MAAF, BILA CINTAKU ADALAH SUATU DOSA - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


 MAAF, BILA CINTAKU ADALAH SUATU DOSA

Inspired by: Choirul Anam


Tit, tit, tit

          Bunyi elektrokardiogram masih tergaung jelas di telingaku. Ya, Abiku dinyatakan koma oleh dokter setelah kecelakaan yang menimpanya. Sudah lima jam Abiku terbaring lemah di atas ranjang putih itu, menjadi korban tak berdosa yang harus terhempas ke aspal setelah sebuah mobil mewah menyeruduk tubuh mungilnya.

          Mungkin bagi sebagian orang Abiku hanya koma, tapi setiap kali aku mendengar kata koma, aku selalu takut bahwa elektrokardiogram yang terpaut dengan dada Abi bisa saja sewaktu-waktu tak berdenting lagi.

          ""Maafkan saya, saya tadi sedang buru-buru ke kantor untuk meeting dengan kolega saya. Tapi tenang, saya akan tanggung jawab, saya akan urus semuanya."" sebuah suara terdengar menjelaskan dengan nada sayu.

          Tiba-tiba, terdengar suara dentingan panjang dari elektrokardiogram Abi yang menandakan ada suatu yang tak beres. Segera kupanggil dokter lewat tombol kecil di atas ranjang Abi.

          ""Maaf, takdir Allah tak dapat terelakkan. Kami sudah berusaha semaksimal kami, tapi Allah berkehendak lain. Bapak Edi meninggal."" tutur dokter yang seketika meruntuhkan tanggul air mataku dan Umma. Aku menangis tak percaya. Ternyata benar ketakutanku sedari tadi, elektrokardiogram Abi tak lagi berdenting lagi.

          ""Maaf, ini salah saya. Andai saya tak buru-buru tadi, mungkin ini semua tak kan terjadi. Maaf."" ucap Pras bersalah.

          ""Kamu! Sudah membunuh Abiku, lelaki yang paling aku sayang!"" ucapku dengan nada sendu.

          ""Maaf, ini semua di luar kendali, ini murni kecelakaan. Saya akan bertanggung jawab mengurus semuanya."" ujar Pras membela.

          ""Tanggung jawab untuk apa?! Bukankah Abiku tak kan bisa kembali lagi? Untuk apa kau bertanggung jawab?"" cercaku.

          ""Sudah, ini bukan saatnya untuk saling menyalahkan, Zahra. Lebih baik kita urus jenazah Abi sekarang."" sela Umma berusaha tegar.

****


          Menikah, adalah kebutuhan lahiriah setiap orang. Haru bercampur bahagia. Tapi bagaimana jadinya jika yang terjadi justru sebaliknya? Menikah dengan orang yang sama sekali tak kucintai adalah mimpi buruk yang harus kutelan mentah-mentah, mau tidak mau.

          Kalau bukan karena kemauan Umma, aku tak kan sudi menikah dengan seseorang yang sudah membunuh Abiku sendiri. Apakah rasa benci ini harus kuubah paksa menjadi kepingan cinta? Belum genap setahun Abi pergi, Umma menyuruh Pras untuk mengkhitbahku.

          ""Zahra, apakah kamu bisa menerimaku sebagai calon suamimu?"" tanya Pras membuka perbincangan dengan wajah setengah pucat pasi.

          ""Apa kau pikir aku bisa menerima kehadiran seseorang yang sudah membunuh Abiku? Kalau bukan karena Umma, aku tak mungkin terlena seperti ini."" tanyaku balik setelah terdiam beberapa saat.

          ""Aku tahu ini semua salahku, tapi kau tak bisa sepenuhnya menyalahkanku. Ini semua murni kecelakaan dan sudah menjadi suratan takdir dari Allah. Kau adalah anak dari keluarga terpandang dan mengerti agama, kuyakin kau paham akan hal itu."" ucap Pras menjelaskan. Aku hanya bisa terdiam menangis mendengar penjelasan Pras.

          ""Baik, aku paham, kau tak perlu menjawabnya sekarang, aku mengerti. Tapi aku mohon, jangan sekali-kali kau mengecewakan Ummamu, Zahra."" terang Pras.

****


          Makassar, 23 September

          ""Zahra, aku tak bisa memaksamu untuk mencintaiku sekarang juga, aku juga tak mau memaksamu untuk menerima kehadiranku saat ini. Tapi yang jelas, aku akan selalu mencintaimu. Ya, selalu, walau sebenarnya namaku tak pernah ada dalam sejengkal pun ruang di hatimu. Aku tak tahu siapa yang egois dalam hal ini, tapi semenjak kecelakaan itu.., aku bersyukur bisa menemukan sekeping hatiku yang selama ini lari entah ke mana, walau pada kenyataannya kau sedang berusaha ikhlas melepas kepergian Abimu. Aku, Reynaldi Prasetya, bertekad untuk berhijrah demi menjadikanmu bidadari surgaku. Bertekad menanggalkan semua kebiasaan burukku, melepas semua title keduniaanku demi menyempurnakan akhlak bersamamu. Dan maaf, bila ternyata harus ada orang berdosa sepertiku yang menerobos masuk ke dalam kehidupanmu."" jelas Pras panjang lebar sambil menggenggam tanganku.

