Cerpen By Lintang Aksa Bagaskara

Judul   : Bukan Kitab Biasa
Karya   : Lintang Aksa Bagaskara

Seseorang bertubuh kekar menggunkaan sarung dan peci menatap ke arah dua orang preman yang tiba-tiba menghadang perjalanan pulangnya. Wajah mereka sama-sama sangar. Preman yang memiliki banyak tato di tubuhnya serta rambut yang kribo dan wajah yang kumal, tak sama sekali membuat nyiut nyali pria yang dihadangnya.

Preman itu membawa pisau serta pistol. Rencananya mereka akan merampok kotak wasiat yang dibawa oleh pria itu. Pria yang dari gayanya seperti seorang santri namun berwajah sangar tak sedikit pun merasa takut pada dua makhluk di depannya.

"Heh, mau apa kalian?" tanya pria yang biasa dipanggil Abidzar dengan suara yang ditekankan.

Dua preman itu tersenyum sinis sambil melipat kedua tangannya di dada. "Banyak omong lu. Sok-sokan gak peka lagi," ujar preman yang memiliki banyak tindik di telinga dan lidahnya.

"Ya mau merampok lah, terus mau apa lagi? Lu pikir kita berdua mau minta sumbangan?" ucap preman satunya yang berambut kribo.

"Mau merampok? Mimpi kalian!" ujar Abidzar dengan nada meremehkan.

Preman yang didepannya langsung menggerutu kesal. Gigi-giginya yang menguning digertak-gertaka menimbulkan suara yang mengilukan.

Abidzar menatap geli kearah dua preman itu lalu ia kembali membuka suara. "Eh, om saya ini gak punya apa-apa mendingan sana pulang mandi, gosok gigi yang bersih, cuci muka pake detol terus bobo cantik deh,"ucapnya dengan gaya rempong.

"Ngeremehin kita nih bocah?" kata preman yang bertindik sambil menatap teman di sebelahnya. Preman di sebelahnya mengangguk mengiyakan.

"Om mau ngapain? Mau berantem sama saya? Saya lagi gak mau berantem om! Mendingan om tuh bobo can ...," Belum selesai Abidzar mengucapkan kata-katanya serangan begitu cepat ingin mengenai tubuhnya. Untung dengan sigap Abidzar bisa mengelak serangan itu.

Kini preman itu kembali ingin menyerang Abidzar. Tangannya sudah terkepal siap melontarkan tinju ke arah Abidzar, yang satunya sudah memegangi pistol yang di bawanya tadi. Serangan bertubi-tubi dari preman yang bertindik mampu dielak oleh Abidzar hingga preman satunya ingin menekan pistol yang sedari tadi sudah digenggamnya.

Namun,  sebelum ia sempat menekan pistol itu ia kalah cepat dengan Abidzar. Abidzar melempar sesuatu ke arah tangannya yang tepat mengenai pistol itu dan terjatuh. Preman yang memegangi pistol itu merintih kesakitan karena lemparan batu yang juga mengenai tangannya. Sedangkan preman temannya tak tinggal diam.

Ia mengetahui gerak-gerik Abidzar yang mengincar pistol itu. Dengan cepat ia berlari menuju arah pistol itu. Namun langkahnya terhenti karena sebuah benda keras tepat mendarat di kepalanya. Dengan seketika preman itu jatuh pingsan.

Abidzar tersenyum puas, lalu dengan santai berjalan mendekati preman yang masih meringis kesakitan memegangi tangannya dan mengambil pistol itu. Abidzar memperhatikan pistol itu. Lalu tersenyum miris.

"Dasar preman gadungan! Pistol mainan dibawa-bawa! Masih mau main perang-perangan om?" ucapnya, lalu ia berjalan kembali mengambil kotak wasiat yang tadi ia taruh didekat ia bertarung tadi.

Sebelum Abidzar hendak meninggalkan preman-preman itu ia berbalik. "Om, Maafin saya ya, saya gak bermaksud menyakiti om-om. Om nya sendiri yang mau disakitin juga saya saranin mendingan om-om ini tobat! Sholat! Liat tuh kulit udah mulai pada kriput! Awas nanti Allah murka loh om. Apalagi kalau om curi uang orang kaya gitu gak berkah om uangnya haram!" ucapnya panjang kali lebar kali tinggi lalu ia berlalu pergi.

