Bu Guru, mau jadi apa?- Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 Bu Guru, mau jadi apa?

Oleh : Zahra Anjani Musa


Malam minggu yang senyap. Gadis berusia 22 tahun itu menatap langit-langit kamarnya kosong. Sementara kedua tangannya tanpa sadar terus memutar rubik selama hampir 15 menit tanpa henti. Sesekali, ia membuang napas; frustasi. 

Ra, begitulah gadis itu dipanggil. Kali ini ia menggeser tubuhnya ke pinggir tempat tidur, meraih gawai di atas nakas. Jemarinya dengan sigap membuka laman chat WhatsApp. Kolom chat bernama ‘Madame Lia’ yang sengaja ia pin  sejak beberapa bulan lalu tak kunjung menunjukkan tanda-tanda 'kehidupan'. 

‘ugh..’ Ia menahan diri untuk tidak menjenggut rambutnya sendiri. 

Tidak, ia tidak tahan. Gadis itu menjatuhkan diri di lantai kamar, meremas rambutnya sendiri, kemudian menghela napas berat. Jika orang melihat kondisinya sekarang mungkin mereka akan berpikir bahwa ia setengah gila.

Tapi, Ra memang sudah nyaris gila. 

Apa sesulit itu membalas chat dari mahasiswa tingkat akhir seperti dirinya? Sampai kapan dosen pembimbingnya itu mengulur waktu kelulusannya seperti ini? Kenapa suka sekali mempersulitnya?


“Ra?” 

Ra yang kepalang tanggung ingin menyakiti diri itu sontak menolehkan kepala terkejut ke sumber suara. Dikiranya seseorang memergoki dirinya yang sedang ‘setengah gila'. Tapi nyatanya, pintu kamar itu tertutup, bahkan terkunci. Dan sang Ibu berada di baliknya; memanggilnya. 

“Boleh Ibu masuk?” 

Ra segera berdiri, merapikan rambutnya, berkaca; memastikan matanya tidak memerah. 

Ia membukakan pintu,“Ada apa, Bu?”

“Mengenai tawaran Ibu waktu itu, kamu masih ingat?”

Ra bergeming sejenak, mencoba mengingat. Sekejap kemudian gadis itu mengangguk. Ini pasti soal tawaran  menjadi pengajar pengganti di sekolah tempat sang ibu mengajar.

“Kamu bisa? kalau mulai mengajar Senin besok?”

“Senin besok?” Permintaan mendadak itu menghantam kepalanya. “Bukannya kata Ibu mulai bulan depan?”

“Bu Sari berhenti karena harus pindah keluar kota ikut suaminya. Pindahannya minggu ini.” Jawab Ibunya. Ra memandang wanita yang telah melahirkannya itu ragu-ragu.

Ini terlalu mendadak.

“Kamu bisa, ya?”

“Ngajar kelas berapa?”

“2 SD.”

Ra mengatupkan mulutnya. 2 SD, pasti lagi nakal-nakalnya. Pikirnya.

“Ra? Bisa, ya? Sudah jangan ragu-ragu, jalani saja. Lumayan bayarannya bisa membantu keuangan sehari-hari. Kamu tau, kan? Ayahmu sudah tidak mampu bekerja lagi, adikmu juga belum dapat kerja, belum lagi pinjaman untuk uang kuliahmu kemarin. Bagaimana? Bisa, ya? Tolong bantu Ibu.” Ujar Ibu.

Ra menggigit bibir dalamnya pelan. Ia seharusnya tahu bahwa ia tidak ‘berhak’ memilih. Salahnya sendiri tidak bisa lulus tepat waktu, salahnya sendiri hingga dia tidak bisa langsung bekerja dan malah merepotkan orangtuanya soal biaya kuliah sekali lagi. 

 “Oke, Bu. Ra coba.” 

***


Sudah kuduga.

