapi bukan menjadi pacar dari salah satu dari mereka.
Namun aku masih uring-uringan pada Raka, tak suka pada cewek-cewek yang mendekati kakakku, meskipun kakakku menganggap hanya sebagai teman biasa. Semasa SMA, Kak Raka suka berpetualang cinta, entah berapa banyak pacarnya. Banyak cewek-cewek yang naksir pada Kak Raka yang ganteng, pintar, dan kapten basket yang cukup terkenal di lingkungan sekolahnya. Kebiasaan suka gonta-ganti cewek tetap berlangsung sampai kuliah dan setelah bertemu dengan Dela, gonta-ganti cewek sudah berhenti. Hanya saja Raka masih mau menerima ajakan cewek yang mendekatinya. Dalam hati aku terkejut, sebab Kak Raka menganggap hal itu biasa saja.
“Sebenarnya hubungan kakak dengan Anggi enggak lebih dari sebatas teman. Dela juga kenal dengan Anggi. Kebetulan kakak Anggi itu satu jurusan dengan kakak dan tempat kuliahnya di universitas yang sama. Jadi kakak mengenal Anggi dan kakaknya dengan baik,”ujar Kak Raka mengakhiri kalimatnya dengan santai. Aku hanya diam, mengamati dan mencerna kalimatnya.“Kamu jangan menuduh dan menaruh curiga padaku. Dela enggak pernah marah, dia tenang aja enggak seperti kamu hidup di zaman batu,”kata Kak Raka malah tertawa kecil.
“Aku enggak pernah dekat dengan cewek-cewek itu, tapi mereka yang dekat-dekat sama aku,”jelas Kak Raka tanpa merasa bersalah.
Herannya, Dela sangat sabar menghadapi sikap dan sifatnya Raka. Dela tidak marah, ketika Dela diperkenalkan oeh Raka pada teman-teman kuliahnya Raka, bahwa ia bukan pacarnya Raka, tetapi sebagai teman adiknya, Resti. Ketika Dela menceritakan padaku tentang hal itu, aku sempat kesal dan hampir melabrak Kak Raka, tetapi Dela melarangnya.
“Jangan marah pada Kak Raka, mungkin dia butuh waktu untuk mengakui aku sebagai pacarnya,”kata Dela dengan tenang, tak ada luapan emosi sama sekali, dan sangat sabar menghadapi kakakku.
Suatu hari Minggu siang tiba-tiba mama datang menghampiriku sambil berkata,”Mama mau bicara serius di dalam kamarmu.” Lalu aku mengikuti langkah mama di belakangnya dengan bingung.
Alangkah terkejutnya, ketika melihat Kak Raka sudah berada di dalam kamarku dengan kepala menunduk, tak berani menatap mata mama.
“Tolong tutup pintunya. Kamu juga harus dengar masalah ini, Resti,”ujar mama serius. “Ada apa gerangan? Pasti ada masalah besar, jarang-jarang mama bicara seperti ini,”pikirku di dalam hati.
“Ini tentang hubungan Anggi dan kakakmu,”jelas mama padaku seperti menjawab kebingunganku.
“Mama dan papa sudah memutuskan, kamu dan Anggi harus segera menikah, sebab Anggi hamil. Tunggu papa pulang dinas dari luar kota, lalu kita urus semuanya,”kata mama susah payah melanjutkan kalimatnya.
“Hah Anggi hamil?!” Aku melongo, karena kaget dan terhenyak begitu mendengar kata-kata yang ke luar dari mulut mama seperti ada badai yang menimpaku. Dan aku hanya menatap wajah kakakku tanpa bisa berkata apa-apa, membayangkan betapa hancurnya perasaan Dela bila mengetahui tentang hal ini.”Maafkan aku, Dela,”batinku sedih.
Dengan takut Kak Raka memandang wajah mama seraya berkata,”Demi Tuhan, aku enggak berbuat apa-apa, ma. Aku juga enggak cinta sama Anggi. Selama ini aku menganggapnya sebagai teman biasa dan hanya mengajaknya nonton film ke bioskop. “Teman laki-laki Anggi banyak ma, tapi kenapa aku yang harus tanggung jawab?”tanya Kak Raka terbata-bata dengan mata yang berkaca-kaca.
“Tapi Anggi yang minta tanggung jawab padamu ! Itu yang dikatakannya dalam telpon. Mama dan papa enggak mau ribut dengan keluarganya Anggi,”sahut mama.