Preman yang tadi masih diam ditempatnya karena temannya masih pingsan sedangkan ia sendiri tak bisa membawanya. Karena tangannya masih terasa sakit.

Abidzar berjalan santai menuju kerumah kiai Sodiq dengan wajah yang sedikit lusuh karena habis berantem dengan preman-preman itu namun ia masih tetap menebar senyum di sepanjang jalan. Dan tak segan menegur warga yang ia kenal ketika berpapasan.

"Zar," terdengar suara seseorang memanggil namanya. Tadinya ia ingin menoleh namun niatnya itu diurungkan karena takut hanya kebetulan orang yang namanya sama.

"Abidzar. Ishh budeg kali ni anak ya!" gerutu orang di belakang kesal.

Mendengar umpatan itu Abidzar langsung menoleh. Karena pastinya ia tahu siapa yang bicara kasar itu. Ketika Abidzar menoleh, orang yang memanggilnya tadi langsung menghampirinya.

"Eh budeg lu ya dipanggil-panggil juga."

"Enak aja. Gue gak noleh takut dedemit yang manggil. Soalnya kata babe, kalo ada seseorang yang manggil sekali jangan langsung dijawab." ucapnya sok bijak.

"Gigi lu. Lu pikir ini hutan!" gerutunya lagi.

Abidzar tertawa melihat kekesalan di wajah temannya. Sedangkan temannya yang bernama Jaiz, hanya menatapnya heran.

"Eh, lu mau kemana bi?" tanyanya heran  "wajah lusuh, baju kotor, bawa kotak lagi. Lu abis dari minta sumbangan hah?"

"Minta Sumbangan hidung ente! Gue tadi abis berantem sama preman-preman yang mau merampok. Ya jadilah baju gue kotor gini." Jelasnya.

"Itu apa?" tanya Jaiz sambil menunjuk kearah kotak yang sedari tadi dibawa-bawa oleh Abidzar.

"Gak tahu gue. Gue nemuin ini di pinggir kali pas gue lewat sono. Mangkannya ini mau gue bawa ke rumah Kiai Haji Sodiq soalnya ada tulisan kaligrafi arab dikotaknya mungkin isinya yang berhubungan dengan sejarah islam," ucapnya sambil menunjuk tulisan kaligrafi di kotak itu.

Jaiz manggut-manggut. "Gue ikut ya?" ucapnya. "penasaran sama isi itu kotak,p" lanjuttnya lagi.

"Yaudah ayok!"

Meraka berdua pun sama-sama menuju ke rumah Kiai Haji Sodiq yang berada di pinggir sungai. Sesampainya di sana ada beberapa warga yang sedang mengobrol dengan beliau.

"Assalamualaikum," ucap Abidzar dan Jaiz bersamaan.

"Waalaikumsallam."

Abi dan Jaiz duduk disebelah pak kiai, dengan setengah berbisik Abidzar meminta untuk berbicara denga kiai. Maka Kiai Haji Sodiq pun mengajak Abidzar dan Jaiz untuk masuk kedalam.

Sesampainya di dalam rumah, putri beliau yang bernama Aisyah Azzka langsung membawakan 2 cangkir minuman. Tak butuh waktu lama Abidzar pun langsung masuk ke inti yang ingin ia sampaikan.

"Jadi gini lo kiai, saya itu tadi lewat di pinggir kali. Terus melihat kotak ini, dibalik semak-semak. Sepertinya kotak ini sudah lama soalnya sudah kusam dan berdebu. Jadi saya ambil, tapi saya takut Mangkannya saya bawa kesini."

Kiai Sodiq manggut-manggut. "Jadi ini kotaknya?" tanya beliau,  Abidzar mengangguk mengiyakan.

"Sepertinya ini bukan kotak biasa, terdapat kaligrafi tulisan Muhammad di sini," ucapnya lagi sambil memperhatikan kotak itu.

"Terus bagaimana kiai? Apa saya kembalikan saja kotak ini?" tanya Abidzar ragu bercampur takut.

"Nanti dulu, coba kita lihat isinya," Kiai Haji Sodiq pun berniat untuk membukanya namun beliau seperti kesusahan. Hingga akhirnya beliau membacakan sesuatu barulah kotak itu mudah dibuka.