Begitulah gumaman hatinya begitu ia memasuki kelas berukuran 5 x 5 meter persegi itu untuk yang ke-10 kalinya. Bukan, ini bukan hari ke-10 Ra mengajar. Ini masih hari keduanya. Tapi, seperti dugaannya, 15 manusia cilik super aktif di kelasnya itu  tidak membiarkan Ra duduk dengan tenang barang setengah jam pun. 

Seperti sekarang, setengah dari ‘penghuni’ kelas menghilang entah kemana.

Belum selesai perkara para siswa yang kabur, sebuah penghapus papan tulis meluncur ke arahnya, Ra menahan napas.

“Kazka!”

Siswa laki-laki berpipi tembam itu berjengit kaget, “Maap, Bu Guru!”

Ra menghela napas, ia harus sabar. Beginilah mengajar anak-anak.

***


“Bagaimana dengan anak-anak?”

Wanita paruh baya berkacamata di depannya bertanya. Dia adalah Bu Yasmina, kepala sekolah tempat Ra mengajar, sekaligus mantan gurunya. Ya, alasan kenapa Ra dapat mengajar meski belum memiliki ijazah adalah karena beliau. Dulu, Bu Yasmina adalah guru SMP-nya, dan kali ini guru yang dihormatinya itu meminta bantuan kepadanya untuk menjadi salah satu pengajar pembantu. Ra kadang kagum dengan bagaimana cepatnya waktu berputar.

“Yah.. begitulah.” Ra menghela napas, di depan Bu Yasmina yang sudah seperti ibunya sendiri itu ia tidak perlu lagi susah payah menjaga image.

Seperti dugaannya, wanita itu hanya tertawa melihat reaksinya, “Yah, pokoknya kamu coba adaptasi dulu aja, ya. Pasti bisa, kok. Insya Allah.”

Ra hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Oh iya, skripsi kamu bagaimana? Bisa, kan, kalau sambil mengajar seperti ini?”

“Insya Allah bisa, Bu.” Sebenarnya Ra juga ragu. Tapi ia tidak mau semakin larut, lebih baik ia menyibukkan diri dengan aktivitas lain, seperti sekarang ini.

“Bismillah, ya.” Ujar Bu Yasmina. “Kamu sudah membantu urusan orang lain, insya Allah urusanmu juga akan dipermudah.”

“Aamiin.”

“Oh iya, soal anak kelas dua. Kamu sudah kenal Sara?”

Sara. Wajah lugu pemilik nama tersebut seketika itu juga muncul di benak Ra. Seorang anak yang tidak mencolok, tapi sangat mudah Ra kenali karena anak itu satu dari sedikit siswa yang sangat penurut di kelas. Dan satu hal lagi yang membuat Ra ingat.

“Dia anak berkebutuhan khusus.” Ra tanpa sadar menggumamkan isi kepalanya.

Bu Yasmina mengangguk, “Sara adalah anak yatim kurang mampu, jadi ibu menerimanya. Seperti yang kamu tau, dia belum bisa membaca dan menulis karena ada masalah pada daya tangkapnya, ditambah dia agak tuna wicara.”

Ra mengangguk, ia sudah tahu mengenai hal itu. Dua hari ini Ra sudah cukup mengamati anak itu. Daya tangkap setiap anak memang berbeda, tapi untuk Sara, dia 10 kali lebih lambat.

“Kamu bisa membantunya?”

“Saya akan berusaha.”

***


Kembali ke rutinitas barunya, Ra duduk di meja guru, merapikan barang-barangnya. Jam pulang sudah setengah jam berlalu, kelas nyaris kosong karena para anak telah dijemput orang tuanya masing-masing. Kecuali, seorang siswi yang masih setia duduk di pojok kelas dengan pensil warna di tangannya.

“Sara.” Ra memanggilnya dengan lembut. Anak itu dengan patuh mengambil buku tulis dan alat tulisnya kemudian mendekati Ra, duduk di hadapannya. 

