TERKELABUI ANGAN - Kumpulan Cerpen

 










Selamat datang di Lintang Indonesia. Di bawah ini adalah salah satu cerpen dari peserta Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Net 24 Jam. Cerpen ini lolos seleksi pendaftaran dan dibukukan ke dalam buku yang berjudul,"Sebuah Cerita Tentang Kepergian". Klik link di bawah ini untuk informasi lomba: 

https://www.net24jam.com/2021/10/lomba-cipta-cerpen-tingkat-nasional-net.html


Selamat Menikmati Cerpen di bawah ini:


TERKELABUI ANGAN


Suatu ketika aku pernah, harus merelakan sesuatu yang sama sekali tidak ingin kulepaskan. Itu proses yang cukup kuat untuk meyakinkan diri bahwa sesuatu yang hilang pasti akan digantikan dengan yang jauh lebih baik, dan aku harus meyakini itu. Entahlah siapa yang akan menjadi penggantinya, karena aku masih merasakan tentang dirinya. Tentang hampa yang memaksa untuk bahagia.


Teringat kembali waktu itu, chapter pertama cerita ini dimulai. Ketika pertemuan yang saling bertukar tanya, tentang nama dan kesukaan yang ternyata sama. Di perpustakaan tepatnya, rak buku berjajar rapi seperti tentara berbaris. Meja dan kursi dipenuhi orang-orang yang menatap buku masing-masing di hadapannya, termasuk aku. Menghela napas sejenak untuk menormalkan penglihatan yang sebelumnya buram. Tak kusangka menangkap tatapan hangat seorang pemuda yang berjalan ke meja yang sedang ku tempati. Aroma mint yang menyegarkan ditambah paras tampan yang diam-diam aku berdo’a, semoga inilah sosok bahagia untukku.


“Boleh duduk di sini…?” ketika pertama kali mendengar suaranya, rasanya hati ini berbunga-bunga. Apakah ada yang tahu, ada apa denganku? 

“Rasel, boleh kok”

“Oh, hai Rasel! Aku Deka. Mitologi Yunani kelihatannya asik juga, suka Dewa Zeus ya?” dengan mengintip buku yang berada di hadapanku.

“Suka Dewi Hestia, selalu lapang dada, ga mentingin tahta, dan lebih milih jagain perapian di rumah-rumah warga. Itu definisi bahagia yang ga terduga.”


Malam ini, aku juga akan mengingat kembali tentang payung pemberianmu, payung merah. Ternyata payung yang kau beri hanya kedok untuk menutupi dirimu akan pergi. Maaf karena tak menyadari bahwa malam itu adalah tanda ketidakberhasilan cerita kita berdua. Kata selamat malam yang mengambang di layar handphoneku, ternyata itu adalah ucapan selamat yang terakhir kalinya. Kini, bagiku ketika aku terlelap, sosokmu hilang ditelan gelap. Lentera seterang apapun tak akan menemukanmu, bahkan bayanganmu sekalipun. Namun, yang kutemui hanya suara semu yang menghantuiku. Karena, aku akan selalu mengingat keberadaanmu.


Remang-remang menjadi temanku, berkali-kali aku berusaha menangkis atas kejadian tadi pagi. Perkataanmu, senyum terakhirmu dan ucapan selamat tinggal yang masih membekas di pikiranku. Ternyata bukan selamat malam yang menjadi akhir perpisahan, tapi selamat tinggal.


Aku ingat betul, di bawah rindangnya pohon Bougenville dengan embun pagi yang masih bergelung nyaman di daun dan bunganya yang berwarna orange. Saksi bisu perpisahan yang pastinya tak kuinginkan. Setelah perdebatan singkat, akhir kata terucap begitu saja dari bibir tipismu. Bagaimana denganku? Terpaku, seakan apa yang kau katakan hanyalah angan sesat yang menakut-nakutiku. 


Senyum yang merengkuh tangis, bahu nyaman yang mampu menopang kegelisahan, punggung yang selalu membawa kerinduan, tak lupa tangan yang merangkul kesepian. Kata-kata manismu yang menyejukkan, kalimat pujian yang kau lontarkan, dan puisi-puisimu yang menenangkan. Namun, perpisahan merebut semuanya, seolah masa sewa sudah habis atas perjanjian yang tak kuketahui kapan selesai kontraknya.

Jalan setapak yang kau pijak, di mataku bebercak reruntuhan, serpihan momen tawa kita berdua. Ketika malam itu, kau datang hanya untuk makan takoyaki bersama di teras rumah berkeramik biru. Dan ketika kau mengajakku untuk bermain bersama hujan, menyusuri jalan setapak yang becek dengan suara tawa yang masih nyata rasanya. Dengan perkataanmu yang masih membekas di pikiranku, bahkan lagak berdirimu, baju putih basahmu, dan bibir berlesung pipit manismu, percayalah aku masih mengingatnya dengan baik. 


“Rasel, hujan ga selamanya tentang sedih, tapi hujan juga tentang bahagia.” 

Namun, kini aku melihatnya luruh perlahan tergantikan wajahmu yang memintaku untuk tak melupakan sesuatu yang pastinya kuharap kau sudah tahu. 