“Enggak adil, ma ! Semua teman laki-laki Raka tahu kelakuan Anggi seperti apa! Mama harus mengerti perasaanku, kalau perlu Anggi harus tes DNA!”teriak Raka seraya ke luar dari kamar, lalu pergi dengan motornya dan tak menghiraukan lagi teriakan mama yang memanggil-manggil namanya.
Aku dan mama gelisah, ketika tak dapat menghubungi Kak Raka. Sudah berulang kali aku menelepon ponselnya, tetapi tidak aktif. Begitu lebatnya hujan turun sejak sore yang membuat hatiku bertambah resah. Ketika aku melihat jam dinding, sudah pukul 9 malam, tanpa ada kabar dari Kak Raka. Makan malam yang tersaji di meja makan belum aku dan mama sentuh, karena kami berdua masih sibuk menekan tombol ponsel masing-masing menelepon Kak Raka, walaupun hasilnya tetap sama, ponselnya tidak aktif. Lagi-lagi ada perasaan yang tidak enak, seperti ada firasat buruk. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha membuang jauh-jauh perasaanku itu.Tiba-tiba ponselku berbunyi, secepatnya aku menjawabnya,”Halo?”
“Maaf, bisa bicara dengan Resti ?”tanya seorang perempuan di seberang sana.
“Ya, saya sendiri,”jawabku singkat.
“Kami dari rumah sakit…” Kata-kata selanjutnya sungguh membuat hatiku hancur berkeping-keping. Seketika ada mendung kelabu di dalam kehidupanku. Aku tak sanggup lagi untuk mendengarnya, tanganku gemetar, dan lututku lemas seperti tak kuat menopang tubuhku sendiri, lalu aku jatuh terduduk di lantai.
“Kak Raka kecelakaan?” Air mataku tumpah membasahi pipiku, dan tangisku meledak. Kemudian mama datang menghampiriku.
“Ada apa Resti?”tanya mama dengan mimik kebingungan melihat diriku yang menangis tersedu-sedu.
“Kak Raka kecelakaan ma, kita harus berangkat ke rumah sakit sekarang,”sahutku dengan perasaan tak karuan.
“Ya Allah, semoga Raka baik-baik saja,”suara mama lirih, hampir tak terdengar.
Setiba di rumah sakit, ada seorang petugas menemuiku dan mama, mengajak kami menuju ruang UGD. Aku dan mama kaget melihat Raka terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, napasnya dibantu oleh sebuah tabung oksigen, tangan dan kakinya diperban.
“Mama dan Resti, bukan aku tak mau bertanggung jawab, tapi semuanya harus ada dasarnya. Maafkan aku yang telah merepotkan mama, papa dan Resti,”ucap Raka dengan napas tersengal-sengal. “Aku tidak akan menikahi Anggi, sebab aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan Anggi dan aku..aku hanya mencintai Dela,”sambungnya dengan terbata-bata, air matanya mengalir di pipinya.
“Sst… sudah, jangan kamu pikirkan. Yang penting kamu sembuh dulu sayang,”kata mama sambil terisak-isak dan membelai rambut Raka. “Tolong sampaikan permintaan maafku pada papa dan Dela. Kepalaku sakit sekali, aku enggak kuat lagi. Relakan aku pergi,”ucap Raka dengan suara pelan, tak lama kemudian dalam hitungan detik ia pergi untuk selama-lamanya. Aku dan mama tak percaya kalau Raka telah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya, lalu kami berdua tak sadarkan diri..
Keesokan harinya aku, mama, papa dan teman-teman Raka banyak yang menghadiri pemakaman Raka, air mataku berhenti menetes ketika para pelayat memberikan ucapan belasungkawa padaku. Sahabat dekatku sekaligus pacar Kak Raka, Dela datang melayat, ia menghampiriku dan memeluk erat diriku.Namun Anggi tak tampak batang hidungnya, mungkin ia malu pada keluarga kami.
“Kamu harus kuat dan tabah demi Kak Raka,”bisiknya di telingaku. Aku dan Dela menangis bersama seraya berpelukan. Kuputuskan, cerita tentang masalah Kak Raka dan Anggi akan kututup rapat-rapat. Menurutku lebih baik Dela tidak mengetahui sama sekali cerita itu, biarlah cerita itu menjadi rahasia selama-lamanya.
“Selamat jalan Kak Raka. Aku percaya padamu, karena kamu tak akan mengecewakan diriku, mama, papa, dan Dela. Semoga kakak tenang dan damai di surga. Sampai ketemu lagi, tunggu aku di sana,”doaku di dalam hati dan memeluk erat foto Kak Raka."
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.