Ini adalah aktivitas baru mereka. Sejak 2 minggu yang lalu, Ra memutuskan untuk memberi jam tambahan untuk Sara, khusus untuk mengajarinya baca dan tulis.

“Sara tadi gambar apa?”

Anak itu hanya menggeleng, kemudian membuka buku tulisnya.  Sebulan sejak Ra pertama kali mengajar, Ra sudah cukup mengenal karakteristik setiap anak di kelasnya. Termasuk tentang apa yang mereka sukai dan apa yang mereka takutkan. Untuk Sara, anak itu sangat suka menggambar dan Ra bisa melihat bahwa anak itu memiliki bakat di sana. Tapi sepertinya Ibu Sara tidak suka dengan kesukaan buah hatinya itu. Sara seringkali ketakutan jika sang Ibu menemukan coretannya dan akhirnya meminta Ra untuk menyimpannya.

“Sara, Bu guru mau tanya, deh.” Sara dengan lugunya membalas tatapan Ra. “Kalau sudah besar, Sara mau jadi apa?”

Sara hanya diam. Soal tuna wicara, anak itu masih bisa berbicara, hanya saja tidak jelas.

“Sara mau jadi pelukis?” Ra kembali bertanya.

Kali ini anak itu menelengkan kepala, tampaknya bingung saat mendengar istilah ‘pelukis’.

“Itu, lho, yang suka gambar.” Jelas Ra.

Sara mengangguk antusias, tapi sekejap kemudian dia menggeleng. Sekilas wajahnya suram, namun anak itu tersenyum.

“Sara mau bikin mama senyum.” Anak itu menjawab dengan suara pelan, tidak jelas, namun entah bagaimana tertangkap dengan baik di telinga Ra.

Ra tersenyum, satu tangannya bergerak mengusap pucuk kepala anak itu lembut, “Sara anak baik, ya.”

Sara tiba-tiba mendekat. Ra reflek mendekatkan telinganya. Anak itu berbisik.

“Kalau Bu Guru mau jadi apa?”

Ra terdiam. Teringat pertanyaan serupa yang dilemparkan anak lain waktu jam pelajaran tadi, yang kemudian dibantah sendiri karena mereka yakin Ra pasti ingin menjadi guru. Tapi Sara, kali ini anak itu menatapnya serius. Anak itu seakan paham bukan itu keinginan Ra. Dan itu menyentil relung hati Ra.

“Ibu, juga mau jadi orang yang bisa bikin mamanya Ibu senyum.” Jawab Ra.

Sara lagi-lagi memiringkan kepala, ragu, namun hanya sebentar. Di detik berikutnya, anak itu mengulas senyum manis.

Ra balas tersenyum, “kita mulai belajarnya?” Anak itu mengangguk sumringah.


Seperti hari lainnya, Sara mengikuti pembelajaran dengan tekun. Dengan segala keterbatasannya, anak itu mengeja kata demi kata, demi mimpinya membuat sang Ibu tersenyum. Satu hal yang Sara tidak tahu. Kata demi kata itu juga perlahan menggerakkan sang guru. Ra diam-diam memantapkan tekadnya. 

Ra akan menjadi seorang guru. Guru yang baik. Demi Sara dan anak-anak istimewa lainnya. Pekerjaan ini mungkin tidak akan memenuhi nominal impiannya, namun tidak ada cara lain menjadikan ilmu yang dimilikinya menjadi amalan tak terputus, selain kembali mengajarkannya. 

***

Sementara itu, gadis bernama lengkap Zahra Amara itu tidak menyadari bahwa gawai yang tak sengaja ia tinggal di kamarnya yang gelap kini bergetar, kemudian menunjukkan sebuah notifikasi pesan.

“Bonjour, Zahra. J’ai déjà lu ton memoire. On le discutera la semaine prochaine, d'accord?”


TAMAT



"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.