Terpikir olehku, sejujurnya apakah kau tahu arti di setiap kata yang kau ucapkan tadi pagi? Langkah kakimu berhenti mengkomando untuk yang terakhir kali. Kuingat betul, kedua sudut bibirmu terangkat tanpa ragu. Kesadaranku perlahan digoyangkan oleh semilir angin yang berbisik pelan. Suara itu, suaramu, suara yang menjadi alasan kalbu menyuruh air mata meluruh,

""Jangan lupa bahagia, ya.""


Bahagia, satu kata yang diharapkan siapa saja. Namun, bagaimana jika itu bersumber dari dirinya yang memilih untuk berkelana? Mencari tempat persinggahan yang sampai saat ini belum juga berjumpa. Ketika telah menemukan jawabannya, bahwa ia salah memilih singgasana untuk kesekian kalinya, sebisa mungkin meninggalkan kesan yang tak membekaskan luka. Percayalah, diksi pamitan seindah, sedalam, setulus apapun tetap akan mengundang mata air untuk membasahi telaga kering. 


Terlampau sering kau menunjukkannya, tersurat maupun tersirat. Terucap bahkan lewat tatap-menatap. Seakan hal tersebut sudah dipatenkan untuk berada di wadahnya, berada di sisiku. Ternyata angan mengelabui kenyataan. Perlahan memudar, hanya menunggu gilirannya saja. Oiya, perkataanmu terkabulkan. Mungkin saja, jika kau mengingatkan tentang hal bahagia bukan terjadi hari ini. Aku akan tersenyum girang, mencolek bahumu dengan wajah merona malu-malu, dengan begitu, kau akan tergugah untuk memelukku.


Takdir dengan cekatan tanpa lupa membalikkan jam pasir untuk terus mengalir. Tak memedulikan momen yang terlewatkan, yang seharusnya terasa manis, hanya akan berbuah miris. Pikiran dan bibir akan sejalan untuk mengatakan, 

""seandainya waktu berhenti, aku tak akan mengalami hal semenyakitkan ini."" 


Aku teringat kisah Bintang Berpulang, rasanya menyedihkan, ketika langit hanya ditemani awan hitam. Bulan mati menunggu proses reinkarnasinya. Suara hewan malam menakut-nakuti nimfa. Sunyi memeluk bumi yang malang. Begitu kosongnya lukisan malam itu. Langit bercerita kepada awan,

""Bagaimana bisa, bintang menyuruhku bahagia, sedangkan ia memilih untuk berpulang?""


Sama sepertimu, sulit untuk melupakan bahagia, karena bahagia tercipta dari rasamu. Apa daya jika semuanya sudah disita begitu saja? Lagi-lagi kau menebar senyuman tanpa beban, seakan tak akan pernah hilang. Ketika rasa ingin memilikinya selalu ada, tak ingin menghilang, nyatanya aku melupakan waktu. Detik tak pernah lelah untuk berjalan menjadi menit, berlari menuju jam dan bersorak untuk hari esok. Percayalah semua akan tergantikan, yang kekal hanya takdir-Nya. Dan percayalah, kenangan pahit maupun indah akan berjalan beriringan, karena hidup bukan tentang sukacita saja. 


Lagi-lagi kau mempersulitnya, tak memudahkan jalanku untuk melupakan bahagia. Bagaimana tidak? Aku hanya dapat tersenyum kikuk dengan pikiran berkecamuk. Ketika mendengar seorang gadis manis berbandana hijau tosca tersenyum sukacita yang duduk di sisiku menceritakan sosok bahagianya. Tentang kau, tentang kau yang memikatnya dengan senyum andalanmu. Ternyata secepat itu waktu menyembuhkanmu. Menjaring hati yang mencari tempat berteduh. Dengan sukarela kau menerimanya untuk bertamu. Menyuguhkan hidangan di meja agar dirinya nyaman, perlahan rasa hangat merambati hati rapuhnya dan berakhir terikat untuk bersama. Diam-diam aku mengiyakan dalam hati, mengingat bahwa aku juga pernah menjadi tamu istimewamu.


Jika aku dan kau bukan lagi dua orang yang memiliki tujuan yang sama, namun satu hal yang harus kau ketahui, biarlah aku menyimpan segala tentang kita yang kemarin hingga menjadi kita yang dahulu. Intinya, terima kasih telah mengingatkanku bahwa selama ini hanya rumah sewa yang kusediakan. Rumah minimalis, perpaduan bulan dan matahari yang kini hanya langit sepi yang kutemui. Rasanya waktu cepat sekali berlalu, seperti pelangi, indahnya kita tunggu-tunggu hingga lupa waktu. Pudarnya tak kita inginkan, namun tetap terjadi demikian. 


Selamat berkelana, mencari singgasana untuk menjadi yang terakhir kalinya. Untuk cerita kali ini, mungkin peranku adalah Dewi Hestia, yang dengan berlapang dada merelakan posisi tahtanya. Sampai jumpa, kuharap akan menemukan bahagia dibalik sosok yang duduk di singgasana istanaku. Lanjutkanlah perjalanan menyenangkanmu, karena aku juga begitu.


"


Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.