          ""Dan aku, Arini Zahra Mubriqoh, menjadikanmu imamku untuk bersama-sama menggapai surga-Nya, rela meninggalkan Umma di sana demi hidup bersamamu, menjadikan lading pahala untukku. Aku, tak tahu harus berkata apa tentang alur hidupku ini. Tapi yang jelas, seseorang di masa laluku benar-benar menamparku bahwa keikhlasan adalah pil pahit yang harus kutelan bulat-bulat. Kau tak perlu khawatir, aku akan berusaha mencintaimu walau dengan cara yang tak biasa. Karena untuk melupakan masa lalu kelam itu, tak semudah menghapus goresan pensil di kertas polos."" sautku dengan isakan yang kutahan.

          Kami berdua berpelukan dan menempuhkan segala rasa sesak dalam dada. Pelukan Pras benar-benar membuatku nyaman dan tenang. Entah kenapa orang yang kubenci karena masa lalunya kini memberiku kenyamanan luar biasa sebelum akhirnya kami berdua berlabuh dalam kenikmatan yang diridai.


Aku tak tahu siapa yang egois dalam hal ini, tapi semenjak kecelakaan itu, aku menemukan sekeping hatiku yang selama ini lari entah ke mana.

****


          Spesial Reynaldi Prasetya

          ""Umma, ada apa dengan Zahra? Kenapa Zahra, banyak sekali selang di mulutnya?"" tanyaku gemetar setelah masuk ke sebuah ruangan serba putih itu.

          ""Zahra, Pras, Zahra,"" jawab Umma lirih.

          ""Iya kenapa, Umma?"" tanyaku cemas.

          ""Zahra positif kanker payudara, Pras. Dan dokter memvonis umur Zahra tidak akan lama lagi."" ungkap Umma.

          ""Apa? Katakan kalau itu tidak benar, Umma! Kenapa Zahra harus mengidap penyakit seserius ini?"" seketika kakiku serasa tak sanggup lagi untuk berdiri. Kenapa Zahra tak pernah bercerita tentang ini padaku? Apa alasan dia menyembunyikan ini semua dariku? Masihkah dia belum menerimaku sepenuhnya?

          ""Umma, Zahra tengah mengandung anak Pras. Bagaimana nasib Zahra dan anak Pras nanti, Umma?"" tanyaku khawatir. Kucium punggung tangan Zahra berharap bisa memberi sinyal agar dia segera siuman.

           ""Zahra, aku tahu kamu kuat, jangan percaya dengan vonis dokter. Sadar, sayang, kumohon sadarlah."" bisikku di dekat telinganya.

          Kurasakan sebuah gerakan halus dari jari jemari Zahra sebelum akhirnya keluar sebuah suara parau dari bibir manisnya. ""Sayang, maafkan aku, belum bisa menjadi makmum yang baik untukmu. Dan maaf, bila seandainya ternyata aku yang harus pergi lebih dulu. Aku titip anak kita nanti, jaga dia. Aku akan kalah berperang dengan tubuhku sendiri, sayang. Aku sayang kamu, selalu."" ucapnya berusaha tegar di balik selang-selang yang menyerobot masuk ke dalam mulutnya, perih pasti.

          Tak lagi terdengar suara parau Zahra, tangan yang semula kugenggam kini terjun ke bawah, elektrokardiogram yang semula berdenting teratur kini berubah menjadi dentingan lurus.

          ""Pak, Bu, maaf Anak Ibu dan bayi dalam kandungannya tidak bisa terselamatkan. Kedua payudara Ibu Zahra sudah sangat membusuk dan semakin menjalar ke sistem vital lainnya. Sementara bayinya, ternyata sudah meninggal jauh sebelum Ibu Zahra siuman."" tutur dokter.

          Andai kamu bisa lebih terbuka padaku sedari awal, aku pasti akan mencari jalan untuk kesembuhanmu, Zahra, ke luar negeri pun pasti kubawa.


         Masa lalu itu, seperti memberiku karma. Zahra istriku, dan anakku, pergi begitu cepat. Apakah ini balasan untuk seorang pembunuh sepertiku? Adakah yang salah dari niat hijrahku selama ini?

Maaf, bila cintaku adalah suatu dosa, Zahra."


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.