Dan ternyata itu isinya sebuah kitab, entah kitab apa. Warnanya seperti keemasan, tulisan di sampulnya menggunakan Aksara Jawa. Kiai Haji Sodiq memandangi kitab itu tanpa membukanya lalu menyerahkannya pada Abidzar.

"Simpanlah kitab ini! Mungkin kamu memang tidak mengerti artinya. Namun itu akan bermanfaat nanti untuk orang yabg bisa membaca tulisan aksara itu. jika terjadi sesuatu pada kitab ini bawa kembali kesini," ujar kiai Sodiq.

"Baiklah kalau begitu kami berdua pamit pulang ya kiai. Terima kasih banyak nggeh,  maaf jadi merepotkan."

"Iya ndak apa-apa kok."

Lalu setelah berpamitan Abidzar dan Jaiz langsung pulang kerumah masing-masing walau sebenarnya banyak hal yang ingib Jaiz tanyakan pada Abi, namun ia tahu abi pasti tak akan mau menjawab pertanyaanannya.

Kehadiran kitab itu dirumah Abidzar, banyak terjadi hal-hal aneh dirumahnya. Terasa begitu banyak aura Negatif. Juga beras yang tadinya banyak kini cepat sekali berkurang. Ikan yang biasa didapat dan diletakkan di tempayan tiba-tiba? Menghilang, padahal tak ada yang memakannya.

Adiknya yang masih berumur 5 tahun pun sering menangis. Katanya pernah melihat seseorang didapur rumahnya. Apakah itu penampakan dari jin penghuni kitab? Abidzar beserta nyak dan babe jadi takut. Maka nyak dan babepun menyuruh Abidzar untuk memberikan kitab itu pada kiai Sodiq.

Abidzar menceritakan semua, kejadian-kejadian aneh yang terjadi dirumahnya. Kiai Sodiqpun sedikit tidak percaya. "Masa sih Bi, ini memang bukan kitab biasa. Tapi gak mungkin ada makhluk ghaib nya di kitab ini. Ini kitab yang ditulis oleh muridnya wali songo," ucap Kiai.

"Tapi kejadian ini belum pernah terjadi sebelumnya kiai. Dan nyak sama babe bilang kitabnya di kiai saja deh," ucapnya begitu manis.

"Tadinya kiai menitipkan kitab ini padamu, supaya nanti jika kamu menemukan orang yang bisa membacanya bisa kamu berikan. Biar dia bisa menpelajarinya. Sedangkan kiai ini sudah tua, mungkin umur kiai sudah tidak lama. Tapi jika kamu tidak mau ya tidak apa-apa, nanti bisa kiai titipkan pada santri kiai."

"Duh, maaf ya kiai jadi merepotkan."

"Iya, ndak apa-apa."

"Ya sudah kalau gitu saya mohon pamit ya kiai. Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam warrahmatullah."

Abidzar pun pulang kembali kerumahnya, saat sampai dirumahnya terlihat nyak dan babenya sedang memarahi sesuatu. Dengan langkah cepat karena penasaran, Abidzar setengah berlari mendekati mereka.

"Assalamualaikum, nyak, be. Ada apaan?" tanyanya dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan.

"Ntuh," jawab nyak(Ibu) nya sambil menunjuk ke bawah meja. Abidzar menyusuri telunjuk nyaknya.

"Kucing?" teriaknya setengah kaget. Melihat kucing hitam yang memakan ikan-ikan yang babenya dapat dari kali.

"Iye, jadi selame ini nih yang nyuri ikan-ikan itu bukan kitab yang elu bawa. Ternyata ada kucing tetangga," ucap babenya (Ayah).

"Terus, beras yang hilang itu?" tanya Abidzar lagi.

Nyaknye tersenyum tipis sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Ntu beras ada di bawah tempat tidur, nyak yang lupa."

"Ehhhh, tuh kan jadi salah paham!" gerutu Abidzar kesal.

"Yaudeh, ambil lagi aja kitabnya di kiai," ucap nyaknya polos.

"Mana ade nyak. Emang itu barang apaan bisa di ambil lagi," Abidzar bersungut kesal.

"Yasudahlah ..., " ucap tika adiknya lalu masuk kedalam rumah.

End